Uncategorize

Pralaya

Oleh Abdul Karim 

“Di tengah reruntuhan, ada tubuh-tubuh yang tidak hanya kehilangan napas, tetapi juga kehilangan hak untuk disebut hidup.”

Kematian 1.373 warga Palestina yang dilaporkan saat menunggu bantuan kemanusiaan di Gaza bukan sekadar deretan angka tragis. Angka-angka itu adalah potret paling telanjang dari sebuah tatanan kekuasaan yang mengatur kehidupan dan kematian secara sistematis. Sejak akhir Mei 2025, setiap antrian panjang untuk bantuan bukan lagi simbol harapan, tetapi perpanjangan dari sebuah struktur kekerasan yang telah menjadikan tubuh manusia sebagai objek dalam permainan kuasa. Di titik inilah kita menyaksikan pralaya, bukan hanya sebagai kehancuran fisik, melainkan sebagai kehancuran makna tentang kemanusiaan itu sendiri.

Distribusi bantuan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang diklaim netral namun didukung oleh kekuatan politik tertentu memperlihatkan paradoks tajam: kemanusiaan dipamerkan, tetapi pada saat yang sama dimanipulasi. Antrian panjang warga Gaza menjadi panggung di mana kekuasaan menentukan siapa yang akan menerima seteguk air atau sekadar kesempatan untuk bertahan hidup. Namun, panggung itu juga berubah menjadi ladang eksekusi ketika peluru menembus kerumunan orang-orang lapar. Dalam lanskap ini, bantuan bukan lagi sekadar logistik; ia menjadi alat biopolitik yang menentukan nilai sebuah nyawa.

Narasi resmi yang muncul ke permukaan pun tidak pernah bebas dari kepentingan. Kisah tentang distribusi bantuan, tentang netralitas, tentang keamanan, dibangun di atas fondasi bahasa yang telah diatur sedemikian rupa untuk menyingkirkan satu fakta sederhana: bahwa di balik kata-kata itu ada tubuh-tubuh yang dibiarkan jatuh tanpa daya. Representasi tentang Gaza, tentang penduduknya yang “menunggu bantuan,” secara diam-diam membentuk sebuah geografi imajinatif di mana mereka tidak lagi dilihat sebagai subjek penuh, melainkan sebagai massa anonim yang bisa diatur, dipindahkan, atau bahkan dihapus.

iklan

Pralaya di Gaza bukan hanya runtuhnya bangunan atau kematian ribuan orang; ini adalah kehancuran tatanan simbolik yang membuat kita bertanya: apakah yang tersisa dari kemanusiaan ketika kehidupan ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang tidak terlihat namun begitu nyata? Ketika titik distribusi bantuan menjadi titik penembakan, kita menyaksikan bagaimana tubuh manusia bukan hanya dibiarkan mati, tetapi dijadikan pesan. Pesan itu tidak pernah ditulis dalam kata-kata, tetapi dalam luka, darah, dan ketakutan kolektif.

Sumber gambar : https://pin.it/2TWqUvfvT

Setiap peluru yang ditembakkan ke arah antrian bantuan adalah bentuk disiplin paling telanjang. Bukan sekadar menghukum, tetapi mengatur kehidupan melalui ketakutan, mengontrol pergerakan melalui ancaman, dan memaksa orang untuk tunduk pada logika kekuasaan yang mengatakan: hidupmu bukan milikmu. Dalam sistem seperti ini, tubuh tidak lagi dipandang sebagai entitas yang memiliki martabat, melainkan sebagai objek yang bisa diatur, dipatahkan, atau dibiarkan hancur sesuai kebutuhan politik.

Di sisi lain, narasi besar yang membungkus semua ini selalu datang dengan klaim netralitas dan kemanusiaan. Distribusi bantuan yang tidak berkoordinasi dengan lembaga internasional diklaim sebagai tindakan cepat, sebagai upaya penyelamatan. Tetapi di balik klaim itu ada sebuah relasi kuasa yang lebih dalam: siapa yang mendefinisikan bantuan, siapa yang mengatur distribusi, dan siapa yang diuntungkan dari citra kemanusiaan yang dibangun di atas penderitaan. Dalam logika ini, bantuan kemanusiaan berubah menjadi instrumen hegemoni.

Lebih dari 60.000 jiwa telah hilang sejak konflik memanas pada 2023, namun angka-angka itu nyaris kehilangan daya kejutnya di hadapan dunia. Ketika kematian menjadi rutin, pralaya tidak lagi hanya sebuah peristiwa besar; ia berubah menjadi ritme harian yang merayap di setiap sudut Gaza. Ini bukan sekadar krisis; ini adalah normalisasi dari kehancuran, sebuah kondisi di mana dunia belajar menerima kebrutalan sebagai bagian dari kehidupan biasa.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada lagi batas tegas antara perang dan damai, antara bantuan dan kontrol, antara hidup dan mati. Semuanya bercampur menjadi satu lanskap abu-abu di mana setiap tindakan yang disebut “kemanusiaan” selalu memiliki bayang-bayang politik di belakangnya. Di sini kita belajar bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui ledakan bom atau pidato perang, tetapi juga melalui karung gandum, air bersih, dan daftar penerima bantuan.

Namun, pralaya tidak hanya berbicara tentang kehancuran; ia juga membuka celah refleksi tentang apa yang bisa dibangun kembali. Di balik reruntuhan, masih ada pertanyaan yang mendesak: apakah kita mampu membayangkan tatanan baru di mana tubuh-tubuh manusia tidak lagi menjadi objek kontrol? Apakah kita mampu memulihkan makna kemanusiaan yang telah dihancurkan oleh logika kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar retorika; mereka adalah tuntutan moral yang muncul dari setiap luka yang belum sempat mengering di tanah Gaza.

Di tengah semua ini, satu hal menjadi jelas: pralaya di Gaza bukan hanya tragedi satu bangsa; ia adalah cermin yang memantulkan wajah dunia. Wajah yang, entah sadar atau tidak, ikut terlibat dalam jaringan kekuasaan yang memungkinkan penderitaan ini terus berlangsung. Selama kita masih melihat kemanusiaan sebagai alat politik, selama kehidupan bisa dinegosiasikan di meja kekuasaan, maka pralaya tidak akan berhenti di Gaza. Ia akan menemukan panggung baru, tubuh baru, dan narasi baru.

Dan ketika dunia kembali berbicara tentang bantuan, tentang gencatan senjata, tentang resolusi, kita perlu bertanya dengan suara yang tidak bisa diabaikan: apakah kita sedang menyelamatkan kehidupan, atau hanya sedang mengatur kematian dengan cara yang lebih rapi?

Daftar Pustaka

Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Translated by Alan Sheridan. New York: Knopf Doubleday, 2012.
Said, Edward W. Orientalism. London: Penguin, 1978.

Abdul Karim
+ posts

Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button