
Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
Wahai pencari makna, duduklah sejenak dalam sunyi. Jangan biarkan dunia mencuri perhatianmu dengan gemerlapnya yang fana. Angin Karbala masih membawa wangi darah para pecinta, dan di antara mereka, satu jiwa bercahaya seperti bulan purnama dalam malam paling gelap: dialah Abul Fadhl Abbas, yang dikenal langit sebagai Pembawa Air dan dikenal bumi sebagai Pemegang Panji Kesetiaan.
Pada hari ke-7 Muharram, ketika dunia menggulung sayap rahmatnya dari perkemahan para suci, dan sungai Eufrat kini dikunci oleh tangan-tangan kufur, datanglah perintah dari hati yang tak mengenal gentar: “Wahai Abbas, bawakan air bagi anak-anak dan para wanita!” Maka bangkitlah sang Abbas, tak membawa dendam, hanya membawa kantong harap dan 30 pasukan yang seperti dedaunan dalam badai; rapuh, namun dipenuhi niat langit.
Ia menembus gelapnya barisan musuh seperti pedang yang melintas udara. Setiap langkahnya adalah dzikir, setiap hembusan nafasnya adalah doa. Ia pun kembali, membawa kantong air sebagai hadiah surgawi, dan dunia menyaksikan bahwa terkadang tetesan air lebih bernilai daripada lautan darah
Namun malam belum usai, dan cinta belum selesai menulis baitnya. Ketika siang Karbala membakar kulit dan menelanjangi kekuatan, dan kerongkongan para kekasih Tuhan mengering seperti padang tandus, Imam memanggil Abbas, bukan untuk perang, tapi untuk harap. “Gali sumur,” sabda Imam, “karena bumi ini dekat sungai, mungkin Tuhan akan memperkenankan air keluar dari rahimnya.”
Abbas tunduk dan mulai menggali. Setiap cangkulnya adalah permohonan, setiap pasir yang terangkat adalah tangis. Namun bumi tak menjawab. Ia berpindah tempat, menggali lagi dengan sisa tenaga dan hati yang tetap kukuh. Tapi bumi Karbala bukan tanah biasa; ia menuntut darah, bukan hanya keringat.
Pada hari Asyura, langit merah dan tanah hitam. Di tengah jeritan anak-anak dan tangis wanita yang tak punya air untuk berwudhu atau sekadar membasahi bibirnya yang pecah, Abbas kembali menerima titah: “Pergilah ke sungai, bukan untuk dirimu, tetapi untuk mereka.”
Ia menuju Eufrat, dan Eufrat gemetar. Air bersujud dalam kantong kulitnya, seakan berkata: “Wahai Abbas, aku malu padamu.”
Ia berbalik, membawa air pulang — bukan untuk dirinya, tapi untuk mereka yang mencintai Imam Husain. Namun musuh, yang tak tahu arti cinta, memanah kantong air itu. Air mengalir ke tanah, tapi tak sia-sia, karena setiap tetesnya adalah syahadat..
Tentara angkara mengarah tubuhnya, lalu tangan kanannya ditebas. Ia pindah kantong air ke tangan kiri, lalu tangan kirinya pun dipotong. Ia tak mengeluh, hanya bersenandung kepada jiwanya:
“Wahai jiwa, janganlah takut kepada orang-orang kafir dan berikan kabar gembira akan rahmat Tuhan yang Maha besar dan kebersamaannya dengan Nabi Muhammad saw. Mereka dengan zalim telah memotong tangan kiriku. Tuhanku akan melemparkan mereka ke api neraka yang menyala-nyala.“
Seperti bulu yang tak punya sayap tapi tetap ingin terbang, Abbas tetap berdiri meski tak punya tangan. Tapi datanglah pedang terakhir, ditebaskan ke kepalanya untuk memahkotainya dengan syahadah.
Saat ia rebah, tanah Karbala mencium darahnya dan berkata: “Aku kini suci.”
Tapi dengarlah sebelum ia menjemput syahadah, Abbas telah memastikan bahwa ketiga adiknya — Abdullah, Ja’far, Utsman — telah mengorbankan segalanya bagi Husain dan kebenaran.
“Wahai anak-anak ibuku! Aku harus menyaksikan bahwa kalian telah berkorban terlebih dahulu di jalan Tuhan.“
Lalu mereka semua menjemput surga lebih dahulu darinya, seolah menyiapkan karpet hijau bagi bulan tanpa tangan itu.
Wahai pencinta, jangan tanyakan mengapa Abbas tak minum air. Air pun tahu, kehormatan lebih tinggi daripada pelepas dahaga. Jangan bertanya mengapa ia tak kembali dengan kantong penuh. Cinta sejati bukan membawa air, tapi membawa makna. Ia bukan hanya pembawa air, ia adalah penjaga makna pengorbanan.
Dan kini, setiap kali kamu haus — bukan karena dahaga dunia, tapi karena kerinduan — ingatlah Abbas. Bukan karena ia mati, tapi karena ia hidup di mata jiwa-jiwa yang tak rela menjual kebenaran demi kehidupan.
Dan jika kau ingin minum dari telaga kebenaran, minumlah dengan tangan hati — seperti Abbas. Karena meski tangannya terputus, hatinya tetap memeluk langit.
Dalam samudra ketenangan malam yang diterpa rindu, mari kita berziarah kepada Abal Fadhl al-‘Abbās mengalun dari hati yang luka, namun tetap setia pada cahaya. Moga ziarah ini bukan sekadar laku spiritual atau doa, melainkan simfoni jiwa yang memanggil kembali seluruh keberadaan untuk mengingat: bahwa ada cinta yang lebih dalam dari kata, ada kesetiaan yang lebih tinggi dari logika, dan ada pengorbanan yang melampaui nalar waktu.
Ziyārah Abal Fadhl bukan hanya penghormatan pada seorang pahlawan, melainkan dialog dengan diri kita terdalam dengan bayang-bayang cinta yang tak pernah padam. Di antara baris-barisnya yang gemetar karena getir dan agung karena cahaya, ada ungkapan yang membuka lebar cakrawala makna dan tangis:
السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الْعَبْدُ الصَّالِحُ الْمُطِيعُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ
“Salam atasmu, wahai hamba saleh, yang taat kepada Allah, Rasul-Nya, Amirul Mukminin, Hasan dan Husain.”
Abbas disebut sebagai ‘abd ṣāliḥ, bukan karena ia sekadar manusia baik, tetapi karena ia adalah cermin dari kehambaan sejati yang tak memisah antara cinta dan ketaatan. Dalam mata Mulla Ṣadrā, ini adalah tahapan eksistensial dalam hirarki wujūd, di mana jiwa tidak lagi melihat dirinya sebagai pusat, tetapi hanyut dalam arus trans-substansial menuju lautan Ke-Tuhanan. Ketaatan Abbas bukan ketaatan fisik atau perintah dangkal, tetapi ṭāʿah yang penuh kehadiran dan makrifat.
Ia adalah muti’ lillāh bukan karena ia terpaksa, tetapi karena seluruh jiwanya telah melihat bahwa dalam tunduk itulah kebebasan tertinggi. Ia telah menembus lapisan ego dan sampai pada wujūd yang bercahaya. Dalam filsafat Sadra, ini bukan sekadar kesadaran, tetapi transformasi. Harakah jawhariyyah itu menjadi nyata dalam langkah kakinya menuju medan Karbala, dan menjadi sempurna ketika ia jatuh di tepi Eufrat, bukan karena kalah, tetapi karena telah menjadi satu dengan tujuan semesta.
Heidegger akan memanggilnya sebagai manusia yang hidup dalam keaslian. Dasein yang telah memahami keterlemparannya, namun justru memilih jalan paling otentik: menuju kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai makna. Sein zum Tode—menjadi menuju mati—bagi Abbas bukan kehampaan, melainkan kesempurnaan. Ia adalah peziarah kesunyian yang menemukan dalam pengorbanan puncak cinta dan makna yang tak dapat dihancurkan bahkan oleh maut.
Dan kemudian ziarah berkata:
أَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ نَصَحْتَ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَخِيكَ فَنِعْمَ الْأَخُ الْمُوَاسِي
“Aku bersaksi bahwa engkau telah memberikan nasihat kepada Allah, Rasul-Nya, dan saudaramu; maka sungguh engkau adalah sebaik-baik saudara yang setia mendampingi.”
Dalam nafas Imam al-Ghazālī, nasihat (naṣīḥah) adalah cerminan qalb salīm, hati yang telah dicuci dengan air kerinduan kepada kebenaran. Abbas bukan penutur nasihat, ia adalah naṣīḥah itu sendiri. Setiap langkahnya, setiap diamnya, setiap senyap dalam luka dan tangisnya adalah nasihat hidup yang tak terucap namun bergetar hingga ke dasar ruh. Ia tidak berkata, tetapi keberadaannya berbicara. Ia tidak meminta, tetapi kehadirannya adalah hadiah ilahi.
Dalam ranah psikologi Jung, Abbas adalah archetype Hero dan Wounded Healer. Ia bukan sekadar pahlawan, tetapi penyembuh yang terluka. Ia tidak menolak bayang gelap tragedi, justru memeluknya dan mengubahnya menjadi terang. Dalam luka-lukanya, dunia menyaksikan bahwa keutuhan lahir dari kesadaran, dan kesadaran sejati datang dari keberanian mencintai walau harus terluka.
Abbas tidak menyelamatkan dirinya, tetapi menyelamatkan makna. Dalam dialektika Hegelian, ia adalah sintesis antara keberanian dan cinta. Tesis kehidupan yang nyaman bertemu antitesis kematian yang mulia, dan Abbas memilih mensintesisnya ke dalam Aufhebung: kematian bukan akhir, tetapi gerbang pembebasan menuju kesadaran baru yang hidup dalam jiwa manusia sepanjang zaman.
Dan ziarah pun melanjutkan:
لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا قَتَلُوكَ، وَلَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا ظَلَمُوكَ، وَلَعَنَ اللَّهُ أُمَّةً سَمِعَتْ بِذٰلِكَ فَرَضِيَتْ بِه
“Semoga Allah melaknat kaum yang membunuhmu, yang menzalimmu, dan mereka yang mengetahui tapi meridhainya.”
Bukan dendam, tapi akhlak dan adab. Bukan kemarahan, tapi tanggung jawab sejarah. Dalam filsafat Heidegger dan Sadra, sejarah bukan ingatan masa lalu, tetapi kehadiran eksistensial yang memanggil pilihan. Ketika seseorang membaca kalimat ini, ia tidak hanya menjadi pembaca, tetapi saksi. Dan seorang saksi tak boleh bungkam. Sebab diam dalam kezaliman adalah bagian dari kezaliman itu sendiri. Abbas tidak meminta kita menangis, ia mengajak kita memilih. Di sisi siapa kita berdiri, dan untuk apa hidup ini layak diberikan.
Ziyārah Abbas bukan ritual. Ia adalah jendela ke dalam. Ia mengetuk ruang refleksi dan perenungan di balik semua sibuk dan diam kita. Ia bertanya: “Apakah engkau, wahai jiwa, telah menjadi nasihat bagi sesama? Apakah engkau telah menjadi taat kepada Kebenaran bukan karena takut, tetapi karena Cinta?.” Bukankah sebuah syair berkata,
Sebagaimana tak semua mata memiliki penglihatan,
Tak semua jiwa memiliki Cinta
Dan Kebenaran tanpa Cinta adalah tanpa makna
Sebagaimana Cinta tanpa Kebenaran adalah kenisbian
Dalam dunia yang lelah karena tipu daya, Abbas berdiri seperti bayang cahaya di tepi Eufrat. Ia tidak meneguk air karena tahu ada dahaga yang lebih suci daripada rasa haus. Ia memeluk bendera saudaranya walau harus bersimbah darah, karena nur. Ia tidak menyebut namanya, tetapi setiap orang yang mencintai makna akan menyebutnya, karena dalam dirinya ada pantulan cinta yang tak tertampung oleh waktu.

Ziyārah ini memanggil bukan hanya untuk ziarah, tetapi untuk menjadi tempat ziarah itu sendiri. Agar hati kita menjadi taman Abbas, agar langkah kita menjadi gema kesetiaannya. Sebab Abbas tidak pergi. Ia tinggal di setiap jiwa yang mencintai tanpa syarat, yang membela tanpa pamrih, yang memilih kebenaran walau harus mati untuknya. Abbas adalah sajak yang ditulis langit, dan kita diminta menjadi baitnya yang hidup.
Maka ketika kita berziarah, bukan hanya kata yang kita ucapkan, tetapi juga air mata yang mengalir, kerinduan yang mengetuk dada, dan keinginan untuk suatu hari bertemu dengannya. Tidak hanya di Karbala, tetapi dalam setiap keputusan di mana kita harus memilih: air atau nur, diri atau kebenaran. Dan semoga, ketika jiwa kita menoleh ke langit, Abbas menyambutnya dengan senyum dan berkata: “Engkau telah menasehati… dengan hidupmu, Engkau telah menorehkan janji perubahan… dengan tangismu, Engkau telah menyiapkan untuk mengorbankan segalanya demi Husain…. dengan segenap cita, cinta dan harapmu.”
Api Nush Dalam Jiwa
Kata nush (نُصْح) dalam bahasa Arab memuat kedalaman makna yang menyentuh inti relasi eksistensial antara manusia dan kebenaran. Ia bukan sekadar nasihat formal atau ujaran etis, melainkan ekspresi kejujuran niat dan kemurnian batin. Raghib al-Isfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menjelaskan:
النُّصْح: ضد الغِشّ، وهو: أن يُرادَ بالمنصوح له الخيرُ، قولا كان أو فعلا
“Nush adalah lawan dari ghisy (tipu daya). Ia berarti menghendaki kebaikan bagi orang yang dinasehati, baik dalam ucapan maupun perbuatan.“
Dengan demikian, nush adalah kejujuran niat yang tulus, tanpa pamrih tersembunyi, dan keinginan mendalam agar orang lain mendapatkan kebajikan sebagaimana yang diinginkan untuk diri sendiri. Dalam dimensi ini, nush lebih menyerupai sebuah laku spiritual ketimbang sekadar tindakan moral.
Dalam Lisān al-ʿArab, Ibn Manẓūr juga menegaskan makna tersebut:
النُّصْح: نقيض الغِشّ. نَصَح له يَنْصَحُ نُصْحاً ونَصاحةً: أخلَص له القولَ.
“Nush adalah lawan dari ghisy. Ia berarti memurnikan ucapan dan perbuatan bagi orang lain.“
Ia juga mencatat berbagai penggunaan metaforis dalam bahasa Arab klasik yang menggambarkan aspek pemurnian dan perbaikan:
ومنه قيل: نَصَحْتُ العَسَلَ، إذا صَفَّيْتَهُ، ونَصَحْتُ الثوبَ: خِطْتُهُ
“Dari sini digunakan ungkapan: nashaḥtu al-ʿasal (aku memurnikan madu) ketika menyaringnya dari kotoran; dan nashaḥtu al-thawb (aku menjahit pakaian) ketika memperbaikinya.“
Dengan demikian, nush bukan hanya memberi arahan, tetapi menyaring, menjahit, menyempurnakan—sebuah tindakan eksistensial yang menyentuh esensi orang lain dengan kesadaran akan keterikatan ruhani dan tanggung jawab etis.
Makna ini bersinergi dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis yang sangat fasih dan komprehensif:
الدِّينُ النَّصِيحَة قِيلَ: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَعَامَّتِهِم
“Agama adalah nashihah.” Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi menjawab: “Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk masyarakat umum.” (HR. Muslim)
Dalam al-Qur’an, kata nush sering muncul dalam konteks kenabian. Seperti halnya dalam ayat berikut:
وَإِنِّي لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
“Dan sungguh aku adalah pemberi nasihat yang terpercaya bagi kalian.” (QS al-Aʿrāf: 68)
Pernyataan ini menegaskan bahwa nush bukan sekadar urusan nasihat sosial, tetapi kesaksian eksistensial dari seorang rasul yang menjadi cermin kehendak ilahi. Ia hadir untuk memurnikan jiwa umat, membebaskan dari tipuan batin dan kepalsuan dunia.
Mulla Ṣadrā dalam kerangka filsafat hikmah mutaʿāliyah memaknai kebaikan dan tindakan batin seperti nush sebagai pancaran dari intensitas wujud (tashaddur al-wujūd). Dalam pandangannya, eksistensi memiliki derajat, dan tindakan seperti nush adalah emanasi dari eksistensi yang lebih tinggi kepada eksistensi yang lebih rendah. Nush menjadi bentuk partisipasi manusia dalam gerak ontologis menuju al-wujūd al-mutlaq (Kehadiran Absolut). Memberi nush berarti memanifestasikan hakikat: memperlihatkan cahaya kebenaran dari kedalaman batin kepada jiwa-jiwa lain yang sedang mencari jalan.
Dalam bingkai eksistensialisme Heideggerian, nush dapat dipahami sebagai Zuhandenheit—kehadiran yang bukan sekadar objek tetapi alat untuk eksistensi autentik. Ketika seseorang memberi nush, ia membuka kemungkinan bagi Dasein lain untuk melangkah ke otentisitas, untuk keluar dari kejatuhan (Verfallen) menuju keterbukaan terhadap kebenaran (aletheia).
Psikologi spiritual al-Ghazālī melihat nush sebagai laku pensucian hati (tazkiyat an-nafs). Dalam Iḥyā’ ʿUlūm ad-Dīn, beliau menekankan bahwa nasihat yang benar hanya bisa muncul dari hati yang telah bersih dari riya’, ujub, dan cinta dunia. Orang yang belum mengobati dirinya dari penyakit batin akan mudah menyisipkan motif tersembunyi bahkan dalam nasihat yang tampak ikhlas. Karena itu, nush menurut Ghazali adalah juga latihan ruhani, pembersihan intensionalitas.
Dalam psikologi analitik Carl Jung, nush dapat ditafsirkan sebagai bentuk individuasi, proses pencapaian keutuhan kepribadian. Ketika seseorang memberi nush, ia berpartisipasi dalam penyatuan antara bayangan dan cahaya dalam diri dan orang lain, membantu individu lain mendekati Self sebagai totalitas jiwa.
Motivasi nush dalam konteks gerakan Imam al-Husain bukan semata ajakan sosial, tetapi wujud tertinggi dari kesetiaan ontologis kepada Kebenaran. Ketika dalam ziarah Abal-Faḍl al-ʿAbbās disebut:
أَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ نَصَحْتَ للهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَخِيكَ
“Aku bersaksi bahwa engkau sungguh telah memberikan nush kepada Allah, Rasul-Nya, dan saudaramu.“
Maka ini bukan hanya kesaksian etis, tetapi pengakuan atas kesempurnaan eksistensialnya. Abbas telah menjadi cermin dari nush sejati, melepaskan seluruh keterikatan dirinya dan memurnikan kehadirannya dalam sejarah demi satu tujuan: kebenaran. Ia bukan hanya berkata benar, tetapi menjadi kebenaran itu sendiri. Ia menyatu dengan sabda, cinta, dan pengorbanan dalam satu gerak ontologis.
Dalam pandangan dialektika Hegelian, nush adalah antitesis terhadap kebekuan moral dunia. Ia menciptakan tegangan antara tatanan lama yang mapan dengan kebenaran batin yang menuntut aktualisasi. Ketika nush diucapkan oleh para nabi atau para syuhada seperti Abbas, maka ia bukan sekadar narasi tetapi peristiwa sejarah yang menembus zaman. Ia mengguncang status quo dan memanggil lahirnya sintesis baru: masyarakat yang beradab, ruhani, dan sadar akan makna pengorbanan.
Demikian, kata nush memuat lapisan makna linguistik, spiritual, eksistensial, dan historis sekaligus. Ia adalah percikan dari samudera keikhlasan, pantulan dari wajah Tuhan di hati para pecinta. Ia tidak bisa dipalsukan, tidak bisa dimanipulasi, karena ia bukan sekadar ucapan, melainkan denyut hakikat yang telah menjadi cahaya. Abbas telah menunjukkannya. Husain telah mewariskannya. Dan setiap pecinta kebenaran dipanggil untuk menyalakan api nush di dalam jiwa mereka. Sebagaimana Abbas, Cintanya pada Nur Muhammad Saw yang ada pada Husain adalah bak Api, maka ia rela seluruh tubuhnya meluruh menjadi abu dan seluruh eksistensinya menjadi nush (nasehat murni) bagi semesta, maka apakah kita telah siap menjawab Panggilan Ilahi bak Abbas?
Wa maa taufiiqii illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Jakarta, 16 Muharram 1447 H
