Majulah IJABI

Pemenang dari Perang yang Tak Terlihat

oleh Abdul Karim
Rabu, 18 Juni 2025

“Supreme excellence consists of breaking the enemy’s resistance without fighting.” — Sun Tzu, The Art of War

Dalam kabut tebal peperangan modern, kemenangan bukan lagi semata diukur dari banyaknya tank yang hancur atau kota yang direbut. Ia bergeser menjadi perang kecerdasan, persepsi, psikologi, dan simbol. Dalam konteks inilah kita menyaksikan Republik Islam Iran tampil sebagai pemenang dari benturan geopolitik yang selama ini dikendalikan oleh narasi Barat. Apa yang terlihat dari langit-langit Gaza, yang terdengar di bunker-bunker Tel Aviv, dan yang terasa dari layar-layar diplomasi dunia, adalah bahwa Iran telah menjungkirbalikkan doktrin kekuatan yang selama ini dianggap absolut. Sejarah akan mengingat hari-hari ini bukan sebagai perang biasa, tetapi sebagai momen di mana hegemoni lama kehilangan pijakan—dan Iran, dengan semua keterbatasannya, naik ke panggung sebagai pemain utama.

Iran tidak memulai perang ini dengan parade senjata atau ultimatum. Ia memulainya dengan kekuatan yang tak terlihat: intelijen yang menembus batas, serangan siber yang mengacaukan sistem pertahanan canggih Iron Dome, dan rudal presisi yang tidak hanya menghantam sasaran dengan tepat, tetapi juga diumumkan lebih dulu sebagai pernyataan kepercayaan diri teknologi. Ini adalah bentuk perang hibrida dalam definisi terbaiknya menurut Hybrid Warfare karya Williamson Murray dan Peter Mansoor—penggabungan kekuatan konvensional dan non-konvensional, serangan fisik dan psikologis, gerakan militer dan diplomasi informasi, yang menyatu dalam satu strategi menyeluruh. Iran mengerahkan seluruh kapasitas nasionalnya—sains, moral, keyakinan ideologis, jaringan regional—dalam satu orkestrasi militer-politik yang membuat lawan kebingungan dan dunia terpaku.

Kekacauan yang melanda wilayah pendudukan Zionis adalah indikator kuat betapa strategi ini berhasil. Untuk pertama kalinya sejak proyek kolonisasi Palestina dimulai, para pemukim merasakan ketakutan yang nyata—ketakutan yang tidak bisa ditenangkan oleh propaganda, tidak bisa dihalau oleh bunker-bunker beton. Iron Dome yang selama ini dianggap kebal, ternyata hanya sekuat kabel-kabelnya. Jalan keluar ditutup, pelabuhan lumpuh, dan warga sipil—yang dulu ditarik dengan janji keamanan abadi—berusaha melarikan diri dari realitas yang sudah tak bisa disembunyikan. Dalam bingkai Clausewitz, ini bukan sekadar kemenangan taktis, tetapi bentuk tertinggi dari “the use of battle”—penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan politik. Clausewitz menulis bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Dan di sini, Iran telah berhasil menulis ulang politik Timur Tengah dengan strategi yang tak terduga.

Secara hukum internasional, Iran tidak berada dalam posisi membela diri karena lemah, tetapi menyerang karena memiliki legitimasi. Selama bertahun-tahun, AS membangun narasi tentang “ancaman nuklir Iran”, tetapi dunia kini menyaksikan bahwa senjata utama Iran bukanlah nuklir, melainkan kredibilitas. Dengan menghindari eskalasi yang tidak terukur, sambil tetap menghukum dengan presisi tinggi, Iran memosisikan dirinya sebagai negara yang rasional namun tak bisa digertak. Alih-alih terjerumus dalam perang terbuka penuh destruksi, Iran menampilkan versi baru dari “pembalasan terukur”—strategi yang dalam pandangan Clausewitz menuntut keberanian moral dan kontrol terhadap emosi massa.

Tidak hanya di medan global, kemenangan Iran juga terlihat dalam tubuh internalnya. Jika ada satu elemen yang kerap membuat negara lemah dalam perang panjang, itu adalah perpecahan internal. Tetapi di saat-saat genting ini, Iran justru menunjukkan tingkat persatuan domestik tertinggi. Kelompok oposisi kehilangan legitimasi naratif. Komentar-komentar netizen Iran di platform global membalikkan serangan-serangan propaganda menjadi lelucon yang memalukan bagi musuh. Popularitas tokoh-tokoh semu seperti Reza Pahlavi merosot drastis. Ini bukan sekadar efek dari penyensoran atau kekuatan negara, tetapi bukti bahwa masyarakat Iran memahami arah sejarah dan bersedia berdiri di belakangnya.

Efek domino dari kekuatan Iran juga langsung terasa pada Poros Perlawanan. Hizbullah, Houthi, kelompok perlawanan di Irak, bahkan milisi Palestina, kini mendapat suntikan moral dan operasional dari unjuk kekuatan Iran. Ketika satu kekuatan mampu mengguncang fondasi musuh utama, sekutu-sekutunya tidak hanya merasa aman, tetapi juga semakin percaya diri. Israel, yang dulu menjadi pusat gravitasi ketakutan di kawasan, kini menjadi tubuh yang lemah di tengah jalan raya geopolitik. Seperti digambarkan dalam buku Hybrid Warfare, situasi seperti ini menjadikan satu pihak kehilangan monopoli atas dominasi, dan memicu aktor-aktor lain untuk “menendang tubuh yang sudah rebah”.

Solidaritas regional juga mengalami transformasi besar. Kata “Teluk Persia” kini kembali diucap dengan ketegasan historis. Dukungan terbuka dari lebih dari 20 negara Islam kepada Iran bukan sekadar simbol, tetapi fondasi baru dari tatanan regional. Ini adalah bentuk strategi tidak langsung yang sangat digemari oleh Sun Tzu—menyerang musuh melalui pengaruh dan pembentukan aliansi, bukan hanya dengan kekuatan militer. Kemenangan Iran adalah kemenangan terhadap isolasi, terhadap dikotomi Sunni-Syiah, terhadap propaganda pemisah yang selama ini dihembuskan oleh poros Washington–Tel Aviv–Riyadh.

Di dalam negeri, Iran juga berhasil melakukan pembersihan sistemik terhadap jaringan-jaringan sabotase, infiltrasi, dan kriminalitas. Gelombang sabotase yang pernah mengisi berita dunia kini meredup. Intelijen Iran tampak lebih terorganisir, lebih responsif, dan lebih dalam kontrol rakyat. Clausewitz menulis bahwa moral forces—kekuatan moral—adalah elemen tak terlihat tapi menentukan dalam perang. Dalam konteks ini, Iran membalik semua narasi negatif tentang dirinya menjadi kekuatan persatuan nasional.

Perubahan paling signifikan justru datang dari musuh lama: Amerika Serikat. Jika pada masa pembunuhan Qassem Soleimani retorika Trump dipenuhi nada kesombongan dan ancaman, kini ia berbicara tentang mediasi dan kebutuhan untuk mengakhiri perang. Sun Tzu menyebut bahwa kemenangan tertinggi adalah membuat musuh menyerah tanpa bertempur. Dan inilah yang dilakukan Iran: membuat lawan berubah arah, tidak dengan rayuan, tetapi dengan kekuatan terukur dan kalkulasi dingin.

Epos 7 Oktober di Gaza menjadi katalis dalam semua ini. Ketika kelompok perlawanan Palestina melancarkan serangan historis, dunia menyaksikan wajah asli Israel tanpa filter: militer yang rentan, narasi korban yang dipertanyakan, dan keamanan warga yang ilusi belaka. Iran tidak mencuri panggung, tetapi melengkapinya. Dalam satu gebrakan, tiga mitos besar Zionis—militer super, status korban, dan rasa aman—runtuh di hadapan fakta-fakta yang tak terbantahkan. Seperti ditulis Murray dan Mansoor, perang hibrida memiliki kekuatan untuk mengaburkan batas antara konflik terbuka dan narasi. Iran memahami itu—dan memanfaatkannya dengan sangat efektif.

Kini, dunia memandang Iran dengan cara yang berbeda. Ia bukan lagi hanya “musuh AS” atau “pembuat masalah”, tetapi satu-satunya kekuatan mandiri yang mampu berdiri di hadapan hegemoni global. Teknologi rudal, sistem pertahanan, kemampuan siber, dan strategi diplomatiknya menjadi studi kasus di akademi-akademi militer dunia. Dalam percakapan geopolitik, nama Iran kini hadir bukan sebagai ancaman semata, tetapi sebagai poros alternatif. Di saat AS dan sekutunya hanya mampu menyuarakan kebingungan, Iran menyajikan arah.

Persepsi adalah kekuatan. Sun Tzu percaya bahwa setiap kemenangan harus dimulai dari penguasaan medan mental sebelum medan perang. Dan Iran, dalam fase ini, telah menaklukkan persepsi global. Ia tidak hanya menang dalam aksi, tetapi menang dalam makna. Sementara “Israel” menyuarakan histeria, Iran berbicara dalam bahasa kalkulasi. Sementara Barat menjerit tentang sanksi, Iran bergerak dalam sains dan teknologi. Dan dunia, perlahan namun pasti, menggeser arah pandangnya.

Inilah hakikat kemenangan. Bukan sekadar bendera yang dikibarkan, tetapi arah sejarah yang berubah. Iran telah menunjukkan bahwa keberanian bukanlah tentang siapa yang pertama menembak, tetapi siapa yang bertahan dan tetap berdiri ketika semua narasi runtuh. Dalam medan yang tak lagi mengenal batas antara perang dan informasi, antara militer dan moral, Iran telah melangkah ke garis akhir sebagai pihak yang lebih siap, lebih terorganisir, dan lebih sadar akan masa depannya. Dan masa depan itu, kini, bukan lagi milik kekuatan yang berteriak, tetapi milik mereka yang mampu bertahan dalam diam, memukul dengan tepat, dan menyusun strategi seperti permainan panjang—permainan yang sedang dimenangkan oleh Republik Islam Iran.

Exit mobile version