Site icon Majulah IJABI

Seandainya Aku Tak Punya Seribu Tahun, Namun Aku Punya Sehari Bersama Husain

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Sebuah sya’ir melantunkan satu di antara kisah-kisah Ajaib dari padang Karbala;

Dengarlah, wahai jiwa yang haus makna. 
Aku akan bercerita tentang seorang pengantin, yang baru saja memadu kasih dunia, namun menceraikan dunia demi Cinta Sejati di Karbala.
Namanya Wahhab bin Abdullah al-Kalbi, seorang Nasrani yang belum mengenal jejak kaki Muhammad, belum pula menyelami lautan Ali, tetapi hatinya lembut seperti langit fajar, terbuka pada cahaya yang datang dari Timur Semesta.
Ia sedang berjalan bersama ibunya, dan istrinya, bidadari baru yang masih harum oleh doa nikah, mereka hanya lewat — ya, hanya lewat — di tanah yang akan menjadi pusara keabadian.

Mereka bertanya,

Siapakah yang tengah dikepung dua pasukan?
Siapakah lelaki mulia itu yang berdiri tanpa bala bantuan?”
Maka diberilah mereka kabar oleh langit dan bumi,
Itulah Husain, putra Ali, cucu Nabi.
Yang satu datang membawa cinta,
yang lain membawa belenggu dunia.”
Ibunya, wanita yang hatinya seperti sungai Isa, berkata, “Nak, tahukah kau siapa ayah Husain?”
Wahhab menjawab, “Aku belum tahu kisahnya, wahai Ibu.”
Maka sang ibu pun membuka lembaran hati:
Ketika engkau dalam kandunganku, aku merasakan gelap, sakit, dan berat.
Lalu aku mendatangi pemimpin sejati umat,
Ali, sang singa Tuhan.
Kupinta padanya agar memanjatkan doa, dan ia pun mengangkat tangannya ke langit.
Doa itu menghidupkanmu, anakku.
Kalau bukan karena keluarganya, kau mungkin takkan bernapas hari ini.
Pergilah, Nak…
Bela keluarga yang memberimu hidup.”

Wahhab pun menangis ketika mendengar kata-kata itu. Karena pengantin baru itu, yang seharusnya malamnya dihiasi sutra dan mawar, justru berselimut debu dan darah Karbala. Namun istrinya, oh, betapa ia wanita yang luhur:

Ia tidak menangis karena kehilangan cinta, tetapi menangis karena mencintai kebenaran.
Ia berkata, “Pergilah, wahai Kekasih. Lebih baik aku menangisimu di sisi Husain, daripada memelukmu dalam ketakutan kepada batil.”

Maka Wahhab pun maju.

Ia bukan dari bani Hasyim,bukan dari para sahabat yang lama berjuang, ia hanya lelaki biasa—tetapi dengan hati yang luar biasa.
Ia bertarung seperti Daud melawan Jalut, seorang Nasrani yang hatinya lebih Islam dari para musuh Islam, hingga akhirnya ia ditangkap.
Dan musuh, yang buta oleh kekuasaan, memenggal kepalanya dan melemparkannya kepada ibunya.

Lalu, dengarlah, wahai angin yang membawa puisi:
Apa kata sang ibu?
Apa yang kami berikan, takkan kami ambil kembali.”
Dan ia, seperti Maryam yang tegar, ia melemparkan kepala anaknya kembali ke arah pasukan batil, seraya berseru:
Andai aku punya dua puluh anak, aku akan serahkan mereka semua untuk Husain!
Cinta itu membakar—dan membakar dengan indah. Tapi belum selesai api Karbala menyala, ketika tenda-tenda suci dibakar oleh musuh, istri Wahhab ditawan. Ia menangis bukan karena ditinggal suami, tetapi karena Husain kini sendirian.

Salah seorang dari musuh menghantam kepalanya, dan ia pun syahid di antara bara api dan duka. Ia—dengan segala kemuliaan yang dianugerahkan langit— adalah wanita pertama yang mati syahid demi Husain.

Begitulah kisahnya, sebagaimana diceritakan oleh Mateen Chaboneau dalam al-islam.org.

Namun sesungguhnya, kisah itu hidup di balik huruf-huruf. Wahhab adalah Majnun, dan Husain adalah Laylanya. Ia tidak mencari kecantikan dunia, tapi kecantikan yang membuat langit menangiskan air mata darah dan bumi berdetak malu penuh rindu.

Wahhab berkata dengan darahnya:

“Ya Husain, aku tidak mengenalmu sejak lama. Tapi cinta tidak mengenal waktu.
Sungguh sesaat dengan cinta pada mu lebih bernilai ketimbang seribu tahun tanpanya.”
Dan Karbala?”

Ia tetap menunggu jiwa-jiwa seperti Wahhab,yang berjanji setia dengan kebenaran, meski hanya sehari atau bahkan sesaat bersamanya, lalu martir dalam pelukannya.

“Cinta sejati bukan menunggu musim panen, tetapi menanam benih di tanah yang penuh pedang, dan tersenyum saat bunga-bunga mekar di sisi Husain.”

Di hamparan Karbala, di antara debu dan matahari yang terbit bagai pelita luka, terbentang tanah bukan sembarang tanah, melainkan kitab cinta yang dituliskan dengan darah para pencinta. Seperti Majnun yang tak gentar merusak harga diri demi Layla, di sinilah para pencinta sejati melangkah, bukan demi dunia, tetapi demi kekasih kebenaran yang wajahnya menyimpan cahaya langit.

Mereka datang dari berbagai arah, dengan niat yang belum utuh dan hati yang rapuh, namun Karbala menggugah jiwa seperti senyuman Layla yang membuat Majnun rela tinggal di padang tandus. Di sana, bukan hanya pedang yang bersuara, tetapi hati-hati yang berdialog dengan langit.

Hurr ibn Yazid al-Riyahi, seorang panglima Umawi, berbaris di hadapan Husain, cucu Nabi, bukan sebagai kekasih, melainkan sebagai penghalang. Ia seperti pengawal kerajaan yang diperintahkan menangkap Layla, padahal dalam relung hatinya, cahaya sang pujaan telah menyelinap. Ketika matanya bertemu dengan wajah Husain, ia seakan melihat surya yang menyentuh bayang-bayang kelam dalam dirinya.

Ia mendengar tangisan anak-anak yang kehausan di tengah panasnya padang, dan yang terpenting kebenaran Husain Cucu Mustafa demikian benderang. Suara anak-anak keluarga Al Mustafa Saw yang kehausan itu bukan sekadar rintihan, melainkan seruan surgawi yang menggugah relung terdalam nurani. Ia berkata lirih dalam dadanya:

Aku dihadapkan pada dua pilihan: surga atau neraka. Demi Allah, aku tidak akan memilih neraka.

Kalimat itu, bak syair para auliya yang bergema di celah batu-batu Karbala, menghantarkan dirinya ke jalan tobat. Hurr adalah manifestasi Firman Tuhan:

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ…

Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya… (QS Az-Zumar: 18)

Langkahnya pun berubah. Ia melepaskan pakaian kemegahan seperti Majnun yang meninggalkan mahligai keluarganya demi cinta sejati.

Dengan segenap kesiapan jiwanya, Hurr adalah bak larik lantunan doa Abu Hamzah:

سَيِّدِي أَخْرِجْ حُبَّ الدُّنْيَا مِنْ قَلْبِي…

Wahai Tuanku, keluarkanlah kecintaan terhadap dunia dari hatiku…

Ia, yang semula musuh, kini menjadi pencinta, berlari meninggalkan dunia dan syahid sebagai martir. Sebagaimana Majnun mati di bawah bayang Layla, Hurr wafat di pelukan cinta Husain.

Zuhair ibn Qain adalah lelaki yang semula menjauh. Ia bagai Majnun yang menolak surat Layla, ragu-ragu akan jalan cinta. Seorang simpatisan Utsmani, yang merasa asing terhadap Husain. Namun, pertemuan singkat dengan Husain, laksana tatapan Layla dalam diam, meruntuhkan benteng keangkuhan.

Istrinya, bagaikan Rabia al-Adawiyah yang menyeru cinta murni, membisikkan kata yang menyentuh:

Bukankah cinta sejati adalah berani membela cahaya meski harus meninggalkan dunia?

Zuhair pun bangkit. Ia menanggalkan semua kebimbangan, dan memilih jalan terang, seperti malam yang menyerahkan dirinya pada fajar. Ia menjadi contoh bahwa keraguan dapat dijinakkan oleh keberanian moral. Dengan penuh hormat, ia mendekap Husain dengan jiwa, dan menjadikan medan Karbala sebagai panggung pengorbanan abadi.

Wahhab bin Abdullah al-Kalbi adalah pengantin baru, seorang Nasrani yang membawa cahaya kesetiaan dalam hatinya. Ia dan ibunya melintasi Karbala, tak berniat menetap, seperti Layla yang berpindah tenda namun tak tahu bahwa takdir akan mempertemukannya dengan Majnun.

Saat ibunya mendengar bahwa cucu Rasulullah dicekal oleh tentara Yazid, ia berkata:

Anakku, kau hidup karena doa Ali, ayah Husain. Maka jangan biarkan doanya tak bersambut.

Istrinya, perempuan yang tak terikat oleh kelembutan dunia, merelakan suaminya ke medan perang, bahkan menyusulnya. Wahhab bertarung seperti singa yang setia pada Tuhan, hingga kepalanya dipisah dari tubuh, dilemparkan kepada ibunya. Dan sang ibu, laksana batu zamrud yang tak retak, berkata:

Apa yang kami berikan, takkan kami tarik kembali. Andai aku punya dua puluh anak, semua akan kuserahkan untuk Husain.”

Istrinya pun syahid, wanita pertama yang gugur di sisi Husain. Mereka adalah Layla dan Majnun yang bersatu dalam cinta sejati, bukan dalam pesta, tapi dalam pengorbanan.

Namun, tak semua membuka hati. Umar bin Sa’ad, lelaki yang tahu Husain berada di pihak yang benar, seperti pemuda yang melihat Layla tapi lebih memilih harta sang raja. Ia menangis, tahu bahwa membunuh Husain akan mengantarnya ke neraka, namun cintanya pada dunia lebih besar dari cintanya pada kebenaran. Ia menegosiasi Husain untuk menyerah. Tapi cinta sejati tak bisa ditawar—jalan tengah hanyalah fatamorgana. Ia bahkan menjadi pembantai Husain. Ia menjadi Raja Angkara di Karbala. Pemenggal. Pemutilasi cucu Nabi saw.

Dan ada pula ‘Ubaidillah bin al-Hurr al-Ju’fi—seorang penyair yang ragu-ragu. Husain mendatanginya, menawarkan kebenaran. Namun ia menolak, takut kehilangan ketenangan duniawi. Ia memilih menjadi penonton sejarah, bukan pelaku. Di akhir hidupnya, ia menyesal:

Andai aku bersama Husain, aku akan selamat.”

Namun waktu tak bisa ditarik. Seperti Majnun yang menemukan Layla telah wafat—terlambat. Dan sesal kemudian tak berguna. 

Karbala mengajarkan, sebagaimana Nizami mengajarkan dalam puisi cintanya: bahwa hanya jiwa-jiwa yang siap mencintai dengan seluruh keberanian, yang akan mengenal makna kemenangan sejati.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ…

Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya… (QS Az-Zumar: 18)

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا…

Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh… (QS Al-Furqan: 70)

Mereka—Hurr, Zuhair, Wahhab dan istrinya—melepaskan dunia, bergabung dengan Para Aulia. Sebagaimana lantunan Doa Abu Hamzah:

سَيِّدِي أَخْرِجْ حُبَّ الدُّنْيا مِنْ قَلْبِي

Wahai Tuanku, keluarkanlah kecintaan terhadap dunia dari hatiku.

وَاجْمَعْ بَيْنِي وَبَيْنَ المُصْطَفى وَآلِهِ

dan pertemukanlah aku dengan al-Muṣṭafā (Nabi Muhammad) dan keluarganya,

خِيَرَتِكَ مِنْ خَلْقِكَ وَخاتَمِ النَّبِيِّينَ صَلّى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ

yang merupakan orang-orang pilihan-Mu dari seluruh ciptaan-Mu, dan penutup para nabi—ṣallallāhu ʿalayhi wa ālih.

وَانْقُلْنِي إِلى دَرَجَةِ التَوْبَةِ إِلَيْكَ

Dan pindahkanlah aku ke tingkatan taubat sejati kepada-Mu.

Lalu  mereka berlari kepada Husain seperti Majnun kepada Layla. Sementara yang lain, terjebak dalam fatamorgana kekuasaan, tenggelam dalam cinta  pada dunia yang semu, dan hanya menyisakan penyesalan sedalam Samudra atau lebih dalam lagi.

Nyata-nyata, sungguh Karbala bukan sekadar medan perang, tapi taman puisi bagi para pecinta terang. Ia menanyakan pada setiap jiwa:
Wahai jiwa-jiwa, beranikah kau menjadi Kekasih 
Yang meninggalkan dunia dan mimpi seribu tahun mu
Demi sehari mulia dalam Cinta
Terbakar bersama Al Husain?

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Jakarta, 14 Muharram 1447 H

Exit mobile version