KhazanahUncategorize

Menyatu Dalam Cahaya Yang Sama

(Puisi Refleksi Sunni dan Syiah – Seri 5)

Oleh Ahmad M. Sewang

Jikalah Katolik dan Protestan bisa berdamai,

mengapa kita—yang bersyahadat sama berkiblat sama dan Al-Qur’an sama—masih bersilang tanpa usai?

Jika di Barat lonceng dan kidung bisa berdampingan,

mengapa azan dan zikir kita masih saling mempertanyakan?

iklan

Sunni dan Syiah,

dua aliran dari pohon yang satu,

tumbuh dari tanah kenabian,

disirami air wahyu dan cinta Rasul yang tak berkesudahan.

Namun sejarah mencatat luka,

dari Saqifah hingga Karbala.

Dari tangan-tangan kuasa yang berebut tahta,

hingga turunan sengketa yang turun-temurun diwariskan begitu saja.

Sunni meniti jalan mayoritas,

Syiah berjalan dalam jejak Ahlul Bait yang tegas.

Namun keduanya sujud pada Tuhan yang Esa,

menghadap ke kiblat yang sama,

membaca Al-Qur’an yang satu,

dan mencintai Nabi Muhammad dengan seluruh rindu.

Di Tehran, kulihat wajah Islam yang bersih,

di Kairo, kutemui ilmu Sunni yang jernih.

Di Baghdad, Damaskus, dan Qom,

ada ulama yang menangis untuk umat, bukan untuk mazhab semata.

Apakah kita lupa,

bahwa di hari akhir, Allah tak menanyakan madzhab kita?

Yang ditanya bukan Syiah atau Sunni,

tapi amal kita, akhlak kita, dan kejujuran yang mengisi hari-hari.

Lihatlah kaum muda di jalanan:

mereka haus cinta, bukan fatwa perpecahan.

Mereka butuh teladan, bukan sekadar dalil yang dibenturkan,

tapi sikap yang memeluk, bukan menusuk.

Sunni dan Syiah bisa duduk bersama,

bukan untuk menyamakan segalanya,

tapi untuk menjaga rumah Islam dari robohnya benteng persaudaraan.

Seperti Katolik dan Protestan yang pernah berdarah-darah,

namun kini duduk dalam satu meja—meski tak sepakat seluruhnya.

Kita pun bisa, asal membuka telinga dan menurunkan suara.

Jika cinta Nabi adalah alasan kita bertikai,

bukankah lebih baik kita menenangkannya dengan akhlaknya yang damai?

Jika sejarah jadi dalih untuk berjarak,

bukankah masa depan butuh kita bersatu dan saling menguatkan?

Aku percaya,

umat ini bisa menyatu tanpa harus serupa.

Bukan dalam seragam,

tetapi dalam semangat Islam yang lapang.

Dari masjid ke madrasah,

dari pesantren hingga hauzah,

kita rajut jalinan kasih,

agar tak lagi tumpah darah karena beda tafsir dan mazhab yang berselisih.

Karena sesungguhnya,

yang memisahkan bukan kebenaran,

tetapi keangkuhan.

Dan yang menyatukan bukan sekadar ilmu,

tetapi kerendahan hati dan cinta yang tulus tak bertepi.

Dua kali saya mengikuti konperensi التقريب بينالمذاهيب di Tehran, Iran, mereka bertujuan menyatukan umat sekalipun mazhab beda.

Wassalam dari, Kompleks GFM

1 Agustus 2025

Ahmad M. Sewang
+ posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button