Site icon Majulah IJABI

Menjaga Kehormatan dan Kemuliaan Mukmin, Amanah Ilahi 

Sumber gambar : https://pin.it/1r56mvbF0

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI) 

Dalam ajaran Islam, kehormatan dan kemuliaan seorang mukmin bukan hanya sekadar urusan pribadi, tetapi merupakan amanah Ilahi yang wajib dijaga. Islam menekankan bahwa manusia sebagai hamba Allah tidak memiliki kebebasan penuh atas dirinya, karena setiap aspek kehidupannya terikat oleh aturan Ilahi. Demikian pula dalam urusan sosial-politik, Islam memberi peringatan keras terhadap bahaya kesewenang-wenangan dan sikap egoistik yang dapat merusak keadilan. 

Imam Ali as mengingatkan: 

مَنْ وَضَعَ نَفْسَهُ مَوَاضِعَ التُّهَمَةِ فَلَا يَلُومَنَّ مَنْ أَسَاءَ بِهِ الظَّنَّ 

“Barangsiapa menempatkan dirinya pada posisi yang menimbulkan tuduhan, maka janganlah ia menyalahkan orang yang berprasangka buruk kepadanya.” (Nahj al-Balaghah, Ḥikmah no. 161) 

Hadis ini menunjukkan bahwa menjaga citra dan wibawa adalah bagian dari tanggung jawab religius. Kehormatan seorang mukmin merupakan amanah dari Allah, bahkan dirinya sendiri pun tidak berhak merendahkan atau merusaknya. 

Imam Ja‘far al-Shadiq as menegaskan: 

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ فَوَّضَ إِلَى الْمُؤْمِنِ أُمُورَهُ كُلَّهَا وَ لَمْ يُفَوِّضْ إِلَيْهِ أَنْ يَكُونَ ذَلِيلًا 

“Allah menyerahkan segala urusan mukmin kepada dirinya, kecuali satu hal: jangan sampai ia merendahkan dirinya sendiri.” (Al-Kafi, jld. 5, hlm. 63, bab al-Muru’ah, hadis no. 2) 

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kemuliaan sejati hanyalah milik Allah dan diberikan kepada Rasul-Nya serta orang-orang beriman: 

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ 

“Dan bagi Allah kemuliaan itu, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun (63): 8) 

إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا 

“Sesungguhnya segala kemuliaan itu hanyalah milik Allah seluruhnya.” (QS. An-Nisā’ (4): 139) 

Maka jelaslah, menjaga kehormatan dan kemuliaan merupakan kewajiban syar‘i. Bahkan perbuatan yang secara lahiriah mubah, apabila menimbulkan prasangka buruk atau menjatuhkan martabat, dapat berubah status menjadi haram. 

Dalam ranah sosial dan politik, Islam memberi peringatan keras terhadap bahaya egoisme dan kediktatoran. Imam Ali as berkata: 

مَنْ مَلَكَ اسْتَأْثَرَ 

“Barangsiapa berkuasa, ia akan cenderung bersikap egois. (Nahj al-Balāghah, Ḥikmah no. 161)  

مَنِ اسْتَبَدَّ بِرَأْيِهِ هَلَكَ 

Barangsiapa memaksakan pendapatnya sendiri, ia akan binasa.” (Ghurar al-Ḥikam wa Durar al-Kalim, hadis no. 9264) 

Kata isti’tsar berarti mendahulukan diri sendiri atas orang lain, kebalikan dari itsar yang berarti berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Jiwa manusia secara natural condong pada egoisme, namun akal seorang mukmin menyerunya kepada pengorbanan dan musyawarah. 

Islam dengan ajarannya berusaha mentransformasi sifat egoistik menjadi sikap altruistik. Contoh nyata hal ini adalah tindakan Rasulullah saw dalam mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, yang menjadi teladan solidaritas sosial. 

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran moral yang aplikatif: 

1. Kehormatan dan kemuliaan adalah amanah Ilahi; tidak boleh dipermainkan sebagaimana tubuh, jiwa, dan harta. 

2. Setiap tindakan yang menimbulkan kehinaan atau prasangka buruk menjadi terlarang, meskipun semula tampak mubah. 

3. Seorang mukmin wajib menjaga wibawa bahkan di hadapan musuh, karena kehormatan adalah bagian dari iman. 

4. Kesewenang-wenangan dan egoisme adalah sebab kebinasaan, sementara musyawarah adalah jalan keselamatan. 

Islam menegaskan bahwa seorang mukmin harus menjadi aminullah (orang yang dipercaya Allah) dalam seluruh aspek kehidupannya: dalam menjaga kehormatan pribadi, dalam mengelola kekuasaan, dan dalam membuat keputusan. 

Dengan demikian, mukmin sejati senantiasa bergerak menuju itsar (pengorbanan), ‘izzah (kemuliaan), serta ketaatan kepada akal dan kehendak Ilahi. 

Exit mobile version