Khazanah

Antara Kepandaian dan Kebijaksanaan: Dua Hal yang Tak Selalu Berjalan Bersama

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D., Anggota Dewan Syura IJABI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali kagum pada orang yang pandai: cepat menangkap pelajaran, lancar berbicara, atau ahli dalam menyelesaikan persoalan teknis. Mereka adalah para juara kelas, peraih nilai tinggi, pemecah teka-teki rumit. Namun, tak jarang pula kita bertemu dengan orang yang meskipun tidak terlalu menonjol secara akademik, tapi perkataannya menenangkan, nasihatnya menuntun, dan keputusannya bijak. Ia mungkin tak sepandai ilmuwan, tapi hidupnya damai, tindakannya adil, dan tutur katanya membuat kita merenung. Di situlah letak perbedaan antara kepandaian dan kebijaksanaan.

Apa kepandaian itu? Kepandaian biasanya merujuk pada kecerdasan intelektual: kemampuan berpikir logis, cepat memahami informasi, dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Orang pandai bisa menghitung rumitnya angka-angka, merancang mesin canggih, atau menguraikan teori-teori filsafat yang rumit.

Namun, kepandaian bukan jaminan seseorang akan menjalani hidup yang baik atau membuat keputusan yang benar. Seorang penipu ulung bisa sangat pandai merancang skema penipuan. Seorang diktator bisa sangat cerdas dalam strategi militer tapi zalim dalam kekuasaan.

Apa itu kebijaksanaan? Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk memahami kehidupan secara dalam dan mengambil keputusan yang tepat dengan mempertimbangkan nilai moral, pengalaman, dan dampak jangka panjang. Orang bijak tidak hanya tahu apa yang bisa dilakukan, tapi juga mempertimbangkan apa yang seharusnya dilakukan.

iklan

Kebijaksanaan sering tumbuh dari pengalaman, refleksi, dan pengendalian diri. Ia melibatkan kepekaan terhadap perasaan orang lain, ketenangan dalam menghadapi konflik, dan kesadaran akan keterbatasan manusia. 

“Orang pandai tahu bagaimana memanjat pohon, tapi orang bijak tahu pohon mana yang layak dipanjat.” – Pepatah lama

Kepandaian itu tidak selalu bijaksana. Sering kali, orang yang sangat pandai justru terjebak dalam keangkuhan intelektual. Ia merasa paling benar, meremehkan pandangan orang lain, dan lebih mementingkan logika daripada empati. Kepandaiannya digunakan untuk memenangkan perdebatan, bukan untuk mencari kebenaran bersama.

Sebaliknya, orang bijak tidak selalu memiliki jawaban cepat, tapi ia tahu kapan harus diam, kapan berbicara, dan bagaimana bersikap adil dalam situasi yang rumit.

Pandai belum tentu bijak, tapi bijak pasti mengandung kecerdasan. Kita bisa belajar dari banyak tokoh spiritual, pemimpin suku, orang tua di desa, atau guru kehidupan yang tak pernah menulis buku atau meraih gelar tinggi, tapi petuahnya menuntun banyak orang. Kebijaksanaan mereka lahir dari hati yang bersih, akhlak yang luhur, dan pengalaman yang panjang.

Di sisi lain, banyak pula ilmuwan, pemikir, atau akademisi yang tak hanya pandai, tapi juga bijak. Mereka menggunakan ilmunya untuk kebaikan bersama, menyadari keterbatasan logika manusia, dan rendah hati dalam berbagi pengetahuan.

Idealnya, manusia mengembangkan keduanya: pandai dan bijak. Ilmu tanpa kebijaksanaan bisa berbahaya, sementara kebijaksanaan tanpa ilmu bisa tak berdampak luas. Dunia hari ini membutuhkan orang-orang cerdas yang berhati nurani, dan orang-orang bijak yang juga paham zaman.

Maka, jangan hanya bangga karena kepandaian kita. Mari bertanya pada diri sendiri: Apakah aku juga sedang belajar menjadi bijak?

Kepandaian bisa diperoleh lewat pendidikan formal. Kebijaksanaan diperoleh lewat hidup yang dijalani dengan penuh makna.

Keduanya saling melengkapi untuk menciptakan manusia yang utuh.

“Kepandaian adalah kemampuan untuk menemukan kebenaran; kebijaksanaan adalah kemampuan untuk menjalani kebenaran itu dengan rendah hati.”

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button