
Siapakah ia yang syahid di Hari ‘Arafah? Kisah hidup Muslim bin ‘Aqil sebelum diangkat sebagai wakil Imam al-Husain di Kufah masih tersisa dalam catatan sejarah yang tersebar dan tidak lengkap. Namun, beberapa peristiwa penting tetap tercatat dan memiliki makna besar dalam konteks peristiwa Karbala.
Salah satu peristiwa yang tercatat adalah keikutsertaan Muslim dalam penaklukan wilayah Afrika Utara pada tahun 21 H / 641–642 M. Ia, bersama saudara-saudaranya seperti Ja’far dan ‘Ali, turut serta dalam penaklukan kota al-Bahnasa di Mesir. Selain itu, beberapa sumber sejarah juga menyebut keterlibatan Muslim dalam Perang Shiffin—konflik besar antara pasukan Imam Ali dan Mu’awiyah—yang menegaskan loyalitasnya terhadap Ahlulbait sejak awal.
Muslim bin ‘Aqil turut menyertai Imam Husain saat meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Ketika surat-surat dari penduduk Kufah membanjiri Imam dengan ajakan agar datang dan memimpin mereka melawan kekuasaan Yazid, Imam al-Husain mengutus Muslim untuk memverifikasi kesungguhan mereka dan menilai kondisi di sana. Menurut riwayat lain, Imam juga mengirim Qays bin Mushir al-Saydawi, ‘Amarah bin ‘Abd al-Saluli, dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd Allah al-Arhabi bersama Muslim, dengan pesan agar ia berhati-hati, menyembunyikan misinya, bersikap sabar, dan bila melihat kesatuan umat, segera memberitahukan Imam.
Muslim berangkat dari Mekkah pada tanggal 15 Ramadan 60 H / 19 Juni 680 M. Ia terlebih dahulu menuju Madinah dan mengatur dua pemandu untuk perjalanan ke Kufah. Tujuan awal ke Madinah tampaknya untuk menyamarkan misinya. Namun, dalam perjalanan, mereka tersesat di padang pasir. Kedua pemandu meninggal karena kelaparan dan kehausan, sementara Muslim selamat dan tiba di sebuah oasis. Ia mengirim pesan kepada Imam agar membatalkan misinya, menganggap kejadian tersebut sebagai pertanda buruk. Namun, Imam al-Husain tetap memintanya untuk melanjutkan perjalanan. Menurut pengisahan dari Ayatullah Jawadi ‘Amuli, Said bin ‘Abdullah Al-Hanafi, salah satu yang mengantar surat-surat terakhir dari Kufah juga memandu Muslim bin ‘Aqil, dan Said juga mengantarkan surat dari Muslim bin ‘Aqil pada Imam Husain as sebelum akhirnya Said bergabung dengan Imam Husain ke Karbala dan syahid di Karbala pada hari Asyura.
Muslim tiba di Kufah pada 5 Syawwal / 9 Juli, dan tinggal di rumah Mukhtar bin Abi ‘Ubayd, atau menurut riwayat lain, di rumah Muslim bin ‘Awsajah. Para pengikut Imam Husain as secara aktif mengunjungi rumah tempat Muslim tinggal, di mana ia membacakan surat Imam Husain kepada mereka.
Dalam waktu singkat, Muslim mulai menerima baiat dari penduduk Kufah atas nama Imam al-Husain as. Isi baiat tersebut mencerminkan ajaran Ahlulbait: kesetiaan kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi, melawan kezaliman, membela yang tertindas, menolong kaum miskin, dan mendukung perjuangan Ahlulbait.

Jumlah orang yang berbaiat kepada Muslim disebutkan bervariasi: 12.000, 18.000, bahkan 30.000 orang, tergantung sumbernya. Namun, beberapa peneliti modern meragukan jumlah ini. Dari estimasi populasi Kufah kala itu yang mencapai lebih dari 60.000 laki-laki yang mampu berperang, jumlah pendukung Muslim hanya sekitar sepertiganya. Meski begitu, jumlah tersebut dianggap cukup untuk mendukung keputusan Imam Husain berangkat ke Kufah.
Pada tanggal 11 Dzulqa’dah / 13 Agustus, Muslim mengirim surat kepada Imam Husain, melaporkan besarnya dukungan masyarakat Kufah dan mengundangnya untuk datang. Surat ini menjadi dasar penting dalam keputusan Imam menuju Kufah.
Pada saat Muslim tiba, gubernur Kufah adalah Nu‘man bin Basyir, yang dikenal lembut dan cenderung menghindari kekerasan. Namun, para pendukung Yazid seperti ‘Umar bin Sa‘d dan Muhammad bin al-Asy’ats mengirim surat ke Syam, menyatakan bahwa Nu‘man terlalu lemah. Akhirnya, Yazid menunjuk Ubayd Allah bin Ziyad—gubernur Basrah yang terkenal bengis—untuk menggantikannya.
Kedatangan Ibn Ziyad mengubah segalanya. Ia menekan para kepala suku untuk menarik dukungan dari Muslim, dengan ancaman kekerasan dan perampasan harta. Akibatnya, Muslim harus meninggalkan tempat persembunyiannya dan berpindah ke rumah Hani bin ‘Urwah, seorang tokoh Syiah yang berani memberikan perlindungan, meski dengan risiko besar.
Dalam satu riwayat terkenal, Sharik bin al-A‘war—sahabat Imam Ali yang sedang sakit di rumah Hani—menyarankan agar Muslim membunuh Ibn Ziyad saat ia datang menjenguk. Namun, Muslim menolak karena Hani tidak ingin rumahnya ternodai darah, dan karena adanya hadits Nabi yang melarang pembunuhan secara mendadak. Beberapa sejarawan modern meragukan keaslian kisah ini. Namun demikian, dalam pengisahan maqtal Al-Husain as , kejadian ini menjadi menarik yang menunjukkan keksatriaan Muslim serta ketaatan Muslim pada Kanjeng Nabi saw , sehingga tidak mau mengambil kesempatan untuk membunuh Ibn Ziyad dengan cara membokongnya.
Ibn Ziyad mengutus mata-mata bernama Ma’qil untuk mencari lokasi Muslim. Setelah informasi terkumpul, ia memanggil Hani dan memaksanya menyerahkan Muslim. Ketika Hani menolak, ia ditangkap. Mendengar kabar tersebut, Muslim memimpin pemberontakan. Sekitar 4.000 orang berkumpul meneriakkan “Yā Manṣūr, Amīt!” (Wahai yang menang, hantamlah!). Mereka mengepung istana Ibn Ziyad.
Namun, Ibn Ziyad memainkan strategi politik. Ia mengirim para tokoh Kufah untuk membujuk dan menakut-nakuti massa dengan ancaman pasukan Syam. Perlahan, semangat pemberontakan meredup dan satu per satu mereka meninggalkan Muslim hingga ia sendirian pada malam hari.
Muslim lalu bersembunyi di rumah seorang wanita bernama Taw‘a. Namun, putra wanita tersebut melaporkan keberadaan Muslim kepada pemerintah. Ibn Ziyad mengirim pasukan untuk menangkapnya. Setelah pertempuran singkat, Muslim menyerah setelah dijanjikan keselamatan oleh Muhammad bin al-Asy’ats. Namun, janji itu dilanggar. Setelah perdebatan panjang, Ibn Ziyad memerintahkan eksekusinya.
Muslim dibawa ke atap istana dan dipenggal. Tubuhnya dilempar dari atas gedung. Dalam detik-detik terakhirnya, Muslim berwasiat pada Umar bin Sa’ad agar Imam Husain tidak melanjutkan perjalanannya ke Kufah, agar jasadnya dikuburkan, dan agar utangnya dibayar dengan menjual pedang serta barang-barang miliknya. Namun, berdasarkan buku Karbala (Munfarid & Alamdar), Umar bin Sa’ad malah menceritakan wasiat Muslim agar Imam Husain as tidak melanjutkan perjalanannya ke Kufah pada Ubaidillah bin Ziyad.
Setelah itu, Ibn Ziyad juga memerintahkan pembunuhan Hani bin ‘Urwah, dan kepala mereka dikirim ke Syam sebagai hadiah kepada Yazid bin Muawiyah.
Berikut di bawah ini adalah narasi Syahadah Muslim bin ‘Aqil yang dikutip dari buku Jalan Cinta. Semoga menambah hikmah ‘Arafah. Dan melalui berwasilah pada Muslim bin ‘Aqil dan Hani bin ‘Urwah semoga kita beroleh kecintaan pada Imam Husain as dan keluarganya as dan sahabatnya as. Dan melalui cinta pada Nabi saw dan keluarganya yang suci as yang diwujudkan dalam kesedihan abadi dan tangis abadi bagi Al Husain as dan keluarganya as dan sahabatnya as dan para Ahli Karbala as, semoga kita beroleh derajat wa fadaynaahu bi dzibhin ‘azhiim (“dan Kami gantikan ia dengan sembelihan yang agung”).
Muslim bin Aqil ra adalah syahid pertama di Karbala. Di samping sebagai sahabat, ia juga termasuk keluarga Imam al-Husain as. Tentang dirinya, Imam Ali pernah bertanya kepada Rasulullah, “Apakah engkau mencintai Aqil?” Rasulullah menjawab, “Ya. Aku mencintainya karena dua hal: pertama, karena aku mencintai Abu Thalib; dan kedua, karena Muslim putra Aqil akan terbunuh dalam kecintaannya kepada putramu, Al-Husain. Air mata orang beriman akan mengalir untuk Muslim dan para malaikat mengucapkan salam untuknya.”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Aku mengadukan kepada Allah Swt tentang berbagai musibah yang akan menimpa keluargaku sepeninggalku.” Rasulullah menangis tersedu-sedu sampai air matanya menetes ke dadanya.
Derajat Muslim tak terukur. Ia dididik oleh pamannya, Imam Ali bin Abi Thalib as. Berkenaan dengannya, Imam al-Husain as, dalam suratnya kepada penduduk Kufah, berkata, “Aku mengirim ke hadapanmu saudara sepupuku yang aku percayai.”41 Dari pernyataan Imam al-Husain ini, dapat disimpulkan bahwa derajat Muslim mendekati derajat manusia suci.42
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa menangis untuk Muslim bin Aqil termasuk perintah agama. Ini karena Rasulullah menangis untuknya ketika ditanya oleh Imam Ali as tentang Muslim bin Aqil. Penduduk langit juga menangisinya.
Muslim bin Aqil, dengan seluruh keagungannya, adalah seorang wali Allah yang betul-betul telah mencapai derajat wali karena cintanya kepada Imam al-Husain as. Ia memiliki pancaran keberkahan dan kemampuan insani yang sangat besar. Ketika ia diutus oleh Imam al- Husain as, ia sudah berhasil mengambil baiat dari 18 ribu orang untuk Imam al-Husain as. Ini berarti dia sangat cakap. Ubaidillah bin Ziyad pun terpaksa harus mendatangi Kufah lalu mengumpulkan para pemimpin di sana dan mengancam orang-orang yang sudah berbaiat kepada Muslim, sehingga mereka membatallan baiat mereka. Kemudian anggota-anggota pasukan Muslim ini menghilang satu demi satu.

Hilangnya Baiat
Kedudukan Muslim di sisi penghulu para syuhada, Imam al-Husain as, adalah seperti kedudukan Abul Fadhl Abbas, Ali Akbar, dan Qasim. Muslim mempunyai buku ziarah yang serupa dengan buku ziarah Abul Fadhl Abbas.
Perlu diketahui bahwa hari ketika Muslim keluar untuk berperang adalah hari Tarwiyah, yaitu tanggal 8 Dzulhijjah, saat tersiar kabar bahwa Hani telah terbunuh di tangan Ubaidillah. Muslim yang ketika itu tengah berada di rumah Hani, keluar bersama sekelompok orang dan berkumpul di seputar istana Ubaidillah. Para kaki tangan Ubaidillah menakut-nakuti mereka dengan mengatakan, “Pasukan dari Syam sebentar lagi memasuki kota.”
Perlahan-lahan kumpulan itu tercerai-berai. Sebagian wanita datang menarik tangan anak-anak mereka dan membawanya pergi sambil berkata, “Apa hubungan kita dengan fitnah ini?” Pada saat Muslim bin Aqil melaksanakan shalat Maghrib, hanya tersisa 30 orang yang ikut shalat bersamanya. Saat Muslim bin Aqil keluar dari masjid, tidak ada seorang pun yang tersisa.
Muslim bin Aqil berkeliling di jalan-jalan kota Kufah, tidak tahu harus pergi ke mana. Akhirnya, langkahnya terhenti di depan pintu sebuah rumah dan ia melihat seorang wanita tua sedang duduk menunggu anak laki-lakinya. Muslim mengucapkan salam kepada wanita tua itu, dan meminta air kepadanya. Wanita tua yang bernama Thaw’ah itu memberinya air dan Muslim meminumnya, namun ia tidak beranjak dari tempat itu.
Thau’ah bertanya, “Mengapa engkau tidak pergi?” Pada pertanyaan pertama dan kedua, Muslim diam tidak menjawab. Hingga ketika Thaw’ah berkata kepadanya, “Bangun dan pulanglah ke rumahmu! Jangan diam di sini!” maka Muslim berkata kepadanya, “Saya orang asing di kota ini, tidak punya rumah.”
Wanita tua itu bertanya, “Siapa Anda?”
Muslim menjawab, “Saya Muslim bin Aqil. Apakah engkau mau mem- bantu saya, hingga nanti di akhirat engkau akan mendapat ganjarannya? Sekelompok orang telah berbaiat kepadaku, namun kemudian mereka membatalkan baiat dan meninggalkanku sendirian.”
Thau‘ah menyediakan sebuah kamar dan menyiapkan makan malam bagi Muslim, namun dia tidak memakannya. Bilal, putra Thau’ah, masuk ke rumah dan bertanya kepada ibunya tentang siapa yang berada di dalam kamar. Thau‘ah meminta anaknya berjanji untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun bahwa Muslim bin Aqil ada di rumahnya.
Selama semalam suntuk hingga subuh, Muslim bin Aqil dalam keadaan berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Thau’ah berkata, “Aku mengambilkan air untuk Muslim supaya dia dapat berwudhu dan mengerjakan shalat Shubuh.” Semenara itu, Muslim bercerita, “Aku tertidur sejenak. Dalam tidur, aku bermimpi melihat pamanku Amirul Mukminin as berkata, ‘Cepat! Cepat!’ Aku paham bahwa akhir kehidupanku akan segera tiba.”
Sebelum azan Shubuh, Bilal, putra Thau‘ah, telah memberitahu kaki tangan Ubaidillah bahwa Muslim bin Aqil berada di rumahnya.47 Sementara itu, Muslim bin Aqil mengambil wudhu dan mengerjakan shalat Shubuh. Ketika ia sedang khusyuk berdoa, ia mendengar suara telapak kaki kuda di luar rumah. Thau‘ah berkata, “Sepertinya engkau telah siap untuk mati.” Muslim menjawab, “Benar! Engkau telah berbuat baik kepadaku. Pahalanya akan engkau peroleh dari syafaat Rasulullah.”
Pada saat itu, tiga ratus pasukan sudah mengepung di depan pintu rumah Thaw’ah. Sebagian dari mereka masuk ke dalam rumah. Lantaran khawatir rumah akan dirusak, Muslim bin Aqil memaksa keluar beberapa orang yang telah masuk ke dalam rumah. Akhirnya, terjadilah pertempuran yang sangat sengit.
Ketangguhan Muslim bin Aqil dan Tipu Daya Musuh
Muslim bin Aqil berhasil membunuh 41 orang dari mereka. Muslim begitu kuatnya, sehingga ia dapat memegang salah seorang dari mereka dan melemparkannya ke atap rumah.
Ibn Asy‘ats mengirim pesan kepada Ibn Ziyad bahwa Muslim bin Aqil telah menimbulkan banyak korban sehingga diperlukan bantuan pasukan kavaleri dan infanteri. Dalam jawabannya, Ibn Ziyad berkata, “Semoga ibumu berduka lantaran kematianmu. Bagaimana seandainya aku mengirimmu ke medan perang melawan musuh yang lebih tangguh darinya (yakni, Imam al-Husain as)?”
Ibn Asy‘ats menulis dalam surat jawabannya, “Anda kira Anda mengirimku kepada seorang pedagang sayur kota Kufah?! Muslim adalah seorang pahlawan pemberani, mempunyai pedang yang tajam, dan singa yang tidak mempunyai rasa takut.” Ibn Ziyad pun terpaksa mengirim pasukan tambahan untuk membantu Ibn Asy‘ats dan berkata, “Gunakan tipu daya dalam menghadapinya, karena dengan cara lain engkau tidak akan bisa melawannya.”
Tentang hal ini, Almarhum Thuraihi menulis:
Mereka membuat tipu daya dengan cara menggali lubang yang dalam, lalu permukaan lubang itu ditutup dan diberi tanah. Kemudian mereka mundur perlahan ke arah lubang itu dan memancing Muslim ke sana. Akhirnya, Muslim terjatuh ke dalam lubang dan mereka segera mengepungnya. Ibn Asy‘ats menyabetkan pedangnya ke wajah Muslim, lalu menawannya, melucuti pedangnya dan mendudukkannya ke atas kuda.

Wasiat Muslim bin Aqil
Ketika diancam akan dibunuh oleh Ibn Ziyad, Muslim berkata, “Beri aku waktu untuk menyampaikan pesan.” Kemudian Muslim mendatangi Umar bin Sa’ad dan berkata, “Aku punya hubungan kekerabatan denganmu. Aku ingin mengatakan sesuatu yang bersifat rahasia dan merupakan wasiat bagimu.” Pada mulanya Umar bin Sa‘ad menolak, namun Ibn Ziyad berkata, “Penuhi keinginannya!”
Lalu kedua orang itu pergi ke suatu sudut ruangan, sementara Ibn Ziyad memperhatikan dari kejauhan. Muslim berkata, “Aku punya utang 700 dirham di kota Kufah, tolong bayarkan dengan uang yang aku punya di Madinah. Kemudian bawalah jenazahku dan kuburkan. Satu lagi, kirimkan pesan kepada Imam al-Husain as agar dia kembali.”
Umar bin Sa‘ad membongkar pembicaraan rahasia itu. Seluruh isi pembicaraan tersebut ia beritahukan kepada Ibn Ziyad. Maka Ibn Ziyad
berkata, “Orang yang dapat dipercaya tidak akan berkhianat. Namun terkadang orang yang berkhianat dianggap orang yang dapat dipercaya. Hartamu adalah milikmu. Jika Al-Husain tidak datang kepada kami, maka kami tidak punya urusan dengannya. Namun, jika ia menginginkan kami maka kami tidak akan melepaskannya. Adapun pesanmu berkenaan dengan jenazahmu tidak dapat kami kabulkan.”
Menjemput Syahadah
Mengenai pembunuhan terhadap Muslim bin Aqil, Al-Mas‘udi menuturkan seperti berikut:
Muslim bin Aqil dibawa ke atas atap. Lalu kepada Ahmara, yang telah mendapat luka sabetan pedang dalam duelnya dengan Muslim, diperintahkan untuk menebas leher Muslim bin Aqil.
Ahmara bercerita, “Ketika Muslim dibawa ke atas atap gedung, aku dengar ia membaca tasbih, beristigfar, dan bershalawat kepada Rasulullah.”
Kemudian, Ahmara memenggal leher Muslim. Setelah itu, dia berlari ketakutan dan jatuh di hadapan Ibn Ziyad. Ubaidillah bin Ziyad bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?” Ahmara menjawab, “Ketika aku hendak membunuhnya, aku melihat seseorang bermuka hitam berdiri di sampingku, dan gigi-gigi taring keluar dari bibirnya. Aku belum pernah merasa ketakutan seperti ini sebelumnya.”
Tubuh Muslim bin Aqil dilemparkan dari atas atap istana ke tanah.55 Lalu kepala Muslim bin Aqil—dan Hani—dikirim ke Damaskus. Sementara tubuh kedua orang ini, setelah diseret di gang-gang kota Kufah, dilemparkan ke tempat sampah di dekat Masjid Kufah.56 Kemudian, istri Maitsam Tammar secara sembunyi-sembunyi menguburkan kedua tubuh tersebut pada malam hari di salah satu sudut masjid.
Karena sangat rindu kepada Allah Swt, mereka tidak merasakan sakitnya sabetan pedang dan tikaman tombak. Amirul Mukminin as berkata, “Mereka tidak merasakan sakitnya sabetan pedang.”57 Allah Swt langsung yang mencabut nyawanya (bukan Malaikat Izrail). Berdasarkan hadis dari Ummu Aiman, Jibril as berkata kepada Rasulullah, “Ketika kelompok ini sampai ke tempat pertempuran, Allah Swt sendiri yang langsung mencabut nyawa mereka.” Mereka dapat menyaksikan kediaman mereka di surga sebelum kematian menjemput, sebagaimana disebutkan dalam Ziarah Nahiyah Muqaddasah, “Aku bersaksi, sungguh Allah telah melepaskan tirai dari penglihatan matamu, menyiapkan tempatmu dan melimpahkan karunia yang banyak kepadamu.”
Hanya para sahabat Imam al-Husain as di Karbala yang tahu bahwa mereka pasti terbunuh pada malam Asyura. Pada malam itu, mereka minum air yang keluar dari sela-sela jari-jemari Imam al-Husain as. Sudah barang tentu air itu lebih segar daripada air telaga.
Melalui cinta yang tulus kepada Imam al-Husain as dan para sahabatnya as serta berlepas diri (tabarri’) dari musuh-musuhnya, kita bisa merasakan nikmat agung walâyah ilâhiyyah: bersedih dengan kesedihan keluarga Nabi, berbahagia dengan kebahagiaan keluarga Nabi, mencintai siapa pun yang dicintai keluarga Nabi, dan membenci siapa pun yang dibenci oleh keluarga Nabi.
Demikianlah Syahadah Muslim dan Hani sesungguhnya tragedi awal yang membuka jalan menuju peristiwa besar Karbala. Pengkhianatan penduduk Kufah, keberanian Muslim bin ‘Aqil, serta kekejaman pemerintahan Umayyah menjadi potret gelap dari sejarah perjuangan Ahlulbait yang tetap dikenang hingga kini.
Assalamu’alal Husain
Wa ‘ala ‘Aliyyibnil Husain
Wa ‘ala aulaadil Husain
Wa ‘ala ashhaabil Husain
Selamat Iedul Adha, mohon maaf lahir dan batin! Semoga beroleh hikmah ‘Arafah, semoga beroleh pahala dzibhin ‘azhiim melalui Cinta pada Nabi saw dan keluarganya yang suci as.
Shalawat!
Referensi:
1). Buku Jalan Cinta,
2). Buku Karbala, Munfarid & Alamdar,
3). Ceramah Ayatullah Jawadi Amuli, 4) WIkishia

ألسلام علي الحسين، و علي علي بن الحسين، و علي ألا د الحسين، و علي أصحاب الحسين