Site icon Majulah IJABI

Kebahagiaan dalam Islam 

 Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI) 

Salah satu penyebab utama munculnya keragaman definisi tentang kebahagiaan adalah perbedaan worldview (pandangan dunia) yang mendasari sistem keyakinan dan etika setiap individu maupun tradisi. Dengan demikian, kejelasan pandangan dunia sangat menentukan dalam merumuskan definisi kebahagiaan yang tepat sekaligus menjelaskan cara mencapainya. Dalam hal ini, terdapat perbedaan mendasar antara pandangan materialistis dan pandangan teistik dalam memandang hakikat kebahagiaan. 

Islam, dengan fondasi pandangan dunia tauhid, menawarkan konsepsi khas mengenai kebahagiaan. Islam tidak hanya mendefinisikan kebahagiaan, tetapi juga menetapkan jalan normatif agar manusia dapat meraihnya. Dalam perspektif Islam, kebahagiaan sejati dan tujuan akhir kehidupan manusia terletak pada kedekatan dengan Allah (qurb ila Allah). Hanya dengan itulah manusia memperoleh keberuntungan hakiki serta kenikmatan tertinggi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Karena itu, manusia dituntut untuk menjaga hubungan dengan Allah sekaligus mengorientasikan kehidupannya pada akhirat agar kebahagiaan sejati benar-benar tercapai. 

Al-Qur’an menggambarkan kebahagiaan sejati sebagai kebahagiaan ukhrawi yang bersifat eksistensial, bukan sekadar emosional. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah: 

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ 

“Pada hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (QS. Hud [11]: 105) 

Pada Hari Kiamat, manusia akan terbagi ke dalam dua golongan: mereka yang celaka (syaqi) dan mereka yang bahagia (sa‘id). Kebahagiaan di sini bermakna kedekatan dengan Allah, yang melahirkan ketenteraman abadi dan kelanggengan nikmat ukhrawi. 

Ayat berikut menegaskan hal tersebut: 

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ 

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka di dalam surga, kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (lain). Sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hūd [11]: 108) 

Ungkapan ‘atha’an ghayra majdzudz (karunia yang tidak terputus) menyingkap hakikat kebahagiaan sejati: kebahagiaan yang mutlak, kekal, dan tidak fana sebagaimana kenikmatan duniawi. Kebahagiaan hakiki hanya dapat diraih melalui kesempurnaan ruhani, yakni kedekatan dengan Allah. 

Islam tidak menafikan peran dunia dalam kehidupan manusia. Dunia dipandang sebagai sarana, bukan tujuan. Meski demikian, karena akhirat memiliki nilai yang jauh lebih besar, kebahagiaan sejati tetap berakar pada orientasi ilahiah. Al-Qur’an dan hadis menekankan bahwa untuk meraih kebahagiaan ukhrawi diperlukan prasyarat tertentu, terutama keimanan. Pengetahuan rasional semata tidak mencukupi; iman kepada Allah, hari kebangkitan, serta kenabian menjadi fondasi mutlak. 

Selain itu, Islam menekankan keutamaan moral. Al-Qur’an berulang kali mengaitkan kebahagiaan dengan takwa dan dzikrullah. Misalnya dalam firman Allah: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 130) 

Larangan riba bukan sekadar soal ekonomi, melainkan terkait erat dengan kesucian jiwa. Riba menumbuhkan kerakusan dan memperlebar jurang ketidakadilan sosial. Karena itu, kebahagiaan sejati hanya dapat terwujud melalui takwa, yaitu kesadaran moral dan spiritual yang mengendalikan hawa nafsu. 

Begitu pula dalam konteks jihad, Allah berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu berjumpa dengan pasukan (musuh), maka teguhkanlah hatimu dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. al-Anfal [8]: 45) 

Ayat ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati tidak semata-mata ditentukan oleh strategi militer, tetapi juga oleh keteguhan jiwa yang bersandar pada dzikrullah. 

Islam memandang manusia sebagai makhluk bebas. Kebebasan ini menjadi prinsip fundamental yang menjadikan kebahagiaan sebagai hasil dari pilihan dan usaha manusia. Setiap amal perbuatan akan kembali kepada pelakunya, dan dengan demikian tanggung jawab atas kebahagiaan ada pada diri manusia itu sendiri. Segala pandangan yang menafikan kebebasan manusia tidak sejalan dengan prinsip dasar Islam. 

Kebahagiaan dalam Islam bukan sekadar kondisi psikologis, melainkan keadaan eksistensial yang berpuncak pada kedekatan dengan Allah. Ia diraih melalui kombinasi usaha rasional, moral, dan religius. Kebahagiaan sejati lahir dari penyucian jiwa, takwa, dzikrullah, serta orientasi ilahiah. 

Dengan demikian, Islam memandang kebahagiaan moral dan eksistensial sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dunia dan akhirat bukanlah dua realitas yang berlawanan, melainkan dua tingkat eksistensi yang saling melengkapi. Kebahagiaan hakiki adalah kesinambungan ruhani yang menemukan puncaknya di akhirat, ketika manusia berjumpa dengan Allah. 

Exit mobile version