Oleh : Mohammad Adlany, Ph.D, Anggota Dewan Syura IJABI
Ada kisah yang tak pernah pudar ditelan waktu, tak pernah lelah menggetarkan hati: kisah Karbala. Di sana, pada padang gersang nan sunyi, berdirilah seorang manusia agung, Imam Husain bin Ali as, cucu Rasulullah saw, yang dengan penuh keikhlasan menyerahkan segalanya demi kebenaran. Ia tak hanya mengorbankan dirinya, tapi juga anak-anaknya, saudaranya, sahabat-sahabatnya – semua karena Allah. Karbala bukan hanya tragedi, tapi simbol cinta suci yang tak bersyarat.
Apa yang membuat seseorang rela memberikan segalanya, bahkan nyawa, hanya demi prinsip? Jawabannya adalah cinta. Tapi bukan cinta dunia, melainkan cinta kepada Allah dan kebenaran. Imam Husain as tak bangkit untuk kekuasaan, tapi karena cinta kepada agama dan umat yang hampir kehilangan arah.
Dalam sebuah riwayat, beliau berkata:
إني لم أخرج أشِرًا ولا بطرًا، ولا مفسدًا ولا ظالمًا، وإنما خرجت لطلب الإصلاح في أمة جدي.
“Aku tidak bangkit karena ambisi atau kesombongan, bukan pula untuk membuat kerusakan atau kezaliman. Aku bangkit untuk memperbaiki umat kakekku.” Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 329)
Itulah suara jiwa yang ikhlas. Ia tidak meminta balasan. Ia tidak menuntut pengikut. Ia hanya ingin menunaikan amanah.
Allah SWT berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ.
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Di Karbala, ayat ini menjadi nyata. Imam Husain bukan hanya menyembah dengan kata, tapi dengan darah dan jiwa. Setiap langkah, setiap kalimat, bahkan setiap tetes air mata keluarganya—semuanya karena Allah.
Sahabat-sahabat Imam Husain as adalah permata yang langka. Mereka tahu bahwa mereka akan mati. Mereka tahu tidak ada kemenangan militer. Tapi mereka tetap tinggal. Mengapa? Karena hati mereka telah dipenuhi keikhlasan.
Dalam malam menjelang ‘Asyura, Imam Husain memadamkan lampu dan membebaskan mereka untuk pergi. Tapi mereka menjawab dengan gemetar:
والله لو قُطِّعتنا فيك إربًا إربًا، ثم أُحرِقنا ثم نُبعث، لما تركناك يا ابن رسول الله!
“Demi Allah, seandainya kami dicincang berkali-kali, dibakar, lalu dibangkitkan, kami tetap takkan meninggalkanmu, wahai putra Rasulullah!” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 392)
Itu bukan sekadar loyalitas. Itu adalah puncak keikhlasan: mencintai kebenaran tanpa syarat, tanpa pamrih.
Imam Ali as pernah berkata:
اعملوا لله في غير رياء ولا سمعة، فإنه من عمل لغير الله وكله الله إلى من عمل له.
“Beramallah untuk Allah, bukan karena riya dan ingin dipuji. Siapa yang beramal bukan karena Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada yang ia cari.” (Nahjul Balaghah, Hikmah no. 5)
Imam Husain tidak berjuang demi nama, tidak pula demi pujian sejarah. Bahkan beliau tahu bahwa setelah kematiannya, tubuhnya akan diinjak-injak dan kepalanya ditombak. Tapi beliau tetap berkata:
هوَّنَ ما نزل بي أنه بعين الله.
“Ringan apa yang menimpaku karena semuanya ada dalam pandangan Allah.” (Bihar al-Anwar, jil. 45, hal. 87)
Tak ada kisah yang lebih memilukan dari bayi yang dibawa ke tengah medan perang. Imam Husain as membawa putranya yang berumur 6 bulan, Ali Asghar, berharap mendapat setetes air. Tapi apa yang terjadi? Sebuah anak panah menembus leher bayi mungil itu.
Namun Imam Husain tidak mengutuk. Beliau mengangkat tubuh kecil itu ke langit dan berkata:
هوَّنَ ما نزل بي أنه بعين الله.
“Semua ini menjadi ringan karena terjadi di bawah pandangan Allah.”
Itulah puncak pengorbanan dan keikhlasan: bahkan ketika Allah mengambil anaknya, ia tetap berkata, “Aku ridha.”
Karbala mengajarkan bahwa pengorbanan sejati lahir dari hati yang ikhlas. Dalam hidup, kita juga diuji: kehilangan, kecewa, ketidakadilan. Tapi kalau hati kita tetap lurus karena Allah, maka sekecil apa pun amal kita, Allah akan membesarkannya.
Dalam kehidupan kita hari ini: berkorbanlah untuk menolong sesama, meski tidak dilihat orang, ikhlaskan kebaikanmu, meski tidak dibalas manusia, tahanlah diri dari balas dendam, karena Allah lebih tahu.
Karbala bukan sekadar cerita lama. Ia adalah peta jalan bagi hati yang ingin tulus.
Imam Husain dan para syuhada Karbala telah mengajarkan kepada kita bahwa cinta sejati adalah cinta yang berani berkorban, dan pengorbanan sejati adalah pengorbanan yang ikhlas. Di tengah dunia yang penuh kepalsuan dan pamrih, mari belajar dari mereka: menjadi manusia yang melakukan kebaikan hanya karena Allah.
Sebab hanya dengan pengorbanan dan keikhlasan, hidup ini menjadi bermakna.