Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Amirul Mukminin Ali as bersabda:
«مَنْ أَصْلَحَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ، أَصْلَحَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ»
“Barang siapa memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah, maka Allah Swt akan memperbaiki hubungan antara dirinya dengan manusia.” (Nahj al-Balāghah, ḥikmah no. 89)
Hadis ini berbicara mengenai masalah sosial. Seseorang yang memiliki problem dalam masyarakat dan ingin memperbaiki hubungannya dengan orang lain, maka ia harus terlebih dahulu memperbaiki dan memperkokoh hubungannya dengan Allah. Karena hati manusia berada dalam genggaman Allah, dan syarat membaiknya hubungan dengan sesama adalah dengan memperbaiki hubungan dengan-Nya.
Jalan yang dapat mengantarkan kita pada tujuan luhur ini adalah tafakkur atau berpikir mendalam.
Ahlulbait as juga telah mengajarkan kepada kita tata cara berpikir. Dan mereka berkata: Tafakkur itu misalnya ketika seseorang melewati negeri atau rumah-rumah yang telah runtuh lalu berkata:
«أَيْنَ سَاكِنُوكِ؟ أَيْنَ بَانُوكِ؟»
“Di manakah para penghunimu? Di manakah para pembangunnya?” (Miṣbāḥ al-Sharīʿah, hlm. 7)
Para pendiri dan penghuninya kini ke mana? Pikiran seperti ini akan membuat manusia sadar. Ini hanyalah contoh; sebab rumah-rumah yang masih berdiri pun pada akhirnya berpindah dari generasi ke generasi, dari tangan satu ke tangan lain. Namun rumah-rumah yang telah runtuh memiliki pesan yang lebih kuat. Pada hakikatnya, segala sesuatu yang melintas di hadapan mata manusia dapat menjadi sarana nasihat dan pelajaran.
Sebagaimana Imam Musa as berkata ketika menjawab pertanyaan Harun:
«مَا مِنْ شَيْءٍ تَرَاهُ عَيْنُكَ إِلَّا وَفِيهِ مَوْعِظَةٌ»
“Tidak ada sesuatu pun yang terlihat oleh matamu kecuali di dalamnya terdapat nasihat.” (Al-Ḥurr al-ʿĀmilī, Wasāʾil al-Shīʿah, jil. 12, hlm. 103)
Maka, satu momen tafakkur memiliki peran penting untuk membangunkan dan menyadarkan manusia.