Oleh Abdul Karim
Sabtu, 21 Juni 2025
“Blowback adalah cara lain untuk mengatakan bahwa suatu bangsa akan menuai apa yang telah ditanamnya.” – Chalmers Johnson
Amerika Serikat hari ini berada di persimpangan paling berbahaya dalam sejarah imperiumnya. Sejarah panjangnya, dari republik agraria yang lahir dari revolusi melawan penjajahan Inggris hingga menjadi kekuatan global dengan pangkalan militer di lebih dari seratus negara, telah membentuknya menjadi kekaisaran modern yang terus bergulat dengan warisan masa lalunya dan kerentanan masa depannya. Dalam konteks konflik Israel-Iran yang meningkat tajam sejak April 2024, dunia kini menghadapi ketegangan yang tak hanya bersifat regional, tetapi menyimpan potensi eskalasi ke skala global. Di sinilah “blowback“—konsep yang diperkenalkan oleh Chalmers Johnson untuk menggambarkan konsekuensi tak terduga dari kebijakan luar negeri Amerika—menjadi kerangka penting untuk membaca krisis ini.
George Washington, dalam pidato perpisahannya pada tahun 1796, menyerukan agar Amerika menjauhi aliansi permanen dan konflik luar negeri. Namun sejarah menunjukkan bahwa seruan itu segera dikompromikan oleh doktrin Monroe pada 1823 yang menegaskan dominasi AS di belahan bumi barat, dan diperluas menjadi ambisi imperial melalui Perang Spanyol-Amerika tahun 1898. Zaman berubah, dan AS menjadi kekuatan yang tak sekadar melindungi dirinya dari ancaman luar, tapi secara aktif memproyeksikan kekuatannya ke penjuru dunia, dari Karibia hingga Asia Tenggara, dari Timur Tengah hingga Afrika. Imperialisme tak lagi dilakukan dengan penjajahan langsung, melainkan melalui pangkalan militer, tekanan ekonomi, dukungan terhadap rezim-rezim boneka, dan pembentukan struktur global yang menguntungkan Washington, seperti IMF dan World Bank. Apa yang dulunya adalah republik anti-imperial menjadi kekaisaran modern dengan wajah demokratis.
Dalam Blowback, Chalmers Johnson memperingatkan bahwa dampak-dampak dari operasi rahasia, intervensi militer, dan dominasi ekonomi yang dilakukan atas nama keamanan atau demokrasi akan kembali menghantam AS sendiri, sering kali dalam bentuk yang tak diantisipasi. Ia mencatat bahwa tindakan-tindakan seperti dukungan terhadap diktator, kudeta, hingga pemboman tersembunyi adalah penyebab langsung kemunculan kelompok-kelompok anti-Amerika yang menyerang balik—dari Iran hingga Indonesia, dari Kuba hingga Chile. Di dunia pasca-9/11, AS mengobarkan perang melawan teror dengan invasi dan drone, tetapi melupakan akar dari teror itu sendiri: penghinaan terhadap kedaulatan bangsa lain, pelanggaran hak asasi manusia, dan dukungan terhadap kekuasaan yang korup demi menjaga akses terhadap sumber daya dan jalur dagang.

Hari ini, ketika Israel dan Iran saling menghantam dengan serangan langsung dan proksi, Amerika berada di posisi sulit. Komitmennya terhadap Israel yang diberi bantuan militer tahunan sebesar $3,8 miliar menjadi batu uji atas klaimnya sebagai penjaga perdamaian. Sejak serangan Iran pada April 2024 yang membalas pembunuhan pejabat IRGC di Damaskus, konflik meningkat tajam, melibatkan Hezbollah dan Houthi, serta memicu peringatan dari intelijen akan kesiapan Iran menghadapi serangan penuh. Pertanyaannya bukan lagi apakah AS akan terlibat, tetapi sejauh mana. Probabilitasnya terpecah dalam tiga skenario besar, masing-masing menunjukkan bahwa setiap langkah AS akan membawa konsekuensi berat yang mencerminkan tesis utama Johnson: imperium yang gagal membaca sejarahnya sendiri akan dihukum oleh sejarah itu.
Skenario pertama—dukungan logistik tanpa keterlibatan langsung—menunjukkan bahwa AS mungkin mencoba bertahan di zona abu-abu. Dengan mengirim intelijen, memperkuat Iron Dome, menjatuhkan sanksi, dan memainkan narasi “pertahanan demokrasi”, AS berharap bisa menjaga jarak dari api perang langsung. Namun, seperti ditulis Johnson, dukungan tersembunyi ini adalah bentuk lain dari keterlibatan. Konsekuensinya tetap nyata. Dunia Muslim yang melihat serangan ke Teheran sebagai agresi akan memperkuat solidaritas terhadap Iran, menempatkan AS dan Israel sebagai blok terisolasi. Rusia dan Cina pun tak tinggal diam, dengan membentuk poros baru yang menantang hegemoni AS. Media korporat mungkin merayakan ini sebagai kemenangan strategis, tetapi dampak ekonominya akan semakin berat. Kontrak-kontrak pertahanan menjadi pemenang, sementara wajah AS sebagai simbol kebebasan berubah menjadi ikon intervensi. Blowback dari skenario ini tak akan berupa ledakan langsung, tapi berupa erosi legitimasi global, polarisasi domestik, dan konsolidasi musuh-musuh geopolitik.
Skenario kedua—perang terbatas dengan serangan udara dan laut—tampak paling mungkin. Sejarah menunjukkan bahwa AS kerap memilih jalur ini: cukup terlibat agar tidak kehilangan kontrol, tapi tidak cukup untuk mengorbankan pasukan darat secara besar-besaran. Dari Vietnam hingga Libya, pendekatan ini menjadi andalan. Tapi seperti yang diingatkan Johnson, intervensi semacam ini jarang berakhir sesuai rencana. Iran bukan Irak atau Suriah. Jaringan proksi seperti Hezbollah dan Houthi telah menunjukkan kapasitasnya melumpuhkan infrastruktur militer dan ekonomi. Jika AS memblokade Teluk Persia, maka harga minyak bisa melambung melewati $100 per barel, memicu resesi global. Perang ini akan memicu reaksi global: bukan hanya dari dunia Islam, tapi juga dari gerakan progresif global seperti BDS dan jaringan anti-perang yang sudah mengakar. Ini bukan hanya konflik militer, tapi pertempuran narasi, di mana AS sekali lagi akan dinilai sebagai pelaku agresi. Johnson memperingatkan bahwa imperium yang tidak mengoreksi langkahnya akan menghadapi krisis identitas, dan perang terbatas justru membuka pintu ke perang yang lebih besar.
Skenario ketiga—perang besar dengan keterlibatan penuh—memiliki probabilitas lebih kecil, tetapi efeknya bisa menghancurkan. Jika Iran menutup Selat Hormuz dan pasokan minyak global lumpuh, AS mungkin merasa tak punya pilihan selain menyerang besar-besaran. Dalam skenario ini, potensi penggunaan senjata nuklir taktis pun masuk dalam kalkulasi, seperti yang disinggung dalam doktrin militer modern. Tetapi ini berarti membakar jembatan terakhir dari legitimasi internasional. Dunia tak akan membiarkan perang semacam ini terjadi tanpa reaksi. Rusia dan Tiongkok, yang selama ini menjadi kekuatan penyeimbang, bisa mengambil kesempatan untuk menggeser struktur global. NATO bisa retak, Eropa bisa mengambil posisi netral, dan pasar global bisa kehilangan kepercayaan pada dolar dan sistem finansial AS. Bagi Johnson, inilah bentuk akhir dari blowback: kehancuran sistemik yang berasal dari kerakusan kekuasaan, keputusan yang diambil bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi oligarki militer, industri, dan finansial.
Yang menjadi pertanyaan penting adalah: apakah AS akan mampu keluar dari pola lama ini? Dalam sejarahnya, bangsa ini punya jejak keberanian rakyat yang melawan arus. Zinn menunjukkan bahwa dari pemogokan buruh, gerakan hak sipil, hingga perlawanan terhadap perang Irak, suara rakyat tak pernah mati. Hedges menyebutnya sebagai “tulang belakang moral” bangsa. Greenwald mengingatkan bahwa kekuasaan harus diawasi, dan Snowden adalah bukti bahwa whistleblower masih ada di tengah hegemoni pengawasan. Kini, dalam konteks polarisasi domestik yang ekstrem, utang nasional yang menembus $33 triliun, dan dominasi korporasi teknologi, rakyat AS punya peran penting. Mereka bisa mencegah Trump atau siapa pun dari melangkah ke jurang perang. Mereka bisa menolak propaganda media yang menyamarkan agresi sebagai pertahanan. Mereka bisa menolak narasi bahwa keamanan adalah alasan untuk menindas. Free will bukan sekadar teori—ia adalah kekuatan yang menentukan arah sejarah.
Jika kita menengok ulang gagasan Johnson, maka konflik Israel-Iran bukan hanya soal geopolitik Timur Tengah. Ini adalah ujian terhadap ingatan historis, terhadap kapasitas untuk belajar dari masa lalu, terhadap kemampuan untuk mengakui kesalahan. Johnson mengingatkan bahwa imperium Amerika telah menabur banyak luka—dari Guatemala hingga Gaza, dari Hiroshima hingga Fallujah. Dan luka-luka itu tak akan hilang dengan rudal atau embargo, tapi dengan peninjauan mendalam terhadap siapa kita, dan siapa yang sebenarnya kita layani. Dunia menyaksikan. Dan pertanyaan besarnya bukan sekadar “apa yang akan dilakukan Amerika?” tapi “apakah Amerika mampu tidak melakukan apa yang selalu dilakukannya?” Jika jawabannya adalah ya, maka mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah imperium, sebuah bangsa belajar sebelum terlambat. Jika tidak, maka seperti yang ditulis Johnson, “blowback” bukan ancaman—melainkan kepastian.
berdasarkan esai “Menakar Probabilitas Eskalasi ke Skala Global.” [Dimitri Mahayana]