Penulis : Abdul Karim
Selasa, 17 Juni 2025
“If we don’t believe in freedom of expression for people we despise, we don’t believe in it at all.” — Noam Chomsky
Di tengah reruntuhan Gaza yang tak henti dibombardir, suara seorang jurnalis bernama Marwan al-Ghoul menyusup ke ruang-ruang sunyi dunia yang lebih sibuk memperdebatkan terminologi diplomatik daripada kemanusiaan yang terinjak. Ia adalah suara yang tidak bersembunyi, meski tahu ia sedang diburu. Ia adalah suara yang tetap menyala di tengah gelapnya medan perang, bukan karena ia ingin jadi pahlawan, tetapi karena ia tahu bahwa jika ia diam, dunia akan menjadi lebih tuli dari sebelumnya.
Prof. Seyed Marandi, dalam refleksi pendeknya yang tajam berjudul “He’s a Moving Target”, tidak sekadar menyampaikan kisah tentang Marwan. Ia menunjukkan bagaimana kebenaran menjadi barang langka dalam sistem informasi yang dibungkus oleh narasi-narasi kekuasaan. Marwan al-Ghoul tidak hanya meliput perang; ia hidup di dalamnya. Ia tidak hanya melaporkan korban; ia adalah bagian dari mereka yang setiap malam bertaruh nyawa untuk memastikan dunia masih bisa mendengar bahwa manusia sedang dilenyapkan atas nama keamanan.
Dalam sistem seperti ini, jurnalis bukan hanya menjadi pelapor, tetapi juga sasaran. Seperti yang dikisahkan oleh Phillip Knightley dalam The First Casualty, sejarah jurnalisme perang adalah sejarah kompromi, manipulasi, dan terkadang pengkhianatan terhadap kebenaran itu sendiri. Sejak Perang Krimea hingga Perang Irak, media kerap kali berdiri di sisi kekuasaan, bukan kemanusiaan. Narasi dibentuk bukan berdasarkan fakta, melainkan atas dasar kebutuhan strategis negara dan korporasi. Knightley menyebut bagaimana jurnalis dikondisikan untuk menjadi bagian dari mesin propaganda: mengenakan seragam militer, mematuhi sensor, dan menyampaikan hanya yang “boleh” diketahui publik. Dalam kondisi seperti itu, jurnalis yang tetap teguh menyampaikan realitas yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang langka, bahkan berbahaya.

Marwan adalah pengecualian yang mengganggu sistem tersebut. Ia tahu bahwa jika ia mematikan ponselnya, ia mungkin akan selamat. Tapi ia juga tahu bahwa jika ia melakukannya, suara dari Gaza akan kehilangan salah satu corongnya yang paling jujur. Dilema ini bukan hanya persoalan pribadi; ini adalah bentuk ketegangan antara tugas kemanusiaan dan logika survival yang sudah ditarik hingga ke ujung nalar. Ia tidak bisa lagi tidur bersama keluarga, tidak bisa tinggal di rumahnya sendiri. Setiap tempat yang ia pijak berpotensi menjadi sasaran berikutnya. Karena dalam logika perang yang didiamkan oleh dunia, kebenaran bisa menjadi alasan yang sah untuk menghancurkan gedung dan membunuh puluhan orang.
Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent menyingkap bagaimana opini publik tidak terbentuk secara organik, melainkan diproduksi secara sistematis oleh media yang beroperasi dalam kerangka kepentingan elit politik dan ekonomi. Mereka menjelaskan bagaimana media memilih siapa yang disebut korban layak (worthy victims) dan siapa yang dianggap tidak penting untuk diberitakan. Ketika anak-anak di Gaza terbunuh dalam serangan udara, kita tidak melihat headline besar di media barat. Tidak ada kutukan diplomatik, tidak ada bendera setengah tiang. Sebaliknya, jika satu warga dari negara kuat menjadi korban kekerasan, maka dunia seakan terhenti. Inilah standar ganda yang membentuk lanskap etika global kita hari ini, dan Marwan tahu bahwa tugasnya adalah menembus tembok bisu itu.
Namun yang lebih mengerikan adalah bahwa sebagian besar dari kita telah terbiasa dengan absurditas ini. Kita melihat foto-foto reruntuhan dan anak-anak berlumur darah seperti melihat cuplikan film dokumenter yang terlalu sering diputar ulang. Susan Sontag dalam Regarding the Pain of Others memperingatkan bahwa gambar-gambar penderitaan tidak selalu membangkitkan empati. Dalam banyak kasus, ia justru menumpulkan rasa dan menciptakan jarak. Kita merasa cukup hanya dengan “melihat”, seolah-olah tindakan itu sudah menjadi bentuk solidaritas. Padahal, tanpa pemahaman dan refleksi, apa yang kita lihat hanya menjadi konsumsi visual, bukan panggilan nurani.
Sontag menegaskan bahwa rasa sakit orang lain tidak akan pernah sepenuhnya kita pahami, namun itu bukan alasan untuk bersikap acuh. Ia menuntut kita untuk tidak hanya menatap, tetapi juga merenung: Siapa yang menunjukkan gambar ini? Untuk tujuan apa? Apa yang tidak ditampilkan? Dalam konteks Marwan, pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat relevan. Ia bukan hanya sekadar penyalur visual penderitaan. Ia adalah saksi yang berani mengangkat suara dari tanah yang dianggap tidak penting. Ia tahu bahwa setiap detik siaran adalah peluang terakhir untuk membuat dunia berhenti sejenak dan memperhatikan.
Opini publik tidak terbentuk secara organik, melainkan diproduksi secara sistematis oleh media yang beroperasi dalam kerangka kepentingan elit politik dan ekonomi, dan bagaimana media memilih siapa yang disebut korban layak (worthy victims) dan siapa yang dianggap tidak penting untuk diberitakan. (Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent)
Apa yang dilakukan Marwan dan ditekankan oleh Marandi adalah tindakan spiritual dan politik sekaligus. Di dunia yang dikendalikan oleh algoritma, rating, dan kepentingan geopolitik, keberanian untuk tetap berkata jujur adalah tindakan radikal. Ia menolak untuk dijinakkan oleh ketakutan. Ia menolak untuk ikut membungkam realitas yang terlalu mengerikan untuk disiarkan. Ia memilih untuk menjadi jendela, meski tahu jendela itu bisa dihancurkan kapan saja.
Dan di sinilah kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita layak menjadi penerima dari keberanian seperti itu? Apakah kita akan membiarkan suara-suara seperti Marwan terkubur oleh suara-suara yang lebih lantang tapi hampa? Apakah kita bersedia mendengar dengan hati terbuka, ataukah kita memilih untuk tetap nyaman dalam narasi yang telah disiapkan?
Ketika Noam Chomsky mengatakan bahwa kebebasan berpendapat yang sejati adalah membela hak mereka yang tidak kita sukai untuk bersuara, ia sedang menyingkap kenyataan bahwa demokrasi tidak berarti banyak jika hanya berlaku untuk suara yang disetujui. Dalam konflik seperti yang terjadi di Gaza, kebenaran sering kali tidak datang dari mereka yang duduk di podium kekuasaan, tapi dari mereka yang mengendap di lorong-lorong gelap reruntuhan, membawa mikrofon, kamera, dan tekad untuk tidak menyerah.
“He’s a Moving Target” adalah pengingat bahwa jurnalis sejati bukan hanya pengumpul fakta, tapi penjaga nurani kolektif. Mereka mempertaruhkan segalanya agar kita tidak menjadi buta. Mereka tidak memaksa kita untuk percaya pada satu narasi, tapi memohon agar kita mau melihat dengan mata dan hati yang jernih. Dunia yang adil tidak lahir dari banyaknya informasi, tetapi dari keberanian untuk menolak dibohongi, dari kesediaan untuk mendengar mereka yang nyaris tak bersuara.
Dan jika satu suara dari Gaza masih bisa menembus tembok ketidakpedulian, maka harapan belum sepenuhnya punah. Mungkin, dalam dunia yang begitu kacau ini, keberanian seperti itu adalah bentuk terakhir dari kebenaran yang masih bisa kita percaya.