Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam tradisi Islam, amal saleh merupakan salah satu pilar utama dalam perjalanan spiritual manusia menuju Allah. Namun, al-Qur’an dan hadis menekankan bahwa ukuran sejati bukan sekadar melakukan amal baik (fiʿl al-ḥasanah), melainkan menjaga agar amal tersebut tetap utuh hingga dihadapkan kepada Allah pada hari kiamat (ḥifẓ al-ʿamal). Amal yang dilakukan namun kemudian rusak oleh riya, dosa, atau niat yang tercemar, tidak lagi bernilai sebagai amal yang “dihadapkan kepada Allah”.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya membawa amal baik yang terjaga. Misalnya:
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَیرٌ مِّنْهَا
“Barang siapa datang membawa kebaikan, maka baginya (balasan) yang lebih baik daripadanya.” (QS. an-Naml [27]: 89)
فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Maka baginya sepuluh kali lipat (pahala) dari kebaikan itu.” (QS. al-An‘am [6]: 160)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa yang berharga bukan sekadar “melakukan amal”, tetapi bagaimana amal itu dibawa di hadapan Allah pada hari kiamat, artinya terjaga dari segala bentuk pembatalan.
Banyak ayat dan riwayat menunjukkan bahwa amal dapat gugur bila dicemari oleh niat yang salah atau perbuatan dosa. Beberapa faktor penghapus amal antara lain:
1. Riya
Allah Swt berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya.” (QS. al-Maʿun [107]: 4–6)
2. Menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu adalah seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak memperoleh sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 264)
3. Ujub
Dalam hadis ditegaskan bahwa ujub dan rasa bangga diri terhadap amal dapat menghapus nilai amal itu sendiri.
Imam Jaʿfar al-Shadiq as bersabda:
إيّاكَ وَالعُجْبَ، فَإِنَّهُ يَحْبِطُ العَمَلَ
“Waspadalah terhadap ujub (bangga diri), karena sesungguhnya ujub itu dapat menghapus amal.” (Al-Kafi, jld. 2, hlm. 313)
Rasulullah saw bersabda:
ثَلاثٌ مُهْلِكاتٌ: شُحٌّ مُطاعٌ، وَهَوىً مُتَّبَعٌ، وَإعْجابُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga hal yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri (ujub).” (Al-Kafi, jld. 2, hlm. 310)
Dari Imam Ali as bersabda:
العُجْبُ آفَةُ العِبادةِ
“Ujub adalah penyakit bagi ibadah.” (Ghurar al-Ḥikam, hlm. 326)
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa ujub bukan sekadar sikap buruk batin, tetapi penghapus nilai amal.
Islam memberikan motivasi besar bagi amal baik dengan janji pelipatan pahala. Rasulullah saw bersabda:
فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ
“Barang siapa berniat melakukan kebaikan lalu melakukannya, Allah menuliskan baginya sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang banyak lagi.” (Ṣhaḥiḥ al-Bukhari, jld. 1, hlm. 129, hadis no. 42; Ṣhaḥiḥ Muslim, jld. 1, hlm. 115, hadis no. 131)
Imam Jaʿfar al-Ṣhadiq as bersabda:
إِذَا عَمِلَ الْعَبْدُ حَسَنَةً كُتِبَتْ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَلْفٍ وَ أَرْبَعِمِائَةِ ضِعْفٍ
“Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka dituliskan baginya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai seribu empat ratus kali lipat.” (Al-Kafi, jld. 2, hlm. 428)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa pelestarian amal bukan hanya menjaga keikhlasan, tetapi juga membuka jalan untuk meraih lipatan pahala yang luar biasa.
Kesimpulannya, konsep ḥifẓ al-ʿamal mengajarkan bahwa amal yang bernilai di sisi Allah bukan sekadar amal yang dilakukan, melainkan amal yang tetap utuh hingga dihadapkan kepada-Nya. Seorang mukmin dituntut untuk menjaga amalnya dari riya, pamer, dan segala hal yang dapat membatalkan nilainya. Dengan demikian, ketika datang ke pengadilan Ilahi, ia hadir dengan tangan penuh, membawa amal yang bersih, terjaga, dan diterima.