Site icon Majulah IJABI

Mengapa Bumi Tidak Hancur Berkecai?

sumber gambar : https://pin.it/50K0FWdaS

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

To be, or not to be—that is the question.” Tapi bagi Bumi, pertanyaannya lebih mendalam: “Berputar atau tidak berputar? Mengorbit atau bertabrakan?

Bayangkan Bumi sebagai aktor utama dalam drama kosmik yang megah. Ia berputar pada porosnya seperti Hamlet yang dilanda keraguan, mengelilingi Matahari bak Romeo yang tergila-gila pada Juliet, sambil terhanyut dalam tarian galaksi yang tak berkesudahan.

Sementara itu, kita hanya penonton, berdiri di atas panggung raksasa yang melesat tanpa henti—tanpa sadar bahwa kita sedang menari bersama semesta dengan kecepatan lebih dari 3,6 juta kilometer per jam.

Namun anehnya, kita masih bisa menyeruput secangkir kopi dengan tenang di pagi hari.

Bumi berputar seperti penari flamenco yang penuh semangat, 1.674 km per jam di garis khatulistiwa. Andaikan putaran ini berhenti seketika, semua benda di permukaan akan terlempar seperti kelereng. Namun gravitasi—sang penjaga tak terlihat—memeluk kita erat, menjaga kita tetap di tempat yang seharusnya. Tak hanya berputar, Bumi juga mengelilingi Matahari dalam lintasan elips, kadang mendekat hingga 147 juta km (perihelion), kadang menjauh hingga 152 juta km (aphelion), dengan kecepatan menakjubkan: 107.280 km/jam.

Matahari sendiri bukan pusat mutlak. Ia pun bergerak, membawa seluruh tata surya mengelilingi pusat Bima Sakti dengan kecepatan 828.000 km/jam. Dan galaksi kita pun melesat menuju pusat gravitasi maha besar yang misterius: Great Attractor, dengan kecepatan 2,3 juta km/jam. Dalam semua lapisan gerakan ini, kita menumpuk kecepatan hingga 3,6 juta km/jam—namun yang kita rasakan hanyalah angin sepoi-sepoi dan ketenangan pagi.

Apa rahasianya?

Keseimbangan dan harmoni.

Gravitasi Bumi, sering kali terlupakan, – bak seorang Ibu mendekap bayinya- bekerja diam-diam melawan gaya sentrifugal yang ingin melempar kita ke luar angkasa. Tanpa gravitasi, air akan terbang ke angkasa, atmosfer akan lenyap, dan tubuh kita akan melayang tak tentu arah.

Di balik semua ini, hukum-hukum fisika menjaga keteraturan.

Newton mengajarkan bahwa gerak lurus tidak memerlukan gaya. Einstein menambahkan bahwa selama gerakan konstan, kita tak akan menyadarinya. 

Karena itulah, meskipun Bumi sedang melaju gila-gilaan, kita tetap merasa diam. Semua karena hukum-hukum itu bekerja dengan presisi yang nyaris mistis – bahkan lebih erat ketimbang seorang Ibu mendekap bayinya.

Namun, keseimbangan dan harmoni ini sama sekali bukan kebetulan. Para ilmuwan menyadari bahwa jika satu saja dari konstanta fisika berubah sedikit, kehidupan tidak akan pernah ada. 

Jika gravitasi 10% lebih kuat, bintang akan meledak terlalu cepat. Jika energi gelap sedikit lebih besar, semesta akan koyak sebelum molekul bisa terbentuk. Jika kekuatan elektromagnetik bergeser tipis saja, DNA tidak akan pernah terangkai; dan kehidupan tak muncul .

Einstein mengakui, “Yang paling tidak bisa dipahami dari alam semesta adalah bahwa ia bisa dipahami.” Newton menyebut orbit planet sebagai bukti matematis akan keberadaan Tuhan. Martin Rees, astrofisikawan kontemporer, menegaskan bahwa hidup kita tergantung pada ketepatan presisi sangat tinggi angka-angka fundamental semesta.

Lalu, apakah semua ini kebetulan?
Ataukah semesta sedang berbisik: “Aku diciptakan untukmu.”

Bayangkan, Bumi terus berputar, tapi tak terdengar suaranya. Matahari terus menyinari, tapi kita sering luput memandangnya. Galaksi menari tanpa pernah kita minta, dan kita terlalu sibuk menggulir layar ponsel. 

Padahal, kita sedang meluncur melintasi ruang dan waktu, dalam kapal tak kasatmata yang disebut Bumi, melaju 3,6 juta km per jam. Dan kita masih bisa tersenyum, mencintai, bercita-cita.

Lamat-lamat , bumi, gemintang dan galaxy pula kosmos bak Rumi melantunkan puisi dalam tarian kosmis.

Kita hanyalah debu dalam tarian abadi— Berputar, jatuh, bangkit, dan larut dalam orbit cinta.
Matahari adalah guru yang sabar, Bumi adalah murid yang setia, dan kita? 
Kita hanyalah setetes anggur dalam pesta abadi semesta.
Barangkali, bumi tidak hancur berkecai, karena semesta terlalu mencintai kita untuk membiarkannya terjadi.

Di sini , seharusnya kita melihat Cinta Meliputi Segala Sesuatu. Maka nikmat Tuhan kalian yang mana yang hendak kalian dustakan?

Exit mobile version