Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam literatur etika Islam sangat ditekankan pentingnya mengendalikan keinginan. Imam Hasan al-Askari as bersabda:
مَا أَقْبَحَ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ تَكُونَ لَهُ رَغْبَةٌ تُذِلُّه
“Alangkah buruknya bagi seorang mukmin apabila ia memiliki keinginan yang justru menghinakannya!” (Al-Ḥarrani, Tuḥaf al-‘Uqul, hal. 498; lihat juga: Riḍai Iṣfahani, Mizan al-Ḥikmah, jilid 2, hal. 1742)
Ungkapan ini menyingkap sebuah prinsip moral yang mendalam: tidak semua keinginan patut diikuti, karena sebagian darinya justru dapat meruntuhkan kehormatan manusia.
Manusia secara fitri memiliki kecenderungan dan hasrat. Namun, keinginan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua: yang sejati dan yang palsu. Keinginan sejati membawa manusia pada kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, sementara keinginan palsu justru menjerumuskannya pada kehinaan dan kerendahan.
Misalnya, rasa lapar dapat memunculkan keinginan untuk makan. Namun, tidak semua makanan bermanfaat. Ada makanan yang tampak lezat namun membawa penyakit setelah dikonsumsi. Dengan demikian, keinginan yang tampak menyenangkan tidak selalu selaras dengan kebaikan hakiki.
Membedakan antara keinginan sejati dan keinginan palsu bukan perkara sederhana. Imam Hasan al-Askari as menegaskan bahwa tugas ini hanya mungkin dilakukan oleh ahli hakikat manusia—yakni Allah Swt, Nabi, dan Ahlulbait Nabi. Mereka memahami hakikat fitrah manusia dan mengetahui jalan yang benar menuju kemuliaan dan ketinggian. Karena itu, hanya melalui bimbingan ilahi seseorang mampu mengarahkan hasratnya ke arah yang benar.
Al-Qur’an sendiri menegaskan pentingnya tidak mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Ṣhad [38]: 26)
Imam al-Askari as memperingatkan agar manusia tidak terjerumus dalam keinginan yang bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaannya. Dalam kehidupan sosial, tidak jarang kita menyaksikan seseorang yang mengejar jabatan atau kedudukan tanpa kelayakan. Ambisi ini pada awalnya tampak menguntungkan, namun pada akhirnya membawa kehinaan ketika realitas menunjukkan ketidakmampuannya.
Al-Qur’an menggambarkan bahwa orang yang tidak mampu menahan nafsu ibarat hewan yang hanya mengikuti dorongan rendah:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. al-Jatsiyah [45]: 23)
Pesan ini senada dengan peringatan Imam Hasan al-Askari as agar manusia tidak menjadi budak dari keinginannya sendiri, apalagi yang merendahkan martabatnya.
Pesan Imam Hasan al-Askari as tentang keinginan yang menghinakan merupakan ajakan untuk refleksi diri. Dalam kehidupan modern yang sarat dengan tawaran materi, jabatan, dan popularitas, pesan ini tetap relevan: tidak semua keinginan layak diikuti. Keinginan yang sejati ialah yang mengangkat martabat manusia, bukan yang merendahkannya.
Al-Qur’an pun menegaskan bahwa kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang beriman.” (QS. al-Munafiqun [63]: 8)
Dengan demikian, pengendalian keinginan adalah syarat mutlak untuk menjaga kemuliaan diri seorang mukmin.

