Oleh K.H. Fajruddin Muchtar, Lc. (Ketua Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI)
Arba‘īn 2025 diperkirakan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Pemerintah Karbala memproyeksikan 25 juta peziarah akan memadati kota suci tersebut — naik dari sekitar 22 juta pada tahun sebelumnya. Dari Iran saja, lebih dari dua juta orang telah mendaftar secara resmi, dan totalnya diperkirakan mencapai empat juta peziarah. Angka ini menempatkan Arba‘īn sejajar dengan, bahkan melampaui, acara publik terbesar di dunia modern.
Namun, Arba‘īn bukan sekadar fenomena jumlah massa. Ia adalah panggung diplomasi budaya yang hidup, di mana bahasa resmi diplomasi digantikan oleh bahasa kemanusiaan: senyum, salam, dan kisah yang menghubungkan lintas bangsa. Setiap langkah di jalan Najaf–Karbala menjadi bagian dari narasi global tentang solidaritas, spiritualitas, dan penghormatan terhadap warisan Imam Husain.
Di jalur 80 kilometer yang menghubungkan dua kota suci ini, interaksi yang terjadi melampaui sekadar bantuan fisik. Para peziarah saling bertukar bahasa, doa, dan ekspresi religius. Seorang peziarah Turki mencoba melafalkan Ziyarat Arba‘īn bersama rombongan Iran; di tenda berikutnya, sekelompok peziarah Afrika menyanyikan lantunan pujian dengan irama khas yang membuat rombongan Asia Selatan ikut bergoyang pelan. Perbedaan bahasa tidak menjadi penghalang — justru menjadi jembatan rasa ingin tahu dan penghargaan terhadap kekayaan budaya masing-masing.
Identitas visual juga menjadi percakapan diam yang tak kalah kuat. Di tengah lautan pakaian hitam yang seragam, tampak kain bercorak cerah dari Afrika, ikat kepala berbordir dari Asia Tengah, hingga bendera dari berbagai negara. Jalan Najaf–Karbala menjelma menjadi pameran budaya berjalan, di mana setiap penampilan adalah pernyataan: Meski berasal dari dunia yang berbeda, kami hadir bersama dalam kecintaan pada al-Husain.
Bentuk diplomasi budaya ini tak hanya terwujud melalui simbol dan penampilan. Di banyak titik, tenda peristirahatan berubah menjadi ruang diskusi lintas bangsa. Ulama, intelektual, peneliti, dan aktivis duduk bersama membicarakan filosofi pengorbanan, tafsir sejarah, atau gagasan solidaritas global. Pertemuan ini mungkin singkat, namun sering berlanjut menjadi jejaring kerja sama internasional — dari program pendidikan bersama hingga aksi kemanusiaan di negara masing-masing. Bukti bahwa hubungan antarbangsa tidak selalu dimulai di ruang rapat resmi; ia bisa tumbuh dari percakapan sederhana di tengah debu dan teriknya jalan.
Arba‘īn juga menjadi ruang belajar sosial yang unik. Peziarah dari negara dengan sejarah ketegangan politik dapat bertemu, berdialog, dan menemukan titik temu melalui nilai-nilai bersama. Seorang peziarah Eropa yang sebelumnya mengenal Timur Tengah hanya dari berita konflik, misalnya, kembali dengan cerita tentang keramahan penduduk Irak. Sebaliknya, warga lokal Irak menyadari bahwa tamu dari benua lain datang membawa semangat dan rasa hormat yang sama kepada tradisi Arba‘īn.
Bagi Iran dan Irak, Arba‘īn adalah aset soft power yang berharga. Irak menampilkan kapasitas logistik dan keramahan warganya, sementara Iran memproyeksikan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai Karbala di panggung internasional. Meski ada tantangan seperti framing media yang bias atau isu keamanan, kekuatan diplomasi budaya Arba‘īn sulit ditandingi. Ia bekerja senyap namun mendalam, meninggalkan kesan yang bertahan lama di hati para peserta.
Dari jalan Najaf–Karbala, dunia belajar bahwa diplomasi tidak selalu lahir dari negosiasi resmi. Ia bisa tumbuh di bawah tenda sederhana, melalui pertukaran bahasa, puisi, dan simbol identitas. Arba‘īn membuktikan bahwa kekuatan budaya terletak pada kemampuannya membuat orang yang berbeda merasa berada dalam satu kisah yang sama — sebuah kisah yang terus ditulis ulang oleh jutaan langkah kaki setiap tahun.
“Di antara lautan manusia ini, aku kehilangan namaku, namun menemukan diriku di dalam hatimu.” Arba‘īn adalah lautan itu — tempat di mana identitas pribadi larut dalam persaudaraan universal, dan di mana diplomasi budaya menemukan bentuknya yang paling murni.