Penulis : Muhammad Bhagas (Anggota Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI)
Ayatullah Sayyid Ahmad al-Mustanbath ridhwanullah ‘alaihi, seorang ulama Najaf yang terkenal sekaligus imam shalat di haram Imam ‘Ali bin Abi Thalib as, berkata dalam konteks membangunkan hati manusia, dengan menukil ucapan para ahli ma‘rifat dan para pemilik bashirah (pandangan batin):
“Sesungguhnya di antara hijab terbesar yang menghalangi manusia dari rahmat Allah adalah meremehkan amal saleh, yaitu ia mengira bahwa amal yang tampak sedikit dan kecil itu tidak memiliki pengaruh, dan bahwa dzikir yang ringan tidak akan mengubah kondisi dan hakikat kehidupan (di alam batin). Padahal, seandainya hijab-hijab yang selama ini menghalangi mata batinnya disingkapkan darinya, niscaya ia akan melihat bagaimana timbangan-timbangan di alam akhirat dikelola bukan dengan logika dunia, dan bagaimana Allah SWT menjadikan perbuatan kecil sebagai pintu keselamatan yang luas, dengan syarat perbuatan itu dilakukan dengan hati yang tulus dan terhubung dengan makhluk yang paling dicintai-Nya.”
Kemudian beliau merujuk apa yang dikutip oleh Mirza Husain an-Nuri quddisa sirruh dalam kitab Dar as-Salam tentang seorang ibu yang bermimpi menyaksikan putrinya disiksa dengan berbagai macam azab. Sang ibu terbangun dan sangat bersedih atas apa yang menimpa putrinya di alam sana. Kemudian setelah satu hari satu malam, ia kembali menyaksikannya dalam mimpi, tapi kali ini putrinya dalam keadaan bahagia dan sedang bersenang-senang di sebuah taman surgawi. Maka ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Putrinya menjawab: “Aku dahulu disiksa karena dosa-dosa dan kedurhakaanku. Namun pada hari ini, ada seseorang yang melewati area pekuburan kami, lalu ia bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarga sucinya beberapa kali. Maka pahala shalawat itu dibagikan kepadaku sehingga azabnya dipalingkan…” (Dar as-Salam Fi Ma Yata‘allaq bi al-Ru’ya wa al-Manam, jilid 2, halaman 188)
Disebutkan bahwa: “Ruh-ruh orang yang telah wafat tidak terputus dari alam orang-orang hidup; bahkan mereka menanti, menerima, dan mengambil manfaat dari limpahan dzikir dan doa yang sampai kepada mereka. Bisa jadi kelapangan yang ditunggu oleh ruh yang tersiksa bergantung pada sebuah amal yang sepintas, yang tidak diperhatikan oleh pelakunya; namun Allah mengangkatnya dengan kedudukan yang agung karena keagungan pihak yang dijadikan sarana taqarrub kepada-Nya.”
Di sinilah tampak rahasia yang sangat dalam dari shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarga sucinya as, ia bukan sekadar dzikir lisan, tetapi juga sebagai ikatan mata rantai rahmat ilahi, dan kunci limpahan karunia-Nya yang melampaui batas ruang dan waktu. Bahkan ia bisa sampai (bermanfaat) kepada orang yang kurang amalnya, menyelamatkan mereka yang tak memiliki sarana, dan mengubah keadaan yang dalam perhitungan manusia mustahil berubah.
Betapa banyak ruh yang terbelenggu oleh jejak dosa-dosanya, lalu belenggunya terlepas oleh sebuah dzikir yang bahkan tidak diniatkan khusus untuknya?
Betapa banyak kubur yang sunyi, lalu menjadi taman karena hembusan shalawat?
Dan betapa banyak manusia yang selamat—bukan karena besarnya amalnya—melainkan karena keagungan pihak yang dijadikan wasilahnya kepada Allah? Inilah pelajaran-pelajaran penting, bukan untuk sekadar mengagumkan pendengar, melainkan untuk membangunkan hati ini, agar kita tidak meremehkan kebaikan apa pun, tidak melalaikan dzikir apa pun, dan tidak berputus asa dari rahmat yang Allah jadikan kunci-kuncinya terletak pada amal-amal yang sederhana, jika niatnya tulus dan hati terhubung dengan Nabi Muhammad SAW dan keluarga sucinya as.
✍️ Dikutip dari Qashash al-‘Irfan wa al-‘Urafa dengan edit dan penambahan seperlunya
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum..

