Site icon Majulah IJABI

Al-Azhar, Gaza, dan Ujian Kebebasan Bersuara dalam Dunia Islam

Sumber gambar : @Scope Empire

Oleh: K.H. Fajruddin Muchtar, Ketua Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI

Dalam sejarah panjang dunia Islam, Al-Azhar di Mesir telah menempati posisi agung sebagai menara ilmu dan moral. Sejak abad ke-10, universitas ini menjadi mercusuar pemikiran Islam Ahlusunah wal Jamaah—tempat bersandar para pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Di balik menara yang telah berdiri lebih dari seribu tahun itu, bersemayam semangat ijtihad, dialog, dan—yang tak kalah penting—komitmen moral terhadap kebenaran.

Namun, baru-baru ini, menara itu tampak terguncang oleh badai politik: Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad al-Tayyeb, mencabut pernyataannya yang semula tegas terhadap Israel sebagai pelaku genosida dan kelaparan sistematis di Gaza. Dunia pun bertanya-tanya: mengapa suara moral sebesar itu tiba-tiba terdiam?

Gaza adalah luka terbuka dalam nurani umat manusia. Agresi militer Israel yang membombardir rumah sakit, kamp pengungsian, sekolah, hingga masjid bukanlah sekadar statistik kematian. Ia adalah jeritan panjang anak-anak yang kehilangan orang tua, tangisan ibu-ibu yang menggali puing-puing untuk menemukan jasad anaknya, dan penderitaan jutaan jiwa yang bahkan tak tahu apakah esok hari mereka masih bisa makan.

Dalam situasi seperti ini, tak dibutuhkan ilmu tafsir tingkat tinggi untuk menyebut siapa pelaku dan siapa korban. Nurani manusia paling sederhana pun mampu menunjuk kepada kekejaman zionisme sebagai sumber utama dari malapetaka ini.

Ketika Grand Syekh Al-Azhar awalnya bersuara lantang—menyatakan bahwa “Israel bertanggung jawab atas genosida dan kelaparan sistematis di Gaza”—banyak yang menyambutnya sebagai suara keulamaan sejati. Suara seorang alim yang tak hanya menguasai teks, tetapi juga berani membela martabat mereka yang diinjak-injak kemanusiaannya. Namun, hanya dalam hitungan hari, pernyataan tersebut dicabut.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Banyak yang menduga: tekanan politik adalah penyebabnya. Mesir, tempat Al-Azhar berdiri, memiliki kepentingan diplomatik dan ekonomi yang signifikan dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Israel. Ketergantungan ini menciptakan dilema tragis: ketika institusi sebesar Al-Azhar menarik kembali pernyataan kecaman yang telah disampaikan, kita pun bertanya—masihkah ada ruang bagi keberanian moral dalam tubuh lembaga keislaman sebesar itu?

Dalam dunia yang kian tidak adil ini, pertanyaan penting pun muncul: mampukah institusi seperti Al-Azhar terus melahirkan ulama yang tak hanya alim dalam teks, tetapi juga kokoh dalam integritas dan keberanian moral? Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, ulama sejati adalah mereka yang berani menegakan keadilan dan hanya takut kepada Allah, bukan kepada tekanan kekuasaan atau kepentingan duniawi.

Di sinilah relevansi peringatan Sayyidina Ali bin Abi Thalib patut direnungkan:

“Kezaliman tidak akan pernah bertahan tanpa kerja sama antara si zalim dan mereka yang dizalimi. Diamnya yang tertindas adalah bentuk dukungan paling sunyi terhadap penindasan.”

Ali bin Abi Thalib bukan hanya seorang khalifah, ia adalah suara nurani umat. Ia mengingatkan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk dukungan paling berbahaya, karena membiarkan kebatilan terus hidup dalam diam yang mematikan. Apalagi yang diam dan dibungkam adalah Al Azhar.

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk diam di hadapan ketidakadilan. Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dan dalam hadis lain:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika itu pun tidak mampu, maka dengan hati, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Hari ini, kita tidak hanya menyaksikan tragedi kemanusiaan di Gaza, tetapi juga menyaksikan krisis moral dalam dunia Islam. Ketika institusi-institusi besar seperti Al-Azhar—yang sejak dahulu menjadi benteng ilmu dan adab—tidak lagi bebas menyuarakan kebenaran, kita patut bertanya: siapa yang membungkam mereka? Dan lebih penting lagi: siapa yang akan mengambil alih peran tersebut?

Tentu kita tidak sedang menghakimi seluruh ulama Al-Azhar. Banyak di antara mereka yang tetap jujur, berani, dan menjaga amanah keilmuan. Namun ketika suara resmi institusi dibungkam, ketika laman pernyataan dicabut, dan ketika fatwa disunting demi menjaga relasi diplomatik, kita berhadapan dengan kenyataan pahit: bahwa suara kebenaran bisa dibungkam—bahkan di pusat ilmu.

Perlu diingat, Al-Azhar tidak sekadar universitas. Ia adalah simbol warisan keilmuan Islam yang menyatukan akal dan hati. Ia membuka ruang bagi kajian filsafat, logika, dan dialog antarperadaban. Dari rahimnya lahir tokoh-tokoh besar pembaharu Islam seperti Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Mahmud Shaltut. Bahkan, dalam sejarahnya, Al-Azhar pernah menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme. Maka, ketika institusi sebesar ini melemah atau memilih diam, itu bukan hanya krisis sebuah negara—melainkan krisis umat secara keseluruhan.

Kini, kita semua sedang diuji.

Apakah kita juga akan memilih diam?

Jangan remehkan suara hati. Jangan anggap kecil kecaman seorang ibu di Gaza. Jangan abaikan doa anak-anak yatim yang tak mengenal diplomasi, tapi sangat mengenal arti lapar. Dan jangan sepelekan kekuatan selembar tulisan yang mencoba menyuarakan apa yang telah dibungkam.

Sejarah tidak hanya ditulis oleh para penguasa. Ia juga ditulis oleh mereka yang dizalimi—dan oleh mereka yang masih berani menyuarakan kebenaran.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim.” (QS. Ibrahim: 42)

Dan jangan pula kita lengah.

Ujian kebebasan bersuara dalam dunia Islam bukan hanya ujian bagi Al-Azhar. Ia adalah ujian bagi kita semua—ujian bagi hati kita: apakah masih hidup, atau telah mati karena terlalu lama memilih diam.

Exit mobile version