Oleh: Mohammad Adlany, Ph.D, Anggota Dewan Syura IJABI
Di tengah dunia yang sering mengukur kebenaran dengan jumlah suara atau banyaknya pengikut, Karbala datang sebagai pelajaran abadi bahwa kebenaran tak pernah ditentukan oleh mayoritas, dan keteguhan pada prinsip tak boleh goyah meski sendirian. Di padang Karbala, hanya segelintir orang yang memilih berdiri bersama Imam Husain as, sementara puluhan ribu lainnya memilih diam atau berdiri bersama kebatilan. Namun justru mereka yang sedikit itu menjadi cahaya sejarah, sedang yang banyak tertelan arus kebodohan dan penyesalan.
Imam Husain as adalah simbol keteguhan moral dan spiritual. Ia berjalan sendiri demi kebenaran. Ketika seluruh kekuatan politik berpihak pada Yazid, ketika jalan menuju kemenangan dunia tertutup, beliau tetap berkata:
إني لا أرى الموت إلا سعادة، والحياة مع الظالمين إلا برما.
“Aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan, dan hidup bersama para penindas kecuali kehinaan.” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 192)
Kalimat ini bukan sekadar keberanian, tapi cermin teguhnya prinsip, meski beliau sangat sadar bahwa jumlah pasukannya jauh lebih sedikit. Tapi bagi Husain, seorang diri bersama kebenaran lebih berharga daripada ribuan bersama kebatilan.
Jangan takut menjadi minoritas di jalan kebenaran. Allah SWT berfirman:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)
Ayat ini mengingatkan bahwa mayoritas tidak selalu benar, dan bahwa kebenaran bisa saja terasingkan, minoritas, bahkan dikucilkan. Karbala adalah cerminan sempurna dari ayat ini: hanya sekitar 72 orang berdiri bersama Imam Husain, melawan ribuan tentara Kufah.
Mengukur kebenaran dengan prinsip, bukan dengan jumlah. Imam Ali as berkata:
لا تستوحشوا طريق الحق لقلة سالكيه.
“Jangan merasa asing dengan jalan kebenaran karena sedikitnya orang yang menempuhnya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah no. 201)
Ketika nilai-nilai runtuh, ketika mayoritas lebih memilih kenyamanan daripada perjuangan, hanya mereka yang memiliki prinsip kuat yang akan tetap bertahan. Karbala adalah saksi bahwa jalan kebenaran memang sepi, tapi tak pernah sia-sia.
Para sahabat Imam Husain as di Karbala adalah barisan yang kecil tapi berjiwa besar. Di malam Asyura, Imam Husain memadamkan lampu dan membebaskan para sahabatnya agar pergi jika takut mati. Tapi mereka justru meneguhkan janji:
لو قُتِلنا ثم نُشرنا، ثم قُتِلنا، ثم نُشرنا، لا نفارقك أبداً يا ابن رسول الله!
“Andaikan kami dibunuh lalu dibangkitkan, dibunuh lagi dan dibangkitkan lagi, kami tidak akan meninggalkanmu, wahai putra Rasulullah!” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 298)
Inilah teladan sejati: berani bertahan di sisi kebenaran meski kalah jumlah dan ditinggalkan banyak orang.
Padang Karbala menjadi saksi terhadap keteguhan Imam Husain as dan para sahabatnya.
Misi Imam Husain adalah menegakkan prinsip Ilahi meski harus menghadapi badai. Dalam diri Husain, kita melihat prinsip-prinsip Islam dalam bentuk hidup—teguh, tidak goyah, tidak berkompromi, meski sendirian.
Dunia modern sering membungkam kebenaran atas nama kenyamanan, keamanan, atau konsensus mayoritas. Tapi Karbala mengajarkan bahwa: jangan takut berbeda jika engkau yakin pada kebenaran, jangan kompromikan prinsip untuk diterima mayoritas, dan jangan diam karena takut sendiri.
Kebenaran tidak butuh keramaian. Ia butuh keberanian.
Bagaimana menjadi Husaini di zaman ini? Menjadi Husaini berarti berani teguh memegang prinsip, meski sendiri. Dunia hari ini membutuhkan suara yang berani berkata “tidak” kepada kebatilan dan arogansi, meski semua orang berkata “ya”. Karbala telah membuktikan bahwa sejumlah kecil orang yang ikhlas dan teguh bisa mengguncang sejarah dan menjadi cahaya bagi generasi setelahnya.
Mari mewarisi semangat itu, dan tegakkan kebenaran, meski harus berjalan dalam sunyi.