Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Al-Qur’an al-Karim juga menetapkan bahwa jiwa memiliki beberapa tingkatan. Setelah manusia melewati tingkatan-tingkatan itu dan sampai pada derajat yang tinggi, ia akan meraih kesempurnaan akhirinya, yaitu kedekatan dengan Allah dan pencapaian maqam washl (penyatuan/pertalian dengan-Nya). Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: nafs musawwilah, nafs ammarah, nafs lawwamah, nafs mulhamah, dan nafs muthmainnah.
1. Nafs al-Musawwilah
Pada tahap awal, karena keterikatannya dengan tubuh, jiwa condong pada syahwat dan kesenangan jasmani. Fungsinya adalah menghiasi, yakni menjadikan yang buruk tampak indah, dan yang hina tampak bagus. Pada tahap ini, jiwa belum memiliki kekuasaan nyata atas manusia, dan keinginannya pun hanya berupa ajakan, bukan perintah yang memaksa. Ia hanya menghiasi keburukan agar tampak baik, lalu mengundang manusia untuk melakukannya.
Tingkatan ini disebut sebagai nafs musawwilah, dan penamaannya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُم
“Sebenarnya jiwa kalianlah yang menjadikan (perbuatan buruk itu) tampak indah bagi kalian.” (QS. Yusuf: 18)
Dan ayat:
وَ كَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي
“Dan demikianlah jiwaku memperindah hal itu bagiku (sehingga aku melakukannya).” (QS. Thaha: 96)
Dalam ayat pertama, Nabi Ya‘qub as berkata kepada putra-putranya—ketika mereka membawa baju Yusuf as yang bernoda darah—bahwa perbuatan buruk melemparkan Yusuf as ke dalam sumur itu sebenarnya telah dijadikan indah oleh jiwa mereka sendiri. Mereka lalu melakukannya seolah itu suatu kebaikan.
Sedangkan dalam ayat kedua, Samiri menjawab Nabi Musa as ketika ditanya mengapa ia membuat patung anak lembu dan mengajak manusia menyembahnya, sehingga menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Samiri menjawab bahwa jiwanya sendiri telah menjadikan hal itu tampak indah baginya dan mendorongnya untuk melakukannya.
2. Nafs al-Ammarah
Apabila sejak awal jiwa telah menghiasi keburukan sehingga tampak indah, lalu mengundang manusia untuk melakukannya, dan manusia lalai dari permusuhan jiwa serta menuruti keinginannya, maka jiwa akan menjadi semakin berani. Ia akan kembali menawarkan bujukan kedua, ketiga, dan seterusnya, hingga ketika ia melihat situasi sudah kondusif untuk mendominasi, maka ia tidak lagi sekadar mengajak, tetapi mulai memerintah manusia untuk berbuat buruk.
Ketika jiwa mendapati manusia patuh tanpa perlawanan, ia pun menguasainya sepenuhnya, sehingga kondisi ammarah tercipta. Artinya, jiwa berulang kali, dalam setiap keadaan, memerintahkan manusia kepada keburukan dan mendorongnya pada perbuatan tercela. Padahal, pada awalnya ia tidak dalam posisi memaksa, melainkan hanya dengan berbagai tipu daya berusaha menyeret manusia pada satu keburukan saja. Namun kini, setelah perbuatan dosa menjadi hal yang biasa baginya, maka menggiringnya kepada berbagai maksiat dan kehinaan tidak lagi sulit.
Inilah tingkatan jiwa yang tidak dinyatakan suci oleh Nabi Yusuf as. Beliau justru berlindung kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang dari kejahatannya, sebagaimana firman Allah mengutip ucapannya:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar sangat menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)
3. Nafs al-Lawwamah
Jika manusia sejak awal tidak lalai terhadap permusuhan jiwa dan mengetahui pengkhianatan serta tipu dayanya, serta menyadari bahwa jiwa ibarat kuda liar yang bisa ditundukkan sedikit demi sedikit, maka ia akan berusaha menempuh jalan penyucian dan perbaikan jiwa. Ia melatih jiwa dengan ibadah, ketaatan, dan mujahadah (perjuangan spiritual), serta menanamkan kesadaran tentang keburukan dosa dan keindahan kebaikan.
Buah pertama dari pendidikan ini adalah: setelah melakukan perbuatan dosa, jiwa akan menyesal, mencela dirinya sendiri, dan menegur manusia karena telah melakukan keburukan tersebut. Keadaan ini merupakan cahaya pertama harapan bagi keselamatan manusia dan tanda awal perbaikan jiwa.
Meskipun jiwa pada tahap ini belum sepenuhnya berada di bawah kendali akal, dan masih belum menjadi patuh total, namun ia telah melangkah menuju jalan penyucian. Karena itu, ia memperoleh nilai dan kedudukan, sampai-sampai Allah bersumpah dengan menyebutnya:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ • وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah demi hari Kiamat. Dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 1-2)
4. Nafs al-Mulhamah
Apabila manusia bersungguh-sungguh dalam mendidik dan menyucikan jiwanya, serta melalui perjuangan spiritual ia berhasil membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji, serta menempatkan akal sebagai penguasanya, maka meskipun jiwa belum mencapai kesempurnaan akhirnya dan belum layak untuk merasakan kehadiran Allah Sang Kekasih, namun jiwa sudah layak untuk menerima ilham.
Pada tahap ini, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga, jiwa bisa mendapatkan ilham, yang dengannya ia diberi pengetahuan tentang rahasia-rahasia alam. Atau setidaknya, ia diilhami untuk membedakan kebaikan dan keburukan, sehingga ia mengetahui kewajiban-kewajiban dirinya. Hal ini sangat penting, sebab di zaman ini salah satu persoalan tersulit bagi orang beriman adalah mengenali kewajiban mereka dengan tepat.
Mencapai maqam ini adalah sesuatu yang mungkin, dan Al-Qur’an pun menegaskan hal ini, sebagaimana firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا • فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Demi jiwa dan penyempurnaan (penciptaan)-nya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 7–8)
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 282)
إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
“Jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah).” (QS. Al-Anfal: 29)
5. Nafs al-Muthma’innah
Tahap terakhir dari perjalanan kesempurnaan jiwa menurut Al-Qur’an adalah sampai pada suatu kondisi di mana jiwa hanya merasa tenang dengan mengingat Allah. Selain Allah, apa pun itu tidak akan mampu meredakan dahaga cinta dan kasih sayangnya, dan tidak akan mengeluarkannya dari kegelisahan dan keresahan.
Keadaan ini hanya akan tercapai apabila jiwa telah sampai pada derajat haqq al-yaqin, yakni segala sesuatu baginya menjadi tersingkap dan nyata, sehingga tidak tersisa keraguan dan kesamaran sedikit pun.
Inilah yang dalam istilah para arif disebut dengan maqam fana fil Allah dan baqa bil Allah, yakni kondisi ketika jiwa telah mencapai kesempurnaan finalnya, layak hadir dan berada dalam hadirat Kekasih, serta menerima seruan Ilahi:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida lagi diridai. Maka masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–30)
Yang dimaksud dengan ‘ibadi’ adalah para hamba yang didekatkan (‘ibad al-muqarrab), sedangkan yang dimaksud dengan ‘jannati’ adalah surga kedekatan dan pertemuan, yakni sampai di hadapan Kekasih dan meraih maqam penyatuan. (Rawdat al-Muttaqin, jilid 12, hlm. 235)
Pada maqam inilah, kesedihan karena perpisahan berubah menjadi kebahagiaan karena perjumpaan. Jiwa mendapatkan tempat yang hakiki, yaitu maq‘ad sidq (tempat yang benar) dan jannat al-liqa’ (surga perjumpaan), ‘inda malikin muqtadir (di sisi Raja yang Maha Berkuasa). Dalam Al-Qur’an tertera:
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
“(Mereka berada) di tempat yang benar (penuh kemuliaan), di sisi Raja Yang Mahakuasa.” (QS. Al-Qamar [54]: 55
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 29)
Dalam pandangan Al-Qur’an, perjalanan spiritual dimulai dari nafs al-ammarah (jiwa yang selalu memerintah pada keburukan). Akhir dari perjalanan ini adalah sampainya jiwa pada maqam nafs al-muṭma’innah (jiwa yang tenang).
Perjalanan dalam batin dan jiwa adalah perjalanan yang sangat berharga dan indah, tetapi sebagaimana agungnya perjalanan itu, demikian pula kesulitannya. Seorang salik yang benar-benar jatuh cinta hanya dengan tarikan dan daya pikat Ilahi sajalah yang dapat mendaki ke puncak maqam yang tinggi ini.

