Oleh Dimitri Mahayana & Abdul Karim
Sabtu, 21 Juni 2025
“Doktrin kejut meniru proses penyiksaan: menciptakan ketakutan dan disorientasi yang mendalam, agar masyarakat menyerah pada hal-hal yang sebelumnya tak akan mereka terima.”— Naomi Klein, The Shock Doctrine
Di balik setiap dentuman bom di Gaza, di bawah setiap reruntuhan rumah sakit yang luluh lantak di Rafah, dan di sela ratapan para ibu yang kehilangan anak-anaknya, ada jejak uang yang tenang, dingin, dan tak pernah menangis. Dunia tampaknya berteriak tentang benturan agama, tentang Islam melawan Yahudi, tentang Timur yang melawan Barat. Tapi jika kita membungkam hiruk-pikuk propaganda dan berjalan pelan-pelan menyusuri jalur keuangan yang mengalir seperti sungai bawah tanah, kita akan melihat wajah yang jauh lebih jujur: wajah dari bisnis berdarah yang hidup dari penderitaan manusia.

Konflik yang terus membara di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari struktur kapitalisme bencana—disaster capitalism—yang dijelaskan dengan tajam oleh Naomi Klein. Dalam pandangannya, dunia tidak bergerak karena perang, melainkan karena keuntungan yang disembunyikan dalam perang. Korporasi-korporasi raksasa seperti Lockheed Martin, Raytheon, Northrop Grumman, bukanlah penonton pasif dari konflik ini; mereka adalah investor besar dalam setiap dentuman rudal, dalam setiap lonjakan ketegangan geopolitik. Dalam empat tahun terakhir, saham mereka meningkat hingga 67%, selaras dengan panasnya medan di Gaza, Yaman, Ukraina, Libanon, dan Suriah. Saat dunia menahan napas menyaksikan pecahnya perang antara Israel dan Iran pada pertengahan Juni 2025, pasar justru bersorak diam-diam. Setiap ledakan adalah kontrak baru. Setiap jenazah adalah peluang.
Naomi Klein menyebutkan bahwa kapitalisme bencana selalu mencari tanah kosong, semacam “clean slate”, yang tercipta lewat kekacauan. Di saat masyarakat sibuk menyelamatkan nyawa, para elite sibuk merancang skema laba. Bantuan militer tahunan Amerika Serikat ke Israel—3,8 miliar dolar—bukan sekadar “dukungan ideologis”, melainkan kontrak perdagangan: uang itu harus dibelanjakan pada senjata-senjata buatan AS. Dengan cara ini, militerisme tidak hanya menjadi alat politik, tetapi mesin ekonomi. Rudal Iron Dome, bom presisi, dan drone tak berawak mengalir ke Israel bukan karena ia “membela diri”, tetapi karena ia adalah pasar tetap bagi industri kematian.
Tak jauh berbeda dengan perusahaan energi raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, dan BP, yang menikmati lonjakan laba hingga 120% sejak 2020. Ketidakstabilan di kawasan memastikan bahwa harga minyak terus bergerak liar—dan karena sistem petrodolar memaksa perdagangan minyak tetap menggunakan dolar, maka setiap bom yang meledak di Timur Tengah adalah peneguhan hegemoni finansial Amerika Serikat. Naomi Klein menjelaskan bagaimana krisis dan perang sering kali dirancang atau setidaknya dimanfaatkan bukan untuk menghancurkan musuh, tetapi untuk menciptakan peluang ekspansi modal. Inilah yang ia sebut sebagai kompleks kapitalisme bencana: sinergi antara kekerasan, privatisasi, dan penciptaan pasar baru.
Di dunia ini, “kemenangan” tidak lagi diukur dari penaklukan wilayah, tetapi dari kapitalisasi saham. Maka tak mengherankan bila perusahaan-perusahaan seperti BlackRock dan Vanguard, yang menguasai lebih dari 30% ekonomi dunia melalui portofolio investasi mereka, diam-diam menjadi aktor penting di balik pergeseran kebijakan luar negeri, arah perang, dan struktur ekonomi global. Firaun hari ini bukanlah penguasa Mesir, melainkan mereka yang duduk di kursi direktur Wall Street. Haman bukanlah penasehat kerajaan Persia, tapi pialang senjata yang merancang konflik di ruang ber-AC. Qarun bukanlah saudagar kuno, melainkan pemilik hedge fund yang melihat Gaza sebagai peluang, bukan luka.
Namun, di tengah gelap dan kabut darah ini, berdiri mereka yang membawa tongkat Musa. Mereka adalah orang-orang biasa, tetapi dengan keberanian yang luar biasa. Mereka bukan bagian dari sistem kekuasaan, tetapi dari nurani umat manusia. Rachel Corrie, misalnya, seorang mahasiswa Amerika yang dibunuh oleh buldoser Israel saat mencoba melindungi rumah warga Palestina di Rafah. Dalam surat terakhirnya, ia berkata bahwa kita harus bicara soal ketidakadilan, bukan karena agama, tapi karena kita manusia.
Kapal-kapal solidaritas seperti Mavi Marmara dan Madelaine tidak hanya membawa bantuan kemanusiaan, tetapi juga harapan. Di dalamnya, duduk berdampingan Muslim, Yahudi, Kristen, dan ateis. Mereka bukan utusan negara, tetapi utusan hati nurani. Ketika kapal Madelaine dicegat pada Mei 2025, 54 penumpang dari 15 negara ditahan secara tidak sah, diinterogasi tanpa akses konsuler, dan dikurung dalam pusat penahanan yang tak memiliki kaca transparansi hukum. Dunia, seperti biasa, lebih memilih diam. Media arus utama membingkai agresi sebagai “tindakan keamanan”, dan bantuan kemanusiaan disamakan dengan ancaman militer.
Naomi Klein mengingatkan kita bahwa dalam kapitalisme bencana, tidak ada ruang bagi belas kasih. Satu-satunya yang dihitung adalah laba. Maka, tak mengherankan jika pelayaran penuh cinta itu dianggap sebagai pelanggaran. Tongkat Musa, dalam konteks ini, adalah metafora dari perlawanan terhadap sistem yang mengorbankan kemanusiaan demi pertumbuhan ekonomi. Tongkat itu kini dipegang oleh dokter-dokter di Gaza yang tetap bertugas meski rumah sakit dibom. Oleh nelayan Gaza yang tetap melaut meski kapal mereka ditembak. Oleh jurnalis seperti Shireen Abu Akleh, yang dibunuh saat melaporkan kebenaran.
Di Amerika Serikat, Donald Trump berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia ditekan oleh lobi pro-Israel seperti AIPAC dan tokoh-tokoh hawkish seperti Lindsey Graham. Di sisi lain, ia harus menjaga basis pemilih MAGA yang menolak keterlibatan dalam perang luar negeri. Ambiguitas Trump mencerminkan dilema seorang politisi yang terjebak antara narasi demokrasi dan mesin bisnis berdarah. Ia tahu bahwa keterlibatan langsung dalam perang akan memicu eskalasi yang bisa menghancurkan citra “peacemaker” yang sedang ia bangun untuk Pilpres 2028. Namun ia juga tahu bahwa tidak memenuhi permintaan Netanyahu bisa melemahkan dukungan elite keuangan dan industri militer.
Kemungkinan terbesar, seperti ditulis dalam prediksi, adalah dukungan terbatas kepada Israel: bantuan logistik, penguatan sistem pertahanan, dan percepatan pengiriman senjata. Ini aman secara politik, menguntungkan secara ekonomi, dan tetap bisa dijual sebagai “dukungan untuk sekutu”. Ini adalah bentuk diplomasi dengan senjata, atau lebih tepatnya, perdagangan dengan darah. Trump tahu bahwa langkah ini akan menyenangkan investor, dan di saat yang sama tetap mempertahankan dukungan domestik.
Pilihan menyerang Iran secara terbatas juga terbuka, apalagi jika eskalasi meningkat akibat balasan dari proksi Iran. Tetapi bahkan dalam skenario ini, motifnya tetap bukan kemanusiaan atau keadilan, melainkan stabilitas harga minyak dan kepentingan ekonomi. Naomi Klein menyebut ini sebagai privatization of war—perang yang tidak lagi menjadi proyek negara, melainkan proyek bisnis. Dan perang skala penuh? Sulit terjadi. Tak ada pasar yang siap menanggung risiko penutupan Selat Hormuz dan lonjakan harga minyak yang bisa memicu resesi global.
Satu hal yang jelas: tak akan ada momen di mana Trump benar-benar meninggalkan Israel. Aliran uang, jaringan kepentingan, dan infrastruktur ekonomi-politik Amerika terlalu dalam terikat pada eksistensi negara Zionis itu. Bahkan jika rakyat Amerika menolak perang, suara mereka hanya menjadi latar bising dari simfoni uang yang mengatur orkestrasi kekuasaan.
Naomi Klein menunjukkan bahwa kehancuran bukan akhir, melainkan awal dari proyek kapitalisme bencana. Setiap reruntuhan adalah titik mula. Setiap penderitaan adalah peluang. Maka dunia tak akan damai, bukan karena manusia tak mau damai, tetapi karena perdamaian bukanlah bisnis yang menjanjikan. Dan selama sistem ini dibiarkan hidup, maka darah akan terus mengalir, bom akan terus dijatuhkan, dan anak-anak akan terus dikuburkan sebelum sempat membaca puisi.
Namun, sebagaimana diingatkan Klein, doktrin kejut tidak akan selamanya berhasil. Seperti dalam proses penyiksaan, ada momen ketika korban mulai mengenali manipulasi. Ada titik ketika masyarakat berhenti takut, dan mulai melawan. Tongkat Musa akan selalu muncul, di tangan siapa pun yang memilih berdiri melawan penindasan. Bukan untuk mendirikan kekuasaan baru, tetapi untuk meruntuhkan mesin ketidakadilan yang selama ini menyamar sebagai tatanan dunia.
Dan saat itulah, air lautan ketidakadilan akan terbelah. Darah yang mengalir akan berubah menjadi sungai pembebasan. Dan para Dracula dari Blood Based Business, yang selama ini menghisap darah umat manusia, akan tenggelam dalam arus balik perlawanan yang tak lagi bisa dibungkam.