Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam ajaran spiritual Islam, ikhlas selalu ditempatkan sebagai fondasi perjalanan spiritual (suluk). Tanpa ikhlas, seluruh amal ibadah kehilangan makna terdalamnya, karena yang menentukan nilai suatu amal bukanlah besarnya bentuk lahiriah, melainkan orientasi batiniah yang mengarah kepada Allah. Salah satu hadis agung dari Imam Ja‘far al-Shadiq `alayhis-salām menegaskan dimensi ini dengan pernyataannya:
القلب حرم الله فلا تسكن حرم الله غير الله
“Hati adalah haram (wilayah suci) Allah, maka jangan biarkan selain Allah bersemayam dalam haram Allah itu.” (Bihār al-Anwār, jil. 67, hlm. 25)
Hadis ini tidak hanya bernuansa etis, tetapi juga memiliki kedalaman ontologis dan epistemologis: ia menegaskan bahwa hati adalah pusat keterhubungan manusia dengan realitas transenden.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya ikhlas dalam berbagai ayat, antara lain:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas menjalankan agama, dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya milik Allah agama yang murni itu.” (QS. Az-Zumar [39]: 2-3)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.” (QS. Al-An‘am [6]: 162-163)
Selain Al-Qur’an, terdapat hadis-hadis yang juga menekankan urgensi ikhlas:
Nabi Muhammad saw bersabda:
«إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang ia niatkan.” (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, jil. 1, hlm. 3)
Imam Ali as bersabda:
«الْإِخْلَاصُ ثَمَرَةُ الْيَقِينِ»
“Ikhlas adalah buah dari keyakinan.” (Nahj al-Balāghah, Ḥikmah 237)
Imam Ja‘far al-Shadiq as bersabda:
«مَا أَخْلَصَ الْعَبْدُ الْإِيمَانَ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَرْبَعِينَ يَوْماً أَوْ يَوْماً وَاحِداً إِلَّا زَهَّدَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا»
“Tidaklah seorang hamba memurnikan imannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla selama empat puluh hari atau bahkan satu hari saja, kecuali Allah akan menjadikannya zuhud terhadap dunia.” (Bihār al-Anwār, jil. 67, hlm. 241)
Hadis-hadis ini menegaskan bahwa ikhlas bukan sekadar perintah etis, melainkan jalan menuju kesempurnaan iman dan kedekatan spiritual kepada Allah.
Implikasi-implikasi spiritual ikhlas dalam suluk, antara lain:
1. Dimensi ontologis: hati yang ikhlas berfungsi sebagai cermin realitas Ilahi. Ketika bebas dari “selain Allah”, hati memantulkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya secara jernih.
2. Dimensi epistemologis: ikhlas melahirkan pengetahuan yang benar (ma‘rifah), karena ia menyingkirkan kabut hawa nafsu yang menodai persepsi.
3. Dimensi etis: ikhlas menuntun manusia untuk konsisten dalam amal. Amal yang ikhlas tetap bernilai meskipun tidak dilihat manusia, karena ukurannya adalah keridaan Allah, bukan pengakuan sosial.
4. Dimensi estetik-spiritual: dalam perspektif irfan, ikhlas menghadirkan keindahan batin: hati yang hanya berisi Allah menjadi indah dan tenteram, serupa dengan Ka‘bah yang menjadi pusat orientasi spiritual seluruh umat.
Penggunaan istilah ‘haram’ dalam hadis Imam al-Shadiq as di atas menarik. Sebagaimana Haram suci di Mekah adalah kawasan suci yang tidak boleh dinodai dengan tindakan terlarang, maka hati manusia adalah “Haram Allah” yang tidak boleh ditempati oleh selain Dia. Dengan demikian, ikhlas bukan sekadar sikap moral, tetapi merupakan bentuk penjagaan atas kesucian fitrah manusia.
Kesimpulannya, hati sebagai haram Allah mengandung ajaran fundamental: ikhlas adalah fondasi suluk spiritual. Amal hanya akan bernilai dengan ikhlas. Perjalanan seorang sālik akan berhasil bila ia menjaga kemurnian hati dan menjadikannya sebagai ruang eksklusif bagi Allah. Dengan demikian, ikhlas bukan hanya prasyarat, tetapi juga tujuan akhir suluk, karena kesempurnaan jiwa terwujud ketika hati sepenuhnya bersemayam dengan cahaya Ilahi.