Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
Khutbah Ummu Kultsum: Air Mata di Singgasana Tiran
Khutbah Ummu Kultsum di Kufah yang penuh makna ini diriwayatkan dalam karya monumental Sayid Ibnu Thawus dalam Luhuf juga ‘Allamah Al Majlisi dalam Bihar al Anwar di mana khutbah ini disampaikan di hadapan Ubaydullah bin Ziyad, penguasa Kufah yang bengis, di istananya yang megah pasca tragedi Karbala yang menyayat hati.
خَطَبَتْ أُمُّ كُلْثُومِ بِنْتُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَعْدَ وَاقِعَةِ الطَّفِّ فِي مَجْلِسِ ابْنِ زِيَادٍ مِنْ وَرَاءِ كِلْتَتِهَا رَافِعَةً صَوْتَهَا بِالْبُكَاءِ، فَقَالَتْ:
يَا أَهْلَ الْكُوفَةِ! سَوْأَةً لَكُمْ، مَا لَكُمْ خَذَلْتُمْ حُسَيْنًا، وَقَتَلْتُمُوهُ، وَانْتَهَبْتُمْ أَمْوَالَهُ، وَوَرِثْتُمُوهُ، وَسَبَيْتُمْ نِسَاءَهُ، وَنَكَّبْتُمُوهُ، فَتَبًّا لَكُمْ وَسُحْقًا! وَيْلَكُمْ أَتَدْرُونَ أَيَّ دَاهِيَةٍ دَهَتْكُمْ، وَأَيَّ وِزْرٍ عَلَى ظُهُورِكُمْ حَمَلْتُمْ، وَأَيَّ دِمَاءٍ سَفَكْتُمُوهَا، وَأَيَّ كَرِيمَةٍ أَصَبْتُمُوهَا، وَأَيَّ صَبِيَّةٍ سَلَبْتُمُوهَا، وَأَيَّ أَمْوَالٍ انْتَهَبْتُمُوهَا؟! قَتَلْتُمْ خَيْرَ رِجَالٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَنُزِعَتِ الرَّحْمَةُ مِنْ قُلُوبِكُمْ. أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْفَائِزُونَ، وَحِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ.
ثُمَّ قَالَتْ:
قَتَلْتُمْ أَخِي صَبْرًا، فَوَيْلٌ لِأُمِّكُمْ
سَتُجْزَوْنَ نَارًا حَرُّهَا يَتَوَقَّدُ
سَفَكْتُمْ دِمَاءً حَرَّمَ اللهُ سَفْكَهَا
وَحَرَّمَهَا الْقُرْآنُ، ثُمَّ مُحَمَّدُ
أَلَا فَأَبْشِرُوا بِالنَّارِ، إِنَّكُمْ غَدًا
لَفِي سَقَرٍ، يَقِينًا تُخَلَّدُوا
وَإِنِّي لَأَبْكِي فِي حَيَاتِي عَلَى أَخِي
عَلِيٍّ خَيْرٍ مِنْ بَعْدِ النَّبِيِّ سَيُولَدُ
بِدَمْعِ عَزِيزٍ مُسْتَهِلٍّ مُكْفَكِفٍ
عَلَى الْخَدِّ مِنِّي دَائِمًا لَيْسَ يُحْمَدُ
Khutbah Ummu Kultsum di Kufah
Ummu Kultsum binti Ali as berkhutbah setelah peristiwa Karbala di majlis Ibnu Ziyad dari balik hijabnya, dengan suara tangisan yang lantang, beliau berkata:
“Wahai penduduk Kufah! Alangkah buruknya kalian! Mengapa kalian mengkhianati Husain, membunuhnya, merampas hartanya, mewarisinya (hartanya), menawan wanitanya, dan menimpakan musibah padanya? Celaka dan binasalah kalian! Tahukah kalian malapetaka besar apa yang telah kalian lakukan? Betapa berat beban yang kalian pikul di punggung kalian? Darah siapa yang telah kalian tumpahkan? Kehormatan siapa yang telah kalian nodai? Anak-anak kecil siapa yang telah kalian rampas? Harta siapa yang telah kalian jarah? Kalian telah membunuh sebaik-baik manusia setelah Nabi saw, dan mencabut rahmat dari hati kalian. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah-lah yang akan menang, sedangkan golongan setan adalah yang merugi.”
Kemudian beliau bersyair:
“Kalian telah membunuh saudaraku dengan kejam, maka celakalah kalian! Kalian akan dibalas dengan api neraka yang panas membara. Kalian telah menumpahkan darah yang diharamkan Allah untuk ditumpahkan,
yang diharamkan oleh Al-Quran dan Muhammad saw. Bergembiralah dengan neraka, karena besok kalian
pasti akan kekal di dalamnya. Dan aku akan terus menangisi saudaraku sepanjang hidupku, Ali, manusia terbaik yang lahir setelah Nabi saw, dengan air mata yang deras mengalir di pipiku, tanpa henti dan tak terpuji.”
Balaghah Khutbah: Api dalam Bahasa dan Aib dalam Diksi
Di tengah reruntuhan Kufah yang masih menyisakan bau darah segar, Ummu Kultsum berdiri dengan tegak. Khutbahnya yang singkat bukan sekadar ratapan seorang saudari, melainkan mahakarya sastra yang memadukan kedalaman bahasa dan kekuatan sejarah. Setiap kata yang terucap dari bibirnya mengandung makna yang dalam, membentuk memori kolektif umat Islam tentang tragedi Karbala.
Ummu Kultsum memilih kata-kata dengan cermat, masing-masing mengandung akar bahasa Arab yang sarat makna. Ketika ia menyebut “سَوْءَة” keburukan- dari akar sīn-wāw-‘ayn, bermakna aib yang membekas-, kata ini bukan sekadar menggambarkan kesalahan biasa, melainkan noda sejarah yang tak terhapuskan.
Kata “دَاهِيَة” – dari akar dāl-hā-wāw-, berarti malapetaka yang menghancurkan.
Ini menunjukkan betapa dahsyatnya pengkhianatan yang dilakukan penduduk Kufah.
Sementara frasa “حَرَمَ الله” yang digunakan untuk darah Husain, menyiratkan bahwa pembunuhan Husain adalah pelanggaran sakral terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
Dari sisi balaghah. setidaknya ada dua poin penting.
Pertama, dalam ma’ani (logika makna). Ummu Kultsum menggunakan pertanyaan retoris “أَتَدْرُونَ أَيَّ دَاهِيَةٍ دَهَتْكُمْ؟” (Apakah kalian tahu malapetaka yang menghancurkan apa yang telah kalian lakukan?) Pertanyaan retoris ini memaksa pendengarnya merenungkan konsekuensi perbuatan mereka. Kontras antara “حِزْبُ اللهِ” (golongan Allah) dan “حِزْبُ الشَّيْطَانِ” (golongan setan) dalam khutbah Ummu Kultsum semakin mempertegas dikotomi antara kebenaran dan kebatilan.
Kedua, dalam bayān (kejelasan ekspresi), perumpamaan “سَتُجْزَوْنَ نَارًا حَرُّهَا يَتَوَقَّدُ” (Kalian akan dibalas dengan api neraka yang panas membara.) memberikan gambaran nyata tentang hukuman yang akan diterima.
Berikutnya, mari kita coba telisik lebih dalam frasa “أَلَا فَأَبْشِرُوا بِالنَّارِ” ( Bergembiralah dengan neraka ).
Frasa singkat ini merupakan sentuhan balaghah yang memukau. Secara zahir berupa kabar gembira, namun sesungguhnya mengandung ancaman pedih melalui teknik al-istihza’ (sindiran tajam) dan paradoks sastra yang kontras antara “kabar gembira” dengan “neraka”. Gaya amr (kalimat perintah) yang digunakan justru memperkuat makna ancaman, menunjukkan keahlian retorika tingkat tinggi.
Dari perspektif ilmu ma’ani, frasa ini memadatkan tiga lapis makna dalam empat kata: ancaman terselubung, sindiran pedas, dan peringatan keras. Metafora tersirat (isti’arah makniyyah) menyamakan neraka sebagai “hadiah” yang pasti diterima, sementara kinayah mengisyaratkan beratnya dosa mereka. Keindahan badi’ terlihat pada paradox antara “basyirah” (kabar gembira) dengan “an-nar” (neraka), serta tauriyah pada kata “abshiru” yang mengandung makna ganda.
Kekuatan ekspresif frasa ini terletak pada kemampuannya mengguncang psikologi pendengar. Dengan menggunakan kata positif untuk menyampaikan ancaman, terciptalah kejutan makna yang membekas. Inilah puncak ketinggian balaghah kenabian – singkat namun menyentuh relung hati terdalam, padat makna namun mengalun indah, mengancam namun tetap mempertahankan keagungan bahasa.
Metafora yang digunakan Ummu Kultsum membekas dalam ingatan kolektif. Api neraka yang tak pernah padam menjadi simbol keadilan Ilahi, sementara air mata yang deras menjadi saksi sejarah yang abadi. Khutbah ini berhasil merangkum seluruh tragedi Karbala dalam beberapa kalimat singkat namun penuh makna – pembunuhan Husain, penjarahan harta, penawanan perempuan, dan kehancuran moral.
Yang paling menyentuh adalah ketika Ummu Kultsum menyatakan “وَإِنِّي لَأَبْكِي فِي حَيَاتِي عَلَى أَخِي”, menjadikan tangisan atas Husain bukan sekadar ekspresi kesedihan, melainkan bentuk perlawanan dan ibadah. Khutbah ini mengabadikan Karbala bukan sebagai peristiwa sejarah biasa, melainkan tragedi moral-spiritual yang terus relevan sepanjang zaman.
Sebagai mahakarya sastra-religius, khutbah Ummu Kultsum memadukan kedalaman etimologis, kekuatan retorika, keindahan metafora, dan kesadaran sejarah. Setiap katanya bagai cahaya yang menerangi kegelapan, mengingatkan kita akan harga sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai Qur’ani dan kenabian. Dalam kesederhanaan bahasanya, tersimpan kekuatan yang mampu mengguncang kesadaran dan menggerakkan hati.
Filsafat Bahasa Karbala: Dari Wittgenstein ke Derrida
Khutbah Ummu Kultsum bukan sekadar pidato historis, melainkan mahakarya yang bisa dibaca melalui berbagai lensa pemikiran Barat dan Islam. Dalam retorika Aristoteles, khutbah ini menguasai tiga unsur: logos (logika dakwaan), pathos (emosi tangisan), dan ethos (otoritas sebagai cucu Nabi).
Ia juga memenuhi unsur tragedi Yunani: hamartia (kesalahan fatal penduduk Kufah), peripeteia (ironi pengkhianatan), dan katharsis (pemurnian emosi melalui ratapan).
Wittgenstein melihatnya sebagai permainan bahasa (language-game) unik. Paradoks “أَبْشِرُوا بِالنَّارِ” (bergembiralah dengan neraka) menembus batas bahasa biasa. Khutbah ini juga membentuk lebensform (bentuk kehidupan) dalam komunitas pecinta Nabi Saw dan kekuarganya as, di mana tangisan atas Husain menjadi ritual bermakna.
Heidegger akan membaca khutbah ini sebagai penyingkapan Dasein. Frasa “نُزِعَتِ الرَّحْمَةُ مِنْ قُلُوبِكُمْ” (rahmat tercabut dari hati kalian) mengungkap inauthenticity penduduk Kufah. Ancaman neraka menyingkap being-toward-death, sementara air matanya adalah aletheia (kebenaran yang tersingkap).
Habermas melihatnya sebagai tindakan komunikatif ideal. Ummu Kultsum menggabungkan strategic action (tekanan politik) dan communicative action (pencarian konsensus moral). Khutbah ini menciptakan counter-public sphere, menjadikan bahasa sebagai senjata melawan hegemoni penguasa.
Husserl akan tertarik pada epoché-nya. Di balik statusnya sebagai tawanan, Ummu Kultsum menyampaikan eidos (esensi) pengkhianatan. Kata “دَاهِيَة” (malapetaka) bukan sekadar konsep, tapi intentional object yang menusuk kesadaran.
Saussure melihat permainan penanda (signifier) seperti “سَوْءَة” (aib) yang mengikat makna dosa kolektif. Oposisi biner “حِزْبُ اللهِ” vs “حِزْبُ الشَّيْطَانِ” memperkuat dikotomi moral.
Derrida akan mendekonstruksi paradoks “أَبْشِرُوا بِالنَّارِ”. Frasa ini mengacaukan logika biner, menciptakan aporia. Air matanya adalah trace yang terus menunda makna final tragedi Karbala.
Foucault membaca khutbah ini sebagai counter-discourse. Istana Ibnu Ziyad menjadi heterotopia—ruang yang menampung makna bertentangan. Tangisannya adalah technology of self, mengubah kesedihan menjadi kekuatan politik.
Alasdair MacIntyre melihatnya sebagai etika naratif. Khutbah ini menghubungkan Karbala dengan metanarrative kenabian, mengekspos krisis moral Kufah. Tuturannya mencerminkan virtue ethics: keberanian (shaja’ah), kebijaksanaan (hikmah), dan keadilan (‘adl).
Khutbah Ummu Kultsum adalah hyperobject filosofis. Ia melampaui retorika Aristoteles, membongkar kuasa lewat speech-act, dan menciptakan collective intentionality. Seperti puisi Hölderlin bagi Heidegger, khutbah ini adalah “die Stiftung des Seins”—pondasi keberadaan yang menyingkap hakikat tragedi Karbala. Dalam istilah Derrida, ia adalah arsip yang sekaligus membongkar arsip itu sendiri.
Perempuan, Kesaksian, dan Kuasa: Suara Ummu Kultsum Sebagai Revolusi
Bagaimana Ummu Kultsum Putri Amirul Mukminin dan Sayyidah Fathimah, – Cucu Nabi Saw-, dalam keadaan fisik mental yang mungkin sedang sangat berat pasca peristiwa Karbala, dengan posisi sebagai tawanan, dan di istana penguasa bengis bisa berkhutbah dengan sebuah ungkapan mahakarya sastra-religius barangkali adalah salah satu hal yang sangat menakjubkan dari peristiwa pasca Karbala.
Ummu Kultsum telah memberikan teladan terbaik dengan memelihara ingatan kolektif tentang peristiwa Karbala, dan menggerakkan revolusi Cinta dan Kesadaran akan terbunuhnya Cucu Nabi dengan qaulan sadiida (QS33:70) ((perkataan yang lurus, benar, dan mudah dipahami). dan al-hikmah dan al-mau’izhoh al-hasanah (hikmah dan pengajaran terbaik ) (QS 16 :125).
Di reruntuhan Kufah, di antara bau darah dan gemerincing rantai tawanan, Ummu Kultsum tidak hanya menangis—ia mencipta bahasa baru. Seperti Hafez yang merangkum semesta dalam secawan anggur, ia meramu Karbala dalam segenggam kata: ada neraka yang disajikan sebagai kabar gembira, ada air mata yang lebih membara dari api, dan ada suara perempuan di balik hijab yang mengguncang singgasana penguasa.
Inilah kekuatan qaulan sadida—perkataan yang lurus namun membelokkan poros sejarah.
Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan ziarah pendek puitis bagi Ummu Kultsum.
“Menangislah seperti lilin, tapi berbicaralah seperti pedang,
bak Ummu Kultsum Putri Ali
Air matamu menjadi cahaya Ilahi, kata-katamu api yang membakar jiwa.,
bak Ummu Kultsum Yang Muhammadi”
Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Bandung, 24 Muharram 1467
Glosarium Istilah Penting (Ringkas) Istilah Arab/Filsafat
Arti/Singkatan – Penjelasan Ringkas
Khutbah: pidato ucapan formal (biasanya keagamaan)
Balaghah: Retorika ilmu keindahan bahasa dalam Al-Qur’an dan Arab klasik
Ma’ani: Makna cabang balaghah yang membahas logika makna
Bayān: penjelasan cabang balaghah tentang metafora dan majaz
Badi’: Hiasan Cabang balaghah tentang keindahan sastra (ironi, paradoks, dll)
Qaulan Sadiida: Perkataan benar dan lurus Frasa Qur’ani (QS Al-Ahzab:70)
Paradoks: kontradiksi yang bermakna teknik literer untuk sindiran atau ironi
Aletheia (Heidegger): Penzahiran kebenaran Kebenaran yang ‘tersingkap’ melalui bahasa
Lebensform (Wittgenstein) : bentuk kehidupan konteks sosial di mana bahasa mendapat makna
Counter-discourse (Foucault): Wacana tandingan Perlawanan terhadap dominasi melalui bahasa
Aporia (Derrida): kebingungan makna dituasi paradoks yang menunda kepastian makna
Speech-act : Tindakan ujar bahasa yang tidak hanya berkata, tapi bertindak
Qaulan Sadida : ucapan benar dan tegas prinsip komunikasi Qur’ani yang lurus dan kuat