Site icon Majulah IJABI

Kebenaran Ilmiah tidak akan Final

Sumber gambar : https://pin.it/1impfmfv8

Oleh Mohammad Adlany, Ph,D., Anggota Dewan Syura IJABI

Kita hidup di zaman ketika ilmu pengetahuan menjadi salah satu fondasi utama peradaban. Berkat ilmu, manusia bisa menjelajah angkasa, menyembuhkan penyakit, dan menciptakan teknologi canggih. Namun, satu hal yang sering terlupakan adalah: kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran yang mutlak dan final. Ia terus berubah, berkembang, bahkan kadang ditinggalkan.

Ilmu itu bukanlah dogma. Banyak orang berpikir bahwa jika sesuatu sudah “dibuktikan secara ilmiah”, maka itu pasti benar selamanya. Padahal, sejarah sains menunjukkan sebaliknya. Dulu, kita percaya bahwa matahari mengelilingi bumi. Itu adalah “kebenaran ilmiah” di masanya. Tapi kemudian Copernicus dan Galileo menunjukkan bahwa justru bumi yang mengelilingi matahari.

Hal yang sama terjadi dalam fisika, biologi, bahkan kedokteran. Teori Newton yang dulu dianggap mutlak, akhirnya disempurnakan oleh teori relativitas Einstein. Dalam biologi, pemahaman kita tentang gen, evolusi, atau sistem imun terus berubah seiring riset terbaru.

Artinya, ilmu pengetahuan bukan kitab suci. Ia tidak membawa wahyu yang sempurna, melainkan kesimpulan sementara berdasarkan bukti yang tersedia.

Mengapa ilmu selalu berubah? Karena dunia ini terlalu kompleks. Setiap teori ilmiah lahir dari pengamatan terhadap realitas, tapi pengamatan manusia punya batas. Teknologi berkembang, alat ukur makin canggih, dan pengetahuan bertambah—sehingga kesimpulan hari ini bisa jadi diralat esok hari.

Ilmu berkembang karena dibangun di atas kritik, pembuktian ulang, eksperimen, dan koreksi. Inilah keindahan dan kekuatan ilmu: ia rendah hati. Ia mengakui bahwa “saya bisa saja salah”—dan justru karena itulah ia menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu.

Contoh dekat adalah pandemi COVID-19. Di awal pandemi, para ilmuwan belum tahu banyak tentang virus ini. Protokol kesehatan terus berubah: dari awalnya melarang masker, kemudian menganjurkan masker, dari satu jenis vaksin ke vaksin lainnya. Banyak orang bingung dan marah, “Kok bisa berubah-ubah?”

Tapi justru itulah proses ilmiah: ketika bukti bertambah, maka kesimpulan pun harus diperbarui. Yang tidak berubah-ubah justru biasanya bukan ilmu, tapi wahyu.

Apa implikasinya bagi kita? Jangan menyembah ilmu. Hargai ilmu, tapi sadarilah bahwa ia bukan Tuhan. Kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk direvisi. Jadilah pembelajar seumur hidup. Jangan berhenti di satu teori atau pemahaman. Dunia berubah, dan kita harus terus belajar. Berpikir kritis, bukan sinis. Mengkritisi sains bukan berarti anti-sains. Tapi jangan juga menelan bulat-bulat semua klaim “ilmiah” tanpa pertimbangan. Kombinasikan ilmu dengan nilai-nilai. Ilmu memberi tahu apa yang bisa kita lakukan, tapi nilai dan etika memberi tahu apa yang seharusnya kita lakukan.

Ilmu pengetahuan adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia adalah dialog terus-menerus antara manusia dan alam semesta. Justru kehidupan sains terletak pada ketidakfinalannya. Ia mengajak kita untuk terus bertanya, menggali, dan berkembang.

Jadi, saat seseorang berkata, “Ini sudah dibuktikan secara ilmiah,” kita patut menghormatinya, tapi juga bertanya, “Sampai kapan?” Karena besok, siapa tahu kebenaran itu akan berubah. Dan itu bukan kegagalan ilmu—itu justru keberhasilannya.

Exit mobile version