Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Salah satu fondasi utama dalam teologi Islam, khususnya dalam tradisi Syiah Imamiyah, adalah keyakinan bahwa agama tidak dapat dipahami secara benar tanpa ma‘rifat yang benar terhadap Allah, Rasul, dan Hujjah (Imam Ahlulbait). Relasi ini termaktub dalam sebuah doa yang diriwayatkan dari Imam Ja‘far al-Ṣhadiq as, ketika sahabatnya, Zurarah ibn A‘yan, bertanya tentang kewajiban seorang mukmin ketika menghadapi masa ghaibah. Imam kemudian mengajarkan doa:
اللَّهُمَّ عَرِّفْنِی نَفْسَكَ فَإِنَّكَ إِنْ لَمْ تُعَرِّفْنِی نَفْسَكَ لَمْ أَعْرِفْ رَسُولَكَ
اللَّهُمَّ عَرِّفْنِی رَسُولَكَ فَإِنَّكَ إِنْ لَمْ تُعَرِّفْنِی رَسُولَكَ لَمْ أَعْرِفْ حُجَّتَكَ
اللَّهُمَّ عَرِّفْنِی حُجَّتَكَ فَإِنَّكَ إِنْ لَمْ تُعَرِّفْنِی حُجَّتَكَ ضَلَلْتُ عَنْ دِینِی
Ya Allah, perkenalkanlah diri-Mu kepadaku, karena jika Engkau tidak memperkenalkan diri-Mu kepadaku, aku tidak akan mengenal Rasul-Mu.
Ya Allah, perkenalkanlah Rasul-Mu kepadaku, karena jika Engkau tidak memperkenalkan Rasul-Mu kepadaku, aku tidak akan mengenal hujjah-Mu.
Ya Allah, perkenalkanlah hujjah-Mu kepadaku, karena jika Engkau tidak memperkenalkan hujjah-Mu kepadaku, aku akan tersesat dari agamaku.” (Muhammad ibn Ibrahim al-Nu‘mani, Kitab al-Ghaybah, hlm. 164–165, Biḥar al-Anwar, jil. 52, hlm. 123)
Doa ini menegaskan bahwa ma‘rifat dalam Islam memiliki struktur hierarkis, di mana pengenalan terhadap Allah menjadi fondasi bagi pengenalan Rasul, dan pengenalan Rasul menjadi dasar bagi pengenalan Imam sebagai hujjah Allah di setiap zaman.
Ma‘rifat Allah sebagai Fondasi
Imam al-Ṣhadiq as memulai doa dengan permohonan agar Allah memperkenalkan diri-Nya terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan prinsip Qur’ani:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Pengetahuan tentang Allah bukan sekadar konsepsi intelektual, melainkan pengenalan eksistensial yang menjadi fondasi semua bentuk keyakinan. Tanpa mengenal Allah, seluruh struktur iman akan kehilangan pijakan.
Ma‘rifat Rasul sebagai Perantara
Rasul adalah manifestasi kehendak Ilahi di tengah umat. Ia menjadi perantara epistemologis antara manusia dengan Tuhan, sebab hukum Allah dan pesan Ilahi hanya dapat diakses melalui kenabian. Karena itu, Imam menegaskan bahwa tidak mungkin mengenal hujjah (Imam) tanpa terlebih dahulu mengenal Rasul. Rasul adalah titik sambung antara langit dan bumi, sekaligus teladan konkret implementasi syariat.
Ma‘rifat Imam sebagai Hujjah
Dalam tradisi Syiah, Imam adalah hujjah Allah di bumi—pemegang otoritas ilahiah setelah Rasul. Ma‘rifat Imam tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan ma‘rifat Allah dan Rasul. Seperti ditegaskan Imam, bila seseorang tidak mengenal hujjah di zamannya, maka ia “tersesat dari agamanya”. Konsep ini sejalan dengan hadis masyhur Nabi saw:
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati tanpa (mengenal) seorang Imam, ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad, jil. 28, hlm. 88, no. 16876)
Imam al-Baqir as bersabda: “Barang siapa mati tanpa mengenal Imamnya, ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (Al-Ṣhaduq, Kamal al-Din wa Tamam al-Ni‘mah, jil. 1, hlm. 409)
Doa ini menunjukkan struktur pengetahuan religius yang bertingkat:
1. Tingkat Ontologis: Pengenalan Allah sebagai al-Ḥaqq yang menjadi sumber segala wujud.
2. Tingkat Kenabian: Pengenalan Rasul sebagai refleksi hukum Allah dalam sejarah.
3. Tingkat Imamah: Pengenalan hujjah sebagai penerus autentik Rasul dalam menjaga agama dari penyimpangan.
Dengan demikian, ma‘rifat dalam Islam bukanlah pengetahuan parsial, melainkan sistem koheren yang saling melengkapi.
Dalam konteks masa ghaibah, doa ini menjadi pedoman agar seorang mukmin tidak terlepas dari otoritas ilahi. Hujjah tetap hadir, meski tidak terlihat. Karena itu, kesetiaan pada Qur’an dan Ahlulbait sebagaimana ditegaskan dalam hadis al-Tsaqalain, adalah wujud nyata pengamalan doa tersebut.
Doa yang diajarkan Imam Ja‘far al-Ṣhadiq kepada Zurarah menyingkap bahwa jalan keselamatan tidak bisa ditempuh tanpa hierarki ma‘rifat: mengenal Allah → mengenal Rasul → mengenal Hujjah (Imam). Struktur ini menegaskan bahwa keimanan bukan sekadar pengakuan verbal, melainkan kesadaran epistemologis dan komitmen praktis untuk mengikuti otoritas Ilahi di setiap zaman.