Majulah IJABI

Kebenaran yang Tak Bisa Didamaikan

Oleh Abdul Karim

“Les guerres d’expansion impérialiste ne sont que l’irrévocable conclusion de l’évolution programmée de la galaxie libérale.”—Ilich Ramírez Sánchez, L’islam Révolutionnaire

Ada konflik yang lahir dari tanah dan ada pula yang disemai oleh gagasan. Konflik antara Iran dan Israel termasuk yang terakhir: ia tumbuh dari pandangan dunia yang saling menafikan, dari dua horizon ideologis yang tidak bersedia berdamai dalam wilayah makna dan moralitas. Dalam pandangan Imam Ruhollah Khomeini, pertikaian ini bukan sekadar persoalan batas wilayah atau persaingan geopolitik Timur Tengah, melainkan perjuangan antara kezaliman dan keadilan, antara kebenaran yang diperjuangkan para mustadh’afin dan kedustaan yang dilanggengkan oleh kekuatan mustakbirin global.

Sejak awal, Khomeini menyadari bahwa konflik dengan Israel adalah konsekuensi dari pembacaan ideologis terhadap dunia pascakolonial. Di dalam pidato-pidatonya yang terdokumentasi dalam Islam and Revolution, Khomeini menggambarkan Israel bukan sebagai sekadar negara, melainkan sebagai manifestasi kolonialisme modern yang memanfaatkan agama sebagai tameng dan kekuatan imperialis sebagai punggung. “Israel,” katanya, “adalah alat kolonialisme yang tertanam di jantung dunia Islam.” Ia menolak mentah-mentah gagasan rekonsiliasi atau normalisasi karena menurutnya, keberadaan Israel itu sendiri merupakan bentuk perampasan dan perlawanan terhadap fitrah keadilan yang diamanatkan Islam.

Buku The Islamic Republic and the World karya Maryam Panah menjelaskan bagaimana pandangan internasional Iran pasca-revolusi tak bisa dilepaskan dari doktrin Khomeini yang bersumber pada prinsip universal Islam revolusioner. Penolakan terhadap Israel bukan keputusan pragmatis, tetapi langkah etis yang lahir dari kesadaran bahwa dunia modern—yang dipimpin kekuatan Barat—telah gagal menjamin hak-hak dasar rakyat tertindas. Khomeini menawarkan apa yang Panah sebut sebagai “Islamic universalism with revolutionary populism,” yaitu pandangan bahwa setiap umat Islam—terlepas dari bangsa dan mazhab—harus bersatu menentang simbol-simbol kolonialisme, dan Israel adalah salah satunya.

sumber gambar : https://pin.it/17vcYNkpB

Khomeini tidak hanya menggunakan bahasa politik, tetapi juga bahasa spiritual untuk menegaskan konfliknya dengan Israel. Dalam Islam and Revolution, ia mengaitkan nasib Palestina dengan nilai-nilai syariah dan kewajiban umat Islam. Menyerah pada keberadaan Israel, bagi Khomeini, sama dengan mengkhianati al-Qur’an dan mencabut keberpihakan Islam dari kaum tertindas. Maka, tidak heran jika di banyak khutbahnya, ia menyandingkan kebebasan Palestina dengan darah para syuhada Karbala—simbol tertinggi perlawanan dalam sejarah Syi’ah.

Roy Mottahedeh dalam The Mantle of the Prophet memberi perspektif yang memperdalam akar moral konflik tersebut. Ia menggambarkan bahwa para ulama seperti Khomeini bukan hanya aktor politik, melainkan pewaris tradisi teologis yang melihat dunia bukan dalam kerangka realisme politik, tetapi dalam semesta nilai yang memihak pada penderitaan dan perjuangan. Konflik dengan Israel, dengan demikian, adalah kelanjutan dari warisan para imam Ahlulbait yang menolak berkompromi dengan kekuasaan zalim, betapapun besar tekanan dunia terhadap mereka.

Konflik itu juga dilihat oleh Khomeini dalam dimensi dekolonial. Dalam A Critical Introduction to Khomeini, Arshin Adib-Moghaddam dan para penulis lainnya menjelaskan bahwa proyek politik Khomeini tidak hanya bertujuan membebaskan Iran dari Syah dan sekutunya, tetapi juga menciptakan horizon baru dalam geopolitik dunia Islam. Melawan Israel berarti mengakhiri narasi sejarah yang selalu menempatkan dunia Islam sebagai obyek peradaban Barat. Khomeini memperkenalkan kerangka berpikir di mana dunia Islam dapat menentukan sendiri siapa yang sah untuk disebut korban dan siapa yang pantas disebut penjajah.

Dalam bab “Khomeini and the West”, Mehran Kamrava menyoroti bahwa Khomeini tak pernah melihat Israel sebagai entitas terpisah dari hegemoni Amerika. Israel adalah ekspresi nyata dari kolonialisme liberal yang, dalam pandangan Ilich Ramírez Sánchez dalam L’islam Révolutionnaire, hanyalah kelanjutan dari ekspansi imperialisme kapitalistik yang menyamar dalam jubah legalitas internasional. Israel, menurut Carlos the Jackal, adalah wajah paling vulgar dari pendobrakan kedaulatan bangsa-bangsa oleh “galaksi liberal”. Khomeini dan Carlos berbagi nalar yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah Yahudi sebagai entitas agama, tetapi Zionisme sebagai ideologi penindas yang memanfaatkan ras, sejarah, dan trauma sebagai alat pembenaran kekerasan struktural.

Konflik Iran dan Israel, dalam kerangka ini, bukan konflik agama, melainkan konflik moral-politik yang bermula dari dua kosmologi yang saling mengusir. Di satu sisi, kosmologi Zionis yang mengklaim hak eksklusif atas tanah dan sejarah, dan di sisi lain, kosmologi Islam revolusioner yang menolak semua bentuk penjajahan, apapun nama dan dalihnya. Ketika Khomeini menyerukan Jumat Internasional Quds, ia tidak hanya mengajak umat Islam untuk bersimpati pada Palestina, tetapi menempatkan Quds sebagai simbol pertarungan antara kemanusiaan dan kolonialisme global.

Dalam wacana inilah, pertentangan Iran-Israel menjadi sangat ideologis. Ia tak lagi sekadar soal rudal dan perbatasan, tetapi perlawanan terhadap tatanan dunia yang dibangun di atas kebohongan historis. Maryam Panah mencatat bahwa upaya ekspor revolusi Iran bukanlah proyek ekspansionis, melainkan bentuk solidaritas ideologis yang menolak netralitas dalam menghadapi ketidakadilan. Dan karena Israel menjadi simbol paling konkret dari apa yang Khomeini anggap sebagai manifestasi taghut (tirani), maka Iran tidak akan pernah berhenti menentangnya, bahkan jika harus berdiri sendiri.

Namun Khomeini tidak membangun narasi biner yang kaku. Ia sadar bahwa tidak semua Yahudi adalah Zionis, dan tidak semua Zionis adalah musuh agama. Tapi dalam kerangka geopolitik praktis, sebagaimana dijelaskan dalam bab tentang Wilayat al-Faqih dalam buku A Critical Introduction to Khomeini, ia menegaskan perlunya seorang pemimpin agama-politik yang berani mendefinisikan musuh secara jelas agar umat tidak tersesat dalam kabut kompromi. Israel, bagi Khomeini, adalah ujian bagi keberanian moral umat Islam dalam menolak dunia yang dibangun di atas kebungkaman.

Konflik ini juga berkaitan erat dengan memori kolektif dunia Syi’ah. Sebagaimana digambarkan Mottahedeh, tragedi Karbala menjadi fondasi psikologis yang membentuk keberanian revolusioner Iran. Palestina dipandang sebagai Karbala modern, dan Gaza sebagai bayi yang menangis di pangkuan Zainab. Maka perlawanan terhadap Israel bukan sekadar strategi, tapi bentuk penghayatan spiritual atas sejarah suci perlawanan.

Ilich Ramírez Sánchez dalam L’islam Révolutionnaire menyebut bahwa imperialisme tidak bisa dikalahkan hanya dengan diplomasi; ia hanya bisa digugat oleh mereka yang siap membayar harga kebenaran dengan darah dan pengasingan. Khomeini adalah cermin dari pandangan ini. Ia memilih pengasingan, lalu kembali dengan revolusi, bukan untuk membangun negara dalam pengertian konvensional, tetapi untuk membangun makna baru tentang kedaulatan, tentang harga diri, tentang Islam yang tidak tunduk pada siapa pun selain Tuhan.

Dunia modern yang liberal—sebagaimana dikritik tajam oleh Adib-Moghaddam—telah menanggalkan moralitas dari politik. Ia menganggap kemajuan adalah soal ekonomi dan teknologi, bukan soal etika dan solidaritas. Dalam dunia semacam ini, keberadaan Israel bisa dimaklumi sebagai “realitas politik”. Tapi bagi Khomeini, realitas tanpa keadilan adalah tirani yang dilumuri retorika damai. Dan perdamaian yang diminta dari Iran, jika mensyaratkan penerimaan atas penjajahan, hanyalah penyerahan diri atas kehinaan.

sumber gambar : https://pin.it/2ARdzKr8I

Iran tetap berdiri dalam posisi yang tidak kompromis bukan karena keras kepala, tetapi karena keyakinan. Keyakinan bahwa dunia bisa diubah jika umat memiliki keberanian moral untuk tidak tunduk pada kenyataan palsu. Sebagaimana dikatakan Khomeini dalam Islam and Revolution, “Jika kami diam, maka kami tidak layak menyebut diri Muslim. Jika kami menyerah, maka kami tak pantas disebut manusia.”

Esai ini bukan glorifikasi atas konflik, melainkan undangan untuk membaca ulang dunia dari sisi yang tidak disorot lampu berita barat. Bahwa mungkin, dalam dunia yang kacau ini, suara Imam Khomeini tetap menggema bukan karena ia menang secara militer, tetapi karena ia tidak pernah menyerah pada kebohongan. Dan selama masih ada yang berani menolak normalisasi terhadap penjajahan, konflik ini akan tetap menyala—bukan sebagai bara kebencian, tapi sebagai nyala kebenaran yang tak bisa didamaikan.

Daftar Pustaka

1. Khomeini, Ruhollah. Islam and Revolution: Writings and Declarations of Imam Khomeini (1941–1980). Terjemahan dan anotasi oleh Hamid Algar. BookBaby, 2015.

2. Mottahedeh, Roy. The Mantle of the Prophet: Religion and Politics in Iran. Simon & Schuster, 1985.

3. Adib-Moghaddam, Arshin (ed.). A Critical Introduction to Khomeini. Cambridge University Press, 2014.

4. Sánchez, Ilich Ramírez (Carlos). L’islam Révolutionnaire. Éditions du Rocher.

5. Panah, Maryam. The Islamic Republic and the World: Global Dimensions of the Iranian Revolution. Pluto Press, 2007.

Exit mobile version