Ghibthah dan Hasad: Antara Pendorong Kesempurnaan dan Penyakit Jiwa

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam dinamika kehidupan sosial, manusia tidak pernah lepas dari perjumpaan dengan keberhasilan, prestasi, dan kesempurnaan orang lain. Reaksi batin terhadap fenomena ini dapat membawa arah yang sangat berbeda: ada yang menjadikannya sebagai energi untuk berkembang, ada pula yang menjadikannya sumber kebencian dan kehancuran diri. Dua bentuk respon ini dikenal dalam literatur Islam dengan istilah ghibthah dan hasad.
Ghibthah: Rasa Iri yang Positif
Ghibthah adalah kondisi ketika seseorang merasakan dorongan untuk meningkatkan kualitas diri setelah melihat keunggulan orang lain. Ia bukan sekadar iri, melainkan semacam inspirasi yang mendorong individu untuk berusaha mencapai kebaikan serupa atau bahkan melebihinya.
Dalam tradisi Islam, ghibthah dianggap sebagai energi positif yang dapat mempercepat perkembangan spiritual dan intelektual. Ia menyalakan api motivasi untuk mendekat kepada kesempurnaan tanpa menumbangkan orang lain. Oleh karena itu, ghibthah dapat dipandang sebagai salah satu mekanisme pertumbuhan jiwa yang sehat.
Hasad: Iri yang Merusak
Sebaliknya, hasad adalah kondisi batin ketika seseorang tidak tahan melihat kesempurnaan orang lain, lalu berusaha menjatuhkannya agar menjadi setara dengannya atau bahkan lebih rendah. Hasad tidak berorientasi pada peningkatan diri, melainkan pada penghancuran orang lain.
Yang menjadikan hasad semakin berbahaya adalah bahwa ia muncul meskipun si pendengki tahu bahwa apa yang dimiliki orang lain adalah kebenaran dan pantas dimiliki. Akan tetapi, karena tidak ada semangat penyempurnaan dalam dirinya, ia lebih memilih jalan destruktif.
Hasad berakar dari kelemahan jiwa. Orang yang hasad tidak mampu menerima kenyataan bahwa ada orang lain lebih tinggi darinya, baik dalam ilmu, akhlak, maupun kedudukan. Alih-alih menjadikan hal itu sebagai inspirasi, ia justru menumbuhkan kebencian yang berujung pada penderitaan batin.
Secara psikologis, hasad adalah bentuk defisiensi eksistensial: kegagalan untuk meraih kesempurnaan diri sehingga berusaha menutupi kekurangan dengan menurunkan orang lain. Namun, seperti ditegaskan oleh para ulama, usaha menjatuhkan orang lain adalah pekerjaan sia-sia. Hasilnya lebih sering menghancurkan pendengki itu sendiri, menjadikannya pribadi yang selalu murung, sedih, dan gelisah.
Hasad bukan hanya merusak individu, tetapi juga berpotensi menimbulkan kegoncangan sosial. “Gempa batin” yang dialami pendengki kadang berimbas pada yang didengki, baik dalam bentuk fitnah, intrik, maupun sabotase sosial. Meski demikian, secara esensial, hasad lebih banyak menelan energi si pelaku ketimbang merugikan korban.
Pada akhirnya, perbedaan mendasar antara ghibthah dan hasad terletak pada arah energi batin manusia. Ghibthah mengarahkan energi kepada pembangunan diri, sementara hasad mengarahkannya pada perusakan orang lain. Ghibthah memperluas jiwa dan menumbuhkan motivasi, sedangkan hasad menyempitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
Dengan demikian, mengenali dua sikap ini bukan hanya penting secara etis, tetapi juga vital bagi kesehatan jiwa dan keharmonisan sosial. Ghibthah patut ditumbuhkan sebagai daya dorong menuju kesempurnaan, sementara hasad harus dihindari sebagai penyakit jiwa yang menjerumuskan.




