Oleh: Ustadz Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
“Demi Allah, aku hanya mengeluh dan bertawakal kepadaNya; kemudian apa saja rekapedaya yang ingin kalian lakukan, lakukanlah! Dan apa saja usaha yang ingin kalian lakukan, lakukan saja! Dan kalian tak akan pernah bisa menghilangkan kami dari ingatan orang-orang (wa laa tamhuu dzikrona). Dan kalian kalian tidak akan mampu menghancurkan wahyu kami. Dan kalian tidak pernah bisa mencapai kebesaran dan keagungan yang kami miliki. Tak akan mampu membersihkan noda buruk dari baju kalian. Segala pendapat kalian akan segera dianggap cacat dan dilecehkan. Kekuasaan kalian tak akan bertahan lama, orang-orang di majelis kalian akan segera tercerai berai.” (Cuplikan dari Khutbah Sayyidah Zainab putri Amirul Mukminin dan Sayyidah Zahra salamullah ‘alaihim di hadapan Yazid di Syam /Damaskus)
Khutbah sangat fasih dan tajam Sayyidah Zainab putri Ali di hadapan Yazid mengandung gagasan penting tentang rekapedaya hegemoni Bani Umayah untuk mencoba menghapus memoria collectiva (ingatan kolektif) ummat pada Ahlubait Nabi Sas. Sesungguhnya dzikr pada Ahlubait Nabi Saw memiliki beberapa unsur. Dzikru ‘Aliyyin ‘ibaadah. Dzikr pada Ali adalah ibadah. Mengingat kesetiaan dan kesiapan ‘Ali bin Abi Thalib untuk berkorban demi Nabi Saw adalah ibadah. Demikian pula majelis yang di dalamnya diingat dan dirawat kecintaan pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci Saw seperti halnya majelis Shalawatan, majelis Maulid Nabi, majelis haul dan duka cita keluarga Nabi. Namun demikian dzikrona yang disebutkan Sayyidah Zainab dalam khutbahnya tidak hanya bersifat spiritual, sesungguhnya ingatan kolektif pada Ahlubait Nabi Saw merangkum juga perlawanan dan resistensi terus menerus pada kuasa hegemonik sepanjang sejarah manusia .
Frasa “wa laa tamhuu dzikrona” (kalian tidak akan mampu menghapus ingatan tentang kami) bukan sekadar pernyataan emosional, melainkan manifestasi dari kesadaran kolektif yang dibangun atas dasar: dzikrullah (mengingat Allah melalui Ahlul Bait sebagai Imago Dei atau pengemban wasiat Rasulullah Saw); al-Wafa’ (kesetiaan pada Allah melalui kesetiaan pada Rasul dan Ahlubaitnya salamullah’alaihim); penentangan terhadap hegemoni (dekonstruksi narasi penguasa).
Meminjam Pierre Hadot, filsuf Prancis yang mempelajari spiritualitas kuno, “wa laa tamhuu dzikrona” (kalian tidak akan mampu menghapus ingatan tentang kami) ini tidak lain adalah resep utama “latihan spiritual” untuk membangun subjek-subjek yang siap melawan kekuasaan yang zalim.
Mencoba menelisik khutbah suci di hadapan penguasa di Syams ini dengan gaya kritis linguistik Noam Chomsky , kita akan memperoleh suatu gagasan yang menarik. “Tak akan mampu membersihkan noda buruk dari baju kalian. Segala pendapat kalian akan segera dianggap cacat dan dilecehkan. Kekuasaan kalian tak akan bertahan lama, orang-orang di majelis kalian akan segera tercerai berai” tak lain merupakan kritik tajam terhadap manufactured consent—cara rezim menciptakan persetujuan palsu melalui manipulasi informasi.
Meminjam gaya analisis tajam Ali Syari’ati, frasa khutbah”Demi Allah, aku hanya mengeluh dan bertawakal kepadaNya” menunjukkan spiritualitas perlawanan. Ali Syariati dalam Red Shi’ism vs. Black Shi’ism menjelaskan bahwa tawakal bukan pasivitas, melainkan energi revolusi. Atau, meminjam dari bahasa Cornel West, ini tidak lain adalah “prophetic resistance“—perlawanan yang berakar pada iman. Musa dan Harun salamullah ‘alaihim tidak melawan hegemoni Fir’aun dengan kekuatan militer raksasa, namun mereka benar-benar membawa resistensi profetik yang maharaksasa. Melalui resistensi ini, dengan perjalanan yang panjang, akhirnya Pertolongan Langit pun menenggelamkan pasukan Fir’aun di Laut Merah.
Dalam frasa khutbah “Kalian tidak akan mampu menghilangkan kami dari ingatan orang-orang”, di sini ada suatu hal yang sangat menarik. Menurut penulis, ada sebuah petunjuk dari salah satu Wanita yang paling cerdas yang pernah ada di bumi ini, bahwa pada dasarnya musuh sejati dari hegemoni Yazid dan hegemoni-hegemoni lain adalah ingatan kolektif (memoria collectiva). Jadi spiritualitas dan originalitas Islam yang dibawa oleh Nabi Suci Muhammad Saw yang direpresentasikan oleh Qur’an dan Ahlubait Nabi Saw tetap akan terselamatkan dan tetap akan menang selama hegemoni Bani Umayah tidak berhasil men-delete kecintaan pada Qur’an dan Ahlubait Nabi Saw dari memori umat. Memoria melawan Hegemoni.
Menurut Maurice Halbwachs, ingatan kolektif senantiasa diperebutkan antara kelompok dominan dan subaltern. Bani Umayyah mencoba menghapus ingatan tentang Ahlul Bait melalui: distorsi sejarah (seperti pelarangan riwayat tentang Ali), kekerasan simbolik (Bourdieu) melalui stigmatisasi Syiah. Selanjutnya, kita akan meminjam dari Alasdair MacIntyre , filsuf yang sering dikutip oleh Guru Bangsa KH. Jalaluddin Rakhmat. Dalam After Virtue menekankan bahwa tradisi yang hidup akan selalu memiliki “narrative unity” yang tidak bisa dihancurkan. Sayyidah Zainab memprofesikan dan menegaskan hegemoni Bani Umayah tidak akan bisa menghilangkan narrative unity kecintaan kaum Muslim pada Nabi Saw dan keluarganya salamullah ‘alaihim sampai kapan pun.
Kembali pada frasa “Segala pendapat kalian akan segera dianggap cacat”. Frasa ini memberikan pondasi dan landasan bagi Epistemologi Perlawanan. Misal, mari kita merujuk pada kegagalan proyek “knowledge monopoly” kekuasaan. Michel Foucault dalam Archaeology of Knowledge menunjukkan bagaimana rezim mencoba mengontrol kebenaran, tetapi selalu ada counter-knowledge yang muncul dari kelompok tertindas. Melalui merawat ingatan pada musibah-musibah yang dialami oleh Nabi Saw dan keluarganya yang suci as, termasuk di antaranya merawat ingatan pada Aba ‘Abdillah Al Husain as, kaum Muslim memiliki modal epistemologis yang tak tertandingi.
Kemudian dalam frasa “Kekuasaan kalian tak akan bertahan lama”, terkandung suatu pelajaran penting tentang teori kekuasaan. Sejatinya ini adalah hukum sejarah yang diungkapkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah: “Setiap kekuasaan yang zalim akan hancur oleh kezalimannya sendiri.” Kekuasaan para hegemoni tak akan bertahan terus menerus. Di dalam diri kekuasaan hegemonic ada kontradiksi diri. Mereka menghancurkan diri sendiri.
Dalam realitasnya , Bani Umayyah—seperti semua rezim hegemonik—menggunakan tiga alat utama untuk memanipulasi ingatan kolektif umat pada Karbala, derita keluarga Nabi Saw dan cinta pada keluarga Nabi Saw. Rekayasa Sosial (melalui propaganda anti-Ahlul Bait), Manipulasi Pikiran (pelarangan majelis-majelis dzikir untuk Ali dan Fatimah), Penghancuran Simbol (pemusnahan makam para Imam)
Namun, seperti dikatakan Zainab, semua ini sia-sia karena: Memoria Collectiva Ahlul Bait dibangun di atas cinta (mahabbah) dan pengorbanan (tadhkiyah), bukan kekuasaan. Kaum Muslim, adalah pewaris ingatan kolektif, alladziina badzaluu muhajahum duunal Husain ‘alaihissalam. Yakni, mereka yang mengorbankan segalanya untuk Husain ‘alaihis salam.
Dari Asyura ke Asyura, Arbain ke Arbain, para pecinta Ahlubait Nabi Saw hidup dalam ritus-ritus untuk selalu merawat ingatan seperti Ziarah Arbain dan Majelis Duka, yang menurut Emile Durkheim adalah “ritual regenerasi sosial.” Mengikuti pesan KH. Miftah Fauzi Rakhmat, boleh jadi kita tidak layak masuk barisan suci para manusia cahaya penuh keikhlasan seperti Qasim, Ali Akbar, Abafadhl ‘ Abbas, tapi kaum Muslim setidaknya harus bersumpahsetia untuk mewariskan ingatan kolektif/memoria collective musibah yang dialami keluarga Nabi Saw ini dan cinta pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci as dari generasi ke generasi.
Sungguh, memoria collectiva ini tidak akan pernah padam karena ia adalah cahaya Allah yang “tidak bisa dipadamkan oleh angin hegemoni mana pun.” Dan melaluinya, kaum Muslim akan bergabung dengan mereka yang selalu diingat dan dicintainya. Karena, barang siapa mencintai batu, ia kelak akan digabungkan dengan batu tersebut; maka bagaimana mungkin kaum Muslim celaka selama ia senantiasa merawat terus menerus cinta pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci as dalam ingatannya.
Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu , wa ilaihi uniib.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum…