Site icon Majulah IJABI

Makna Transenden Allahu Akbar: Antara Bahasa, Batas, dan Ketak terbatasan Tuhan 

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI) 

Imam Shadiq as pernah bertanya kepada seseorang: “Apa arti dari ‘Allahu Akbar’?” 

Orang itu menjawab: 

اللَّهُ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَی‏ء 

Allah lebih besar dari segala sesuatu. 

Imam bersabda: 

حَدَّدتَهُ 

Engkau telah membatasi-Nya. 

Orang itu bertanya: “Bagaimana maksudnya?” 

Imam menjawab: “Engkau telah menciptakan suatu gambaran: ada benda-benda, lalu ada Tuhan; keduanya seakan terpisah dengan batasan. Engkau menetapkan batas bagi Tuhan, batas bagi mereka, lalu mengatakan bahwa Tuhan lebih besar dari mereka.” 

Orang itu bertanya: “Lalu apa yang seharusnya aku katakan?” 

Imam bersabda: 

اللَّهُ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ یوصَف‏ 

Allah lebih besar dari sekadar dapat digambarkan dengan kata-kata. (Al-Tawḥid, Syaikh al-Ṣhaduq, jilid 1, halaman: 305–306) 

Kalimat Allahu Akbar merupakan salah satu zikir paling fundamental dalam Islam. Ia hadir dalam shalat, azan, doa, bahkan menjadi semboyan spiritual yang melekat dalam kehidupan Muslim. Namun, makna filosofis di balik kalimat ini tidak sesederhana “Allah lebih besar dari segala sesuatu.” Riwayat dari Imam Ja‘far Ṣhadiq as membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam: Allahu Akbar bukanlah perbandingan kuantitatif atau relasional, melainkan penegasan bahwa Allah melampaui segala bentuk batasan deskriptif. Segala deskripsi adalah sesuatu yang ditambahkan pada dzat. Bagaimana mungkin kita hendak menggambarkan Yang Tak Terbatas? Jika kita mengatakan “Dia lebih besar dari sesuatu yang lain,” maka itu berarti kita telah menjadikannya terbatas! 

Bahasa pada hakikatnya bersifat terbatas. Ketika manusia berkata “lebih besar,” ia menyandarkan makna pada relasi antara dua hal: sesuatu dibandingkan dengan yang lain. Dengan mengatakan “Allah lebih besar dari segala sesuatu,” seolah-olah ada kategori ontologis yang sama antara Tuhan dan makhluk, hanya berbeda pada tingkatan besar-kecil. Imam Ṣhadiq as menolak reduksi ini, dengan menyatakan: “اللَّهُ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ یوصَف‏” — Allah lebih besar dari sekadar dapat digambarkan. 

Di sini muncul kritik terhadap logika deskriptif manusia. Deskripsi selalu menjadi tambahan pada zat. Tetapi dalam ketuhanan, tidak ada sesuatu pun yang dapat ditambahkan atau dilekatkan pada Zat-Nya yang murni dan mutlak 

Konsep ketakterbatasan Tuhan adalah pusat dari riwayat ini. Jika Allah disebut “lebih besar dari sesuatu,” maka Dia sudah ditempatkan dalam kerangka perbandingan dan batas. Padahal, yang tak terbatas tidak dapat dimasukkan dalam kategori perbandingan dengan yang terbatas. Karena itu, setiap bentuk deskripsi relasional justru mengurung Tuhan dalam ruang konseptual yang sempit. 

Di sinilah Allahu Akbar bermakna: Allah melampaui segala kategori, melampaui segala bentuk ukuran, melampaui semua konsep “besar-kecil” yang dipahami manusia. 

Dalam teologi Islam, pemahaman ini mengokohkan prinsip tanzih (penyucian Tuhan dari segala keserupaan). Allah tidak dapat diukur, dibatasi, atau ditentukan oleh konsepsi makhluk. Mulla Ṣadra menekankan bahwa keberadaan Tuhan adalah wujud muṭlak, sehingga segala kategori yang bersifat terbatas tidak berlaku bagi-Nya. 

Riwayat Imam Shadiq as memberikan penguatan langsung dari sisi hadis: Tuhan tidak bisa ditakar dengan “lebih besar dari sesuatu.” Ia hanya bisa diimani dan disucikan dari segala batasan konseptual. 

Apa implikasi spiritualnya? Bagi seorang mukmin, penghayatan makna transenden Allahu Akbar menumbuhkan kesadaran eksistensial bahwa Allah tidak bisa direduksi ke dalam definisi. Kalimat takbir bukan sekadar slogan ritual, tetapi pengingat bahwa setiap kali manusia berzikir, ia sedang menyatakan kelemahan bahasanya dalam merangkum hakikat Tuhan. Hal ini melahirkan sikap kerendahan hati intelektual dan spiritual. 

Riwayat Imam Ṣhadiq as tentang makna Allahu Akbar membimbing kita untuk memahami bahwa hakikat Tuhan adalah Realitas yang tak terbandingkan, tak terukur, dan tak terdeskripsikan secara penuh. Dengan demikian, Allahu Akbar menjadi pernyataan teologis yang menolak segala pembatasan, sekaligus menjadi deklarasi spiritual yang menyucikan Tuhan dari sekat-sekat bahasa manusia. 

Exit mobile version