Site icon Majulah IJABI

Namun, Ubaidillah bin Al-Hurr Al-Ju’fi Menolak

Sumber Gambar : https://pin.it/1iE7yqo4o

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Di medan sejarah yang penuh luka dan cahaya, nama Ubaidillah bin Al-Hurr al-Ju’fi berdiri bukan sebagai pahlawan, bukan pula sebagai musuh. Ia adalah sosok di tengah—yang tampaknya netral namun sesungguhnya tragis. Ia adalah wajah dari mereka yang hatinya setengah terguncang oleh kebenaran, namun kaki dan tangannya dibelenggu oleh dunia. Ia menolak seruan Imam Husain as di padang Karbala, dan dalam penolakannya itu, ia mewariskan pelajaran pahit tentang mitos jalan tengah: bahwa dalam pertempuran antara Haqq dan batil, tak ada ruang untuk berdiri diam.

Ketika Imam Husain as mendatanginya di Bani Muqāṭil, Ubaidillah terpana oleh aura sang cucu Nabi. Ia melihat keindahan pada wajah Husain, menyaksikan kesedihan mendalam di matanya, bahkan tergetar oleh kematangan spiritual yang tak bisa disangkal. Ketika Imam Husain berkata bahwa janggutnya yang hitam telah disemir agar tampak lebih kuat, Ubaidillah tahu: beliau sedang menyembunyikan kelelahan umur yang diperpendek oleh penderitaan umat. Dan saat Imam berkata kepadanya:

“Sesungguhnya engkau telah banyak melakukan dosa, apakah engkau menginginkan kesempatan untuk bertobat guna menghapusnya?”

Ia tidak menjawab dengan air mata tobat. Ia menjawab dengan logika ketakutan. Ia berkata:

“Aku tahu bahwa siapa pun yang mengikutimu akan beruntung. Tapi aku takut mati.”

Ucapan ini menggema sebagai penanda hati yang tahu kebenaran namun menolaknya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا

Mereka mengingkarinya, padahal hati mereka meyakini kebenaran itu, karena zalim dan sombong.” (QS. An-Naml: 14)

Itulah penyakit ruhani Ubaidillah bin Al-Hurr: pengingkaran dengan pengetahuan. Ia tahu Husain berada di atas Haqq. Ia tahu para pengikutnya adalah ahlul jannah. Namun, ia menyerahkan jiwanya kepada rasa takut, kepada harta, kepada kuda dan pedang, dan bukan kepada janji Allah. Ia menawarkan kudanya yang bernama al-Mulḥaqah, seolah menebus ketakberanian dengan simbol kekuatan:

“Aku tidak bisa ikutmu, tapi ambillah kudaku. Ia tidak pernah mengecewakanku dalam perang.”

Namun Imam Husain menjawabnya dengan lembut dan tegas:

“Namun, jika kamu ingin berpaling dari kami, kami tidak lagi membutuhkan kuda dan dirimu.*

وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّيْنَ عَضُدًا

‘Aku tidak akan mengambil orang-orang yang menyesatkan sebagai penolong.’ (QS. Al-Kahfi: 51)”*

Imam tidak menghina, namun memberi batas. Husain as adalah personifikasi kalimat al-Furqan, pemisah antara yang hak dan batil. Maka ia tak menerima setengah cinta. Dan inilah yang menjadi kehancuran spiritual Ubaidillah: ia ingin mencintai kebenaran, tapi hanya dari kejauhan. Ia ingin memiliki nilai tanpa menanggung resiko. Inilah bentuk nifaq yang tidak diumumkan, namun tetap nyata dalam tindakan. Ubaidillah memilih mengikuti hawa nafsu, padahal kebenaran dan Cinta demikian terang benderang.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as pernah berkata:

، وَأَحْكَامٌ تُبْتَدَعُ، يُخَالَفُ فِيهَا كِتابُ اللهِ،

Sesungguhnya permulaan terjadinya fitnah adalah hawa nafsu yang diikuti,… (Nahjul Balaghah, Khutbah 50)

Ubaidillah tidak hanya munafik secara politik, tapi hatinya adalah gambaran dari kemunafikan eksistensial: tahu namun enggan. Dekat namun menjauh. Dan ketika medan Karbala mengajak semua orang untuk memilih, ia memilih untuk diam. Ia menolak ajakan hidup abadi demi kehidupan sementara.

Dikatakan bahwa sebagian ulama menyebut bahwa Ubaidillah bin Al-Hurr termasuk orang yang “menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menulis namanya di lembaran cahaya.” Dan bahwa sikap seperti ini adalah taqlib al-hawa ‘ala al-aql—mengutamakan hawa nafsu atas akal. Ketika cinta dunia melebihi cinta pada kebenaran, maka keberanian tidak akan muncul walau hati telah sadar. Al-Qur’an telah menegaskan penyakit ini:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ

Itu karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat.” (QS. An-Nahl: 107)

Setelah tragedi Karbala, Ubaidillah meratap. Ia menulis puisi yang penuh penyesalan. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia berkata:

Seandainya aku mendukungnya dengan jiwaku, aku pasti mendapat kemuliaan di hari pertemuan.

Namun ratapan tidak menghapus dosa peluang yang disia-siakan. Penyesalan tidak menggantikan amal. Sungguh Al Ju’fi meninggalkan Ahlubait Nabi Saw, -yakni Al Husain as-, dan karena itu ia menyesal selamanya. Ia akhirnya binasa.

مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي كَمَثَلِ سَفِينَةِ نُوحٍ، مَن رَكِبَهَا نَجَا وَمَن تَرَكَهَا غَرِقَ 

Perumpamaan Ahlul Baitku seperti perahu Nabi Nuh; barang siapa menaikinya (mengikutinya), selamat, dan siapa yang meninggalkannya, binasa.” (Riwayat dari Al-Hakim dalam Mustadrak al Sahihayn, juga diriwayatka Thabrani)

Ubaidillah mengira ia mengambil jalan aman. Ia berpikir, jika ia tidak bersama Yazid dan tidak juga bersama Husain, maka ia bisa lolos dari hisab sejarah. Tapi ia keliru. Karena dalam pertarungan antara al-Haqq dan batil, diam bukanlah netral, melainkan keberpihakan pada kejahatan melalui ketakutan. Sejatinya, “Orang yang tidak menolong kebenaran adalah pembunuhnya, meski ia tidak menghunus pedang.” 

Maka Ubaidillah adalah mitos jalan tengah. Ia bukan simbol kompromi, tapi lambang kegagalan eksistensial. Ia mewakili mereka yang hidup dalam keraguan, dan mati dalam penyesalan. Dan ketika ia akhirnya tenggelam di Sungai Eufrat, seolah air itu sendiri tidak mau lagi menjadi saksi bagi seorang penakut yang kehilangan kesempatan untuk menjadi syahid.

Kisahnya adalah cermin bagi kita. Apakah kita akan menjadi seperti al-Hurr bin Yazid yang berbalik arah dan menang bersama Imam? Ataukah kita akan menjadi seperti Ibnul Hurr yang mengenal kebenaran namun menghindar, mencintai kebenaran namun tidak cukup untuk melangkah?

Karbala tidak mengenal posisi tengah. Karena Husain tidak mati demi setengah cinta. Ia mati demi kejelasan: bahwa hidup adalah pilihan, dan jalan ke surga adalah jalan yang ditapaki dengan keberanian, bukan hanya perasaan iba.

Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai Ubaidillah bin al-Hurr yang menolak, tetapi sebagai Habib bin Mazhahir, Muslim bin ‘Aqil, Zuhair bin Qain, dan Hurr bin Yazid, yang tahu, memilih, dan berjuang.

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (QS. Al-Baqarah: 143)

Wa maa taufiiqii illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Arumsari, Asyuro 1447 H

Exit mobile version