Khazanah

Filosofi Akal: Jalan Terang Menuju Kebenaran

Oleh Mohammad Adlany, Ph. D, Anggota Dewan Syura IJABI

Apa yang membedakan manusia dari makhluk lainnya? Jawaban yang paling sering disebut adalah akal. Tapi, apa sebenarnya akal itu? Dari mana asal kekuatannya? Dan mengapa sepanjang sejarah, para filsuf begitu terpesona oleh perannya?

Dalam artikel ini, kita akan menyelami filosofi akal secara sederhana namun mendalam. Tujuannya adalah mengenalkan kembali salah satu anugerah paling luar biasa yang dimiliki manusia: akal sebagai cahaya penuntun dalam memahami kehidupan, alam semesta, bahkan Tuhan itu sendiri.

Apa itu akal? Secara umum, akal sering dimaknai sebagai kemampuan berpikir, menimbang, memahami, dan membedakan. Namun dalam filsafat, akal tidak sesederhana itu.

Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra menyebut akal sebagai kekuatan jiwa yang bersifat spiritual, bukan sekadar proses biologis dalam otak. Akal bukan hanya alat berpikir, tapi juga jembatan antara manusia dan realitas yang lebih tinggi.

iklan

Mengapa akal itu penting?

1. Pemandu kebenaran. Akal digunakan untuk membedakan yang benar dari yang salah. Tanpanya, manusia akan mudah terjebak dalam takhayul, emosi, atau kebohongan.

2. Pilar pengetahuan. Dalam semua tradisi filsafat, akal dianggap sebagai fondasi utama dalam membangun ilmu pengetahuan. Bahkan dalam Islam, wahyu selalu disandingkan dengan akal, bukan dipertentangkan.

3. Alat kontemplasi spiritual. Bagi banyak filsuf Muslim, akal bukan hanya alat berpikir logis, tapi juga instrumen untuk merenungi keberadaan Tuhan dan makna hidup. Seperti yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib as, “Akal adalah pokok agama, dan agama tidak akan tegak tanpa akal.”

Pertanyaan klasik dalam filsafat Islam adalah: apakah akal bisa berdiri sendiri dalam mencari kebenaran, atau harus dibimbing oleh wahyu?

Al-Ghazali meyakini bahwa akal perlu bimbingan wahyu agar tidak tersesat. Namun, tokoh seperti Ibn Sina dan Mulla Sadra percaya bahwa akal mampu memahami kebenaran-kebenaran metafisik, meski akhirnya wahyu datang untuk menyempurnakan pemahaman itu.

Dalam pandangan moderat, akal dan wahyu bukan lawan, melainkan dua cahaya yang saling melengkapi. Wahyu menyinari jalan, dan akal memantulkan cahayanya agar bisa dipahami manusia.

Dalam filsafat moral, akal sering digambarkan sebagai pemimpin dalam diri manusia. Tapi ada satu tantangan besar: nafsu.

Akal mengajak pada kebaikan, sedangkan nafsu sering menggoda pada kesenangan sesaat. Filosofi akal juga bicara tentang bagaimana manusia harus mengendalikan hawa nafsunya agar akal tetap menjadi penguasa batin, bukan budak dari hasrat duniawi.

Di zaman sekarang, akal masih dihargai, tapi juga sering dikaburkan oleh arus informasi, algoritma media sosial, dan opini tanpa dasar. Akal tidak lagi difungsikan untuk kontemplasi dan pencarian kebenaran, tapi sekadar untuk membenarkan pendapat sendiri.

Karena itu, kita perlu kembali ke filosofi akal: menjadikannya cahaya batin, bukan sekadar alat berpikir cepat. Akal yang jernih adalah akal yang jujur, terbuka, dan haus pada makna, bukan sekadar data.

Filosofi akal mengajarkan bahwa kekuatan terbesar manusia bukan di ototnya, bukan pula pada hartanya, melainkan pada kemampuannya untuk merenung, memahami, dan mencari kebenaran. Akal adalah cermin diri, dan juga jembatan menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Kita perlu menghidupkan kembali peran akal—bukan hanya dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam menimbang tindakan, dan dalam mencari makna sejati hidup ini.

ā€œSesungguhnya tanda orang berakal adalah siapa yang mengenal dirinya, dan siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.ā€ — Imam Jaā€˜far al-Shadiq (Kitab Al-Kafi, juz 1, hlm. 40)

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button