“Anyone who thinks sitting in church can make you a Christian must also think that sitting in a garage can make you a car.“
~ Garrison Keillor
Di dekade kedua abad-21, kita menjadi saksi bagaimana ultra-konservatisme agama menjadi bensin yang membakar segalanya. Lihatlah Tragedi Gaza. Kekejaman tersaji vulgar di depan mata. Melumpuhkan semua aturan. Mengangkangi lembaga kemanusiaan dunia.. Untouchable…
Meski terlalu dini menyalahkan agama, tapi jejak sejarahnya tak mungkin diabaikan. Bentangan sejarah konflik dunia juga diukir agama. Benarkah agama seproblematis itu?
Mari kita mulai dari perspektif yang lebih positif. “Nabi” Teori Konflik, Karl Marx, tidak sepenuhnya memandang agama negatif. Meski terkenal dengan ungkapan “Agama adalah candu”, namun ia juga berkata “Religion was not in itself a bad thing, but that it helped to facilities the processes of exploitation” (Nye, 2008).
Agama pada dirinya sendiri tidaklah buruk, katanya. Hanya saja, agama sangat rentan disalahgunakan. Kerentanan agama inilah titik problematikanya. Laksana api dalam genggaman manusia. Kuncinya terletak pada perilaku beragama.
Perilaku beragama adalah fakta yang membutuhkan pengelolaan. Perilaku keberagamaan yang positif bermakna pengelolaan yang baik. Pada titik inilah, Literasi Beragama (religious literacy) menjadi signifikan.
Literasi beragama semacam panduan yang membekali seseorang untuk memahami, berperilaku dan terampil mengelola fakta kehidupan dalam keragaman. Keragaman agama bisa menjadi ancaman serius jika seseorang minim literasi beragama.
Pemahaman tentang doktrin, sejarah, ritual, etika dan tradisi agama kita adalah salah satu elemen literasi beragama. Namun seseorang masih membutuhkan keterampilan lainnya.
Pertama, keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis menghindarkan fanatisme buta dalam beragama. Ia menjadi alat penyaring yang mencegah penyalahgunaan agama -misalnya kemampuan membedakan doktrin dan interpretasi.
Kedua, keterampilan berpikir komparatif. Instrumen ini memampukan seseorang memahami persamaan dan perbedaan antaragama dan kepercayaan.
Ketiga, bersikap empatik. Sikap ini memampukan seseorang untuk memahami pengalaman keberagamaan pemeluk agama lain.
Keempat, bersikap toleran, inklusif dan pluralis. Ketiganya akan menciptakan kerukunan antarpemeluk agama, bahkan menjadikan perbedaan jauh lebih produktif.
Kelima, keterampilan berkomunikasi efektif. Ini membuka ruang dialog yang jauh dari prasangka dan stigma.
Keenam, kemampuan literasi media. Kemampuan mengevaluasi bagaimana agama diberitakan melalui media. Bijaklah menyaring dan menyebarluaskan berita di media. Jangan menjadi manusia penyebar kebenciaan pada agama tertentu.

Berpikirlah terbuka, rayakanlah keragaman, rendah hatilah untuk menerima kebenaran “The Others”. Hindarkan diri dari fanatisme buta yang brutal. Meski bagimu, ajaranmu paling benar tapi kamu masih membuka ruang masuknya kebenaran dari orang lain.
Literasi beragama memperkuat koeksistensi. Ia menjadi instrumen preventif mencegah terjadinya hegemoni, diskriminasi, persekusi, eksklusi hingga genosida.
Lima Pilar IJABI berisi elemen yang selaras dengan literasi beragama, dan merupakan pandangan dunia yang mengandung lima elemen utama. Ruang lingkup berpikir progresif kritis yang dikokohkan kejernihan spiritualitas, termaktub dalam Pilar Pertama. Ruang lingkup relasi konstruktif meski berbeda keyakinan diulas dalam Pilar Kedua dan Ketiga. Ruang lingkup formulasi ideal relasi agama dengan politik (negara) dijelaskan dalam Pilar Keempat. Adapun ruang lingkup pengkhidmatan tanpa sekat pada sesama diuraikan dalam Pilar Kelima.
Seluruh elemen literasi beragama secara lugas tertuang dalam nilai-nilai Lima Pilar. Apa artinya? Ber-IJABI bermakna Anda menjadi melek literasi beragama. Ber-IJABI berarti menunjukkan dimensi konstruktif beragama pada publik. Ber-IJABI juga bermakna merealisasikan “kerja-kerja kenabian”. Ber-IJABI artinya berdamai dan berbahagia dalam perbedaan. Akhirnya, ber-IJABI bermakna anda bukan bagian dari orang-orang yang disindir Garrison Keillor.
Wallâhu ‘alam …
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyidina Muhammad wa ‘ala Âli Sayyidina Muhammad.