Khazanah

Zhahir Insani, Batin Ilahi

Manusia Tauhid dan Keheningan yang Menjelma

Muhammad Bhagas
+ posts
  • Anggota Departemen Perkhidmatan dan Seni IJABI.
  • Direktur Kajian Kang Jalal.

Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib as.: “Berbahagialah orang-orang yang ibadah dan doanya murni semata-mata karena Allah, yang hatinya tidak disibukkan oleh apa yang disaksikan matanya, tidak lalai mengingat Allah oleh apa yang didengar telinganya, dan batinnya tidak bersedih oleh apa yang diperoleh orang lain.”
(Al-Kafi, jilid 2, halaman 128)

Hadis ini menunjukkan bahwa seorang hamba dapat mencapai maqam—capaian spiritual sekaligus eksistensial—di mana segala yang dilihat tidak lagi memalingkan fokus hatinya. Kenikmatan dan kesenangan duniawi tak mampu merenggut kesadarannya, dan hiruk-pikuk di sekitarnya tidak membuatnya lalai dalam merasakan dan bercakap dengan Tuhan. Keramaian tak sanggup mengalahkan keheningan dirinya.

Apa pun yang ia lewati dalam hidup tidak membuatnya berpaling dari tujuan hakiki. Ia tidak mudah terpikat, apalagi terbuai, kecuali oleh hal-hal yang mengantarkannya pada dan memperkuat hubungannya dengan Sang Kekasih Sejati. Hati, pikiran, dan kesadarannya tak mudah terombang-ambing oleh dunia. Kekacauan di luar tidak serta-merta membuat jiwanya kacau.

Ia menjaga keintiman dan kestabilan batinnya. Baginya, perjalanan sejati adalah perjalanan ke dalam diri—perjalanan eksistensial. Kekuatan spiritualnya bersumber dari ma‘rifat al-nafs (penyelaman ke semesta diri). Saya teringat sabda yang disandarkan kepada Imam Ali as.:

Taz‘amu annaka jirmun shaghīrun wa fīka inṭawā al-‘ālam al-akbar
“Engkau mengira dirimu entitas kecil, padahal dalam dirimu terbentang semesta yang agung.”

iklan

Juga seperti ujaran Maulana Jalaluddin Rumi: “Ke mana aku harus pergi, bila ternyata perjalanan itu ada di dalam diriku sendiri.”

Ia bergerak ke sana kemari, terlibat dalam banyak urusan, namun kesibukan itu tak mengusik kesadarannya yang lebih dalam. Dua kesadaran hadir bersamaan: tubuhnya sibuk bersama makhluk, hatinya intim bersama Tuhan. Zhahirnya insani, batinnya ilahi.

Guruku, Ustadz Muhammad Nur Jabir—Direktur Rumi Institute—pernah menyampaikan bahwa berada dalam dua kesadaran secara bersamaan tidaklah mudah. Butuh latihan yang konsisten dalam keheningan dan kesunyian diri, agar keramaian tak lagi mencemari jiwa. Sehingga, apa yang tersembunyi di batin menjelma dalam seluruh gerak.

Kata guruku, inilah hakikat manusia tauhid. Zikir yang dilantunkan terus-menerus dalam hati tidak terganggu oleh gemerlap luar. Justru sebaliknya, zikir yang tersembunyi itu memberi pengaruh nyata bagi sekitarnya—kebaikan, ketenangan, dan kesejukan. Suluk batinnya menjelma menjadi keberkahan dan keindahan di alam zhahir.

Dua hadis mendukung hal ini. Pertama tentang ikhlas: Rasulullah Muhammad saw. bersabda:
“Siapa yang ikhlas menghamba kepada Allah selama 40 pagi, akan mengalir mata air hikmah dari hatinya menuju lisannya.”
(‘Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 1, halaman 74)

Kedua tentang zuhud: Imam Ja‘far al-Shadiq as. bersabda:
“Siapa yang zuhud di dunia, Allah akan menanamkan hikmah di hatinya, dan lisannya akan mengucapkannya. Ia akan mengenali penyakit-penyakit dunia dan penawarnya, lalu keluar dari dunia dalam keadaan selamat menuju Darus Salam.”
(Al-Kafi, jilid 2, halaman 128)

Dari hati mengalir ke lisan. Dari ketersembunyian menuju penampakan.

Kekuatan batin ini hadir manakala seluruh kecenderungan seorang hamba terpusat pada keridhaan Allah SWT. Spirit hidupnya tak lagi berpijak pada orientasi material, kekaguman semu, pemuasan nafsu, atau validasi sosial. Kehidupan yang sekali ini terlalu berharga untuk dipersembahkan bagi yang fana dan dangkal.

Meski ia aktif dalam khidmat dan memberi manfaat, namun relasinya dengan ridha Tuhan tetap utama. Ia tak rela menukar keselamatan jiwanya demi penerimaan sosial. Bukan mengorbankan spiritualitas demi urusan dunia, dan bukan pula sebaliknya.

Ia berbuat baik bukan sekadar karena nilai sosial, budaya, atau moral yang disepakati, tetapi karena kesadaran eksistensial akan Tuhan. Khidmatnya adalah bentuk ubudiyyah. Ia berharap setiap niat dan amalnya menyempurnakan jiwanya untuk lebih dekat kepada-Nya.

Manusia tauhid memiliki sudut pandang unik dalam merangkai realitas. Worldview-nya meniscayakan paradoks, bukan kontradiksi. Misalnya, antara ḥabl min Allah dan ḥabl min al-nās bukan dua jalan terpisah. Dalam gerak vertikal tersimpan energi untuk gerak horizontal. Sebaliknya, interaksi sosial memperkuat spiritualitas.

Vertikal dalam horizontal. Horizontal dalam vertikal.
Spiritual dalam sosial. Sosial dalam spiritual.
Ketuhanan dalam kemanusiaan. Kemanusiaan dalam ketuhanan.
Zhahir dalam batin. Batin dalam zhahir.

Dalam kesatuan pandang ini, manusia tauhid tak lagi bingung memilih dunia atau akhirat. Keduanya ia pandang dalam kerangka ilahi. Segala sesuatu, sekecil apa pun, terhubung dengan nilai ketuhanan. Ia tak memisahkan langit dan bumi, materi dan non-materi, sebagai dua kutub yang saling meniadakan. Ia memahaminya sebagai dua dimensi yang saling menguatkan dan menentukan.

Demikian refleksi ini disampaikan. Mohon doa dari Sahabat sekalian.

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala āli Sayyidina Muhammad.

Muhammad Bhagas
+ posts
  • Anggota Departemen Perkhidmatan dan Seni IJABI.
  • Direktur Kajian Kang Jalal.
Iklan

4 Komen

  1. Alhamdulillah… Terimakasih banyak IJABI, Saya orang Sunni tapi karena sering baca artikel di Website IJABI. Kini saya semakin terbuka dalam memahami Islam yang lebih rasional dan mulai mengetahui arah arah kehidupan.
    Semoga terus ada tulisan tulisan baru dan menggugah pemikiran disetiap pekannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button