Site icon Majulah IJABI

Menjadi Abbas: Cinta Yang Tak Pernah Lemah, Dan Tak Pernah Mundur Dalam Bashirah Sempurna

Sumber gambar : https://pin.it/3Hvm4ttZw

Oleh : Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Di tengah padang tandus Karbala, saat matahari menggantung tanpa belas kasih dan pasir menyala bagai bara api, muncullah seorang lelaki yang seakan keluar dari jantung langit dan ruh para nabi. Dialah Abal Fadhl al-‘Abbas. Sosok tegap itu tak hanya menunggang kuda, tapi menunggang keberanian dan kemuliaan menuju cakrawala ujian tertinggi. Ia tidak sedang menempuh perang biasa. Ia menempuh takdir para kekasih Tuhan.

Langkah-langkahnya menerobos puluhan ribu musuh tidak berbekal taktik atau siasat militer. Ia bermodalkan bashīrah dan kesetiaan. Tombak mengarah kepadanya, panah melintas seperti hujan kematian. Namun satu arah tak berubah: jalan menuju Eufrat. Ia melihat air yang jernih menggoda kerongkongan keringnya. Ia menyendok air itu dengan tangan, mendekatkannya ke bibir, lalu membuangnya kembali. “Wahai jiwaku,” katanya, “bagaimana kau bisa meminum sedang Husain kehausan?” Air bukan sekadar cairan—ia adalah cobaan. Dan Abbas adalah jawaban dari ujian tertinggi.

Tangan kanannya ditebas. Ia tidak goyah. Ia mengucapkan kalimat sejarah:

والله إن قطعتموا يميني، إني أحامي أبداً عن ديني، وعن إمام صادق اليقين
“Demi Allah, jika kalian memotong tangan kananku, aku akan tetap membela agamaku dan imam yang benar.”

Tangan kirinya ditebas. Ia tidak jatuh. Ia menggigit tali kantung air dengan giginya, menggantungkannya pada sisa-sisa lengan, dan terus maju. Cintanya lebih tajam dari segala pedang. Saat panah menghujam mata dan tongkat besi menghantam kepalanya, ia tumbang bukan sebagai pecundang, tapi sebagai bintang yang terbenam dalam kemuliaan.

Tak ada satu detik pun, sejak misi dijalankan hingga syahadah, yang menunjukkan bahwa Abbas pernah melemah, apalagi mundur. Ia tidak hanya tidak lemah. Ia adalah penafian terhadap segala bentuk kelemahan. Ia tidak hanya tidak mundur. Ia adalah dekonstruksi total atas seluruh sistem bahasa tentang kemunduran. Dalam makna Derridean, Abbas adalah differance yang menolak seluruh struktur semantik dari kata “lemah” dan “mundur.” Ia menyingkapkan bahwa di balik segala simbol kekuasaan hegemonik—politik, militer, narasi—masih ada manusia yang lebih bebas dari segala bentuk dominasi: insan yang merdeka karena bashīrah dan pengorbanan.

أَشْهَدُ أَنَّكَ لَمْ تَهِنْ وَلَمْ تَنْكُلْ، وَأَنَّكَ مَضَيْتَ عَلَى بَصِيرَةٍ مِنْ أَمْرِكَ، مُقْتَدِيًا بِالصَّالِحِينَ، وَمُتَّبِعًا لِلنَّبِيِّينَ
Aku bersaksi bahwa engkau tidak melemah dan tidak mundur, dan bahwa engkau melangkah di atas bashīrah dari urusanmu, meneladani orang-orang saleh, dan mengikuti para nabi.

Ziarah ini bukan pujian, tapi kesaksian eksistensial terhadap pribadi langka yang menghimpun keberanian dan kejernihan visi spiritual dalam satu jiwa.

Kata لَمْ تَهِنْ berasal dari akar و-هـ-ن, yang berarti kelemahan secara fisik atau mental. “Wahan” mengandung makna keretakan tekad dan kepasrahan jiwa. Sedangkan لَمْ تَنْكُلْ, dari akar ن-ك-ل, mengacu pada mundurnya seseorang karena ketakutan atau keraguan. Frasa nakala rajulu artinya—“lelaki itu mundur dari medan karena gentar.”

Gabungan dua kata ini membentuk negasi total atas dua sifat: kelemahan dan ketakutan. Dan Abbas bukan hanya bebas dari keduanya—ia adalah lawan dari keduanya dalam hakikat ontologis. Ia yang tidak minum saat kehausan. Ia yang kehilangan kedua tangannya tapi tetap berusaha menyampaikan air. Ia adalah keberanian ruhani dalam wujud manusia.

Kata بَصِيرَةٍ berasal dari ب-ص-ر. Dalam al-Ma‘ani, bashīrah adalah “penglihatan batin.” Raghib al-Isfahani menyebutnya sebagai quwwah fit-ta‘ammul allatī tahdī ilā al-ḥaqq—kekuatan kontemplatif yang menuntun pada kebenaran. Sedangkan Lisan al-‘Arab menyebutnya sebagai ru’yat al-qalb—pandangan hati yang menembus di balik yang lahir.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
Katakanlah: inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashīrah. (Yusuf: 108)

Bashīrah bukan pengetahuan biasa. Ia adalah cahaya yang diberikan Allah kepada hati-hati yang terpilih. Bashīrah adalah kesadaran eksistensial yang membimbing tanpa kompas duniawi. Abbas memeluk bashīrah itu ketika ia tahu bahwa walaupun sangat mungkin ia tidak akan menang secara fisik, namun tetap berangkat karena kemenangannya bukan di dunia, melainkan di langit ruhani.

 “Al-‘ilm nurun yaqdhifuhu Allah fi qalbi man yasya’.” Ilmu adalah cahaya yang ditempatkan Allah di hati yang Ia kehendaki. Abbas adalah pemilik nur itu. Ia tak menunggu sesaat pun untuk melaksanakan  perintah Husain. Ia membaca isyarat ruhani. Kuda-kuda perang, kebisingan dan kedahsyatan perang tak mengganggu sedikit pun tafakkurnya. Dan tindakan-tindakannya meledak dalam sejarah.

Søren Kierkegaard menyebut knight of faith sebagai sosok yang berjalan dalam derita dan tekanan bertubi sehingga seolah secara fisik tenggelam dalam absurditas,  tapi tidak terjebak dalam keputusasaan. Ia sadar bahwa dunia tak menawarkan jaminan, tapi ia tetap melangkah karena keyakinannya lebih tinggi dari logika dunia. Abbas adalah puncak dari knight of faith. Ia tahu ia akan mati, tahu air sungguh sangat mungkin tak akan sampai, tapi ia tetap maju. Dalam tragedi, ia menemukan makna, dan itu mengubah tragedi menjadi teofani.

Dalam dunia yang penuh keraguan, Abbas berdiri sebagai mercusuar. Ia membuktikan bahwa manusia bisa hidup tanpa takut, berjuang tanpa syarat, dan mati tanpa penyesalan.

Jean-Paul Sartre barangkali akan menyebut Abbas sebagai pribadi yang memilih dengan otentisitas, yang bertindak bukan karena determinasi luar, tapi karena kebebasan batin. Albert Camus mungkin akan melihat Abbas sebagai manusia revolusioner walau diterpa absurditas menerus—yang menolak menyerah pada takdir, dan justru memberi makna pada penderitaan. Dalam kacamata Deridda, tindakan Abbas sebagai deconstruction terhadap seluruh narasi hegemoni: Abbas tidak hanya menolak tunduk—ia meruntuhkan definisi kekalahan dan kemenangan itu sendiri. 

Bagaimana ‘Abbas dari sudut tinjauan filsafat Mulla Shadra, perjalanan ruhani manusia disebut Al-Asfār al-Arba‘ah: Min al-khalq ilā al-ḥaqq — dari makhluk menuju Tuhan. Abbas mengikis makna dan realitas “lemah”, “mundur”, “egoism” dalam dirinya sehingga ia terus maju dengan ketaatannya pada Imam Husain menuju Yang Maha Meliputi.

Fi al-ḥaqq bi al-ḥaqq — berada dalam kebenaran bersama Yang Mahabenar. Abbas hidup dan mati dalam bashīrah. Ia menyatu dengan kebenaran, bukan sebagai ide, tapi sebagai wujud eksistensial. Abbas menyatu dengan nama Allah, Al-‘Aziiz , Yang Mahagagah, yang tidak memiliki celah untuk kelemahan apa pun. Dan ia memasukkan dirinya pada transubstansiasi arah maju secara permanen. Tidak pernah lagi apa pun bisa membuat ruh dan hakikat dirinya melemah dan mundur.

Min al-ḥaqq ilā al-khalq — kembali dari Tuhan menuju makhluk. Ia kembali membawa air—simbol rahmat ilahi bagi yang kehausan. Air itu bukan hanya untuk anak-anak, tapi untuk jiwa-jiwa yang kehilangan bashīrah. Di saat syahadah, air ini tidak sampai. Namun ‘Abbas membawa Air Maknawi untuk seluruh manusia di sepanjang sejarah manusia. Ia bertransformasi dari wujud material menjadi wujud spiritual yang menembus ruang, waktu dan sejarah.

Ma‘a al-ḥaqq fi al-khalq — bersama Allah dalam pengabdian kepada sesama. Abbas wafat dalam khidmat sempurna pada manusia dan kemanusiaan. Ia adalah bentuk sempurna dari insan kamil—melayani karena cinta, berkorban karena bashīrah. Ia adalah bentuk sempurna dari ketaatan pada Pemimpin Kafilah Kemanusiaan (Imam) , dan perkhidmatan pada Kemanusiaan secara utuh tanpa sedikitpun tercemari noda ego.

Di titik ini, Abbas menjadi archetype Insan Kamil. Ia bukan hanya syahid. Ia adalah teladan, tanda, cahaya, dan pelita abadi bagi semua umat manusia.  Dalam dirinya tidak ada setitik pun wahan (kelemahan), tidak secuil pun nakal (kemunduran). Ia telah menyatu dengan sifat Al-‘Azīz (Yang Maha Mulia), Al-Ghaniyy (Yang Maha Mandiri), dan menampakkan secercah cahayanya di bumi yang gelap oleh kuasa hegemonik.

Dalam dunia yang penuh keraguan, Abbas berdiri sebagai mercusuar. Ia membuktikan bahwa manusia bisa hidup tanpa takut, berjuang tanpa syarat, dan mati tanpa penyesalan. Ia bukan sekadar sejarah. Ia adalah masa depan manusia yang merindukan bashīrah dan keberanian.  Abbas adalah nama lain dari keberanian spiritual yang tak bisa dikalahkan oleh apapun, karena ia telah menyatu dengan Yang Tak Terbatas.

Gema Bashīrah dan Keberanian
Engkau bukan bayang,
engkau bukan gema,
engkau adalah dentum dan gelegar walau sendiri
yang mengguncang jantung sejarah.
Langkahmu bukan suara,
tapi petir yang disembunyikan langit
dalam dada para pecinta.
Ketika semua memilih jeda,
engkau memilih berjalan tanpa tangan.
Ketika semua memilih air,
engkau memilih Bashīrah dan Cinta
Wahai Abbas,
di tubuhmu tertulis: lam tahin wa lam tankul
di nadimu mengalir: ‘ala bashīrah min amrik
Engkau bukan yang gugur,
engkau adalah bunga,
yang tak pernah tumbuh untuk musim,
tetapi untuk abadi.

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Arumsari, Malam 18 Muharram 1467 H

Exit mobile version