Belakangan banyak ulasan terhadap pertanyaan, akankah AI mempunyai kesadaran (conscientious)?
Jawabannya, mungkin saja. Tapi, jawaban itu harus segera disusul dengan pernyataan ini: sesadar-sadarnya AI – dan seberapa pun canggihnya kesadaran AI ini – tetap saja kesadarannya berbeda dengan kesadaran (spiritual) manusia – tentu bagi yang percaya bahwa kesadaran spiritual manusia itu autentik.
Sejauh-jauhnya kesadaran AI, bahkan dalam quantum computing, ia tetap algoritmik.
Kesadaran ini akan sama dengan kesadaran manusia, kalau kita percaya bahwa kesadaran manusia itu hanya terbatas pada kesadaran rasional saja.
Dan, kalau memang ini yang kita percayai, maka benar bahwa suatu saat AI bisa mengalahkan/menjajah manusia.

Tapi bagi yang percaya bahwa manusia punya daya-daya yang lebih luhur dari sekadar daya rasional, prospek ini bisa tidak terjadi. Ini pun kalau manusia mau menjalani proses (pendidikan) untuk mengaktualkan daya-daya luhurnya ini. Ya, prospek singularity, yang di dalamnya AI disebut-sebut akan mengalahkan manusia, hanya akan jadi kenyataan kalau manusia tidak bisa mengaktualisasikan potensi-potensi luhurnya. Yakni, potensi supra rasional – yang dalam pemikiran Ibn ‘Arabi – disebut potensi imaginal dan potensi spiritual. Yang dimaksud potensi imajinal adalah potensi imajinasi yang “tidak bersambung” (discontigious/munfashil) – yakni yang berupa semacam ilham dari “atas”. Sejauh-jauh kemampuan AI, ia hanya bisa menghasilkan “imajinasi bersambung” (contagious/muttashil) – yakni yang terkait dengan pengalaman empiris (yang dalam filsafat peripatetik disebut sebagai dihasilkan dari operasi daya mutakhayilah). Dan ini bukan hal mudah. Pendidikan kita masih belum mengakui adanya daya-daya (lebih) luhur manusia ini.
Nah, soal adanya potensi-potensi luhur pada manusia ini sebetulnya bukan hanya pandangan kaum sufi/mistikus saja, seperti Ibn ‘Arabi. Dengan kata lain, oleh para pemikir “beriman” – meski istilah ini sebenarnya tidak terlalu tepat juga – karena para pemikir beriman ini sesungguhnya sama menggunakan metode intelektual dalam menjustifikasi pandangan-pandangannya, sebagaimana para pemikir modern, atau bahkan kaum saintis.
Baik itu pemikir dan saintis ilmu kealaman, maupun psikologi dan ilmu sosial lainnya.
Kembali kepada soal, apakah AI akan punya kesadaran sendiri, persoalannya terletak pada – jika memang AI akan punya kesadaran sendiri – apakah kesadarannya akan sama dengan kesadaran manusia?
Kalau kita pelajari psikologi dan cognitive science, misalnya, kesadaran manusia ini sangat kompleks. Secara agak negatif hal ini diungkap oleh Sigmund Freud. Atau secara lebih positif oleh William James, Carl G Jung, Abraham Maslow, Ken Wilber, dan lain-lain. Yang, menurut para pemikir ini, kesadaran luhur manusia itu nyaris tidak ada precursor-nya. Nyaris out of the blue. Dari langit atau, seperti kata al. Maslow, dari alam antara (intermediate world/realm). Makanya dibilang discontigous (munfashil) – tak bersambung dengan atau tak ada hubungannya dengan pengalaman empiris. Adanya kesadaran ini dibuktikan dengan beberapa cara: khususnya oleh kebenaran mimpi yang prediktif – yakni tentang sesuatu yang belum terjadi. (Sebetulnya juga oleh bukti-bukti tentang adanya efficacy of prayers – kemustajaban doa, plus sifat mekanika kuantum dalam cara otak bekerja. Yakni prinsip entanglement dalam mekanika kuantum).
Padahal ini masih di tataran alam material. Tapi ini saja sudah mengindikasikan adanya hukum-hukum alam lain – dalam agama disebut sebagai hukum alam lembut/ruhani (alam amr) – yang tak sepenuhnya sejalan dengan hukum- saintifik di alam material/kasar. Ketiga bukti di atas, dalam ilmu psikologi kesadaran, biasanya dijadikan dasar akan adanya pandangan dualistik jiwa/sumber kesadaran. Artinya, ada kesadaran yang lokusnya adalah ego personal/muttashil, dan ada yang lokusnya adalah di luarnya/munfashil.
(Bersambung ke bagian 2).