Khazanah

JANGAN MENYESATKAN DAN MENGKAFIRKAN

Puisi Refleksi Persatuan (3)

Oleh Ahmad M. Sewang

Dari manakah datangnya tudingan sesat dan kafir
jika bukan dari hati yang sempit,
yang tak sudi melihat kebenaran
kecuali yang ada di balik cermin dirinya sendiri?

Tadhlil dan takfir bukan warisan Rasul, melainkan warisan kelam dari kaum yang mengira Tuhan telah menyerahkan seluruh kebenaran hanya padanya,” kata Kang Jalal suatu saat di Kendari Ulama Ikhwanul Muslimin telah berkata, kebenaran tak selalu satu rupa.
Ia bisa hadir dalam ragam ijtihad dan cabang-cabang furu’, dan perbedaan—adalah sunnatullah yang tak bisa ditepis.
Siapa yang ingin menyeragamkan umat,
seolah ingin matahari terbit dari barat
dan tenggelam di timur.
Ia bermimpi di tengah siang bolong,
melawan kodrat semesta dan ketentuan Tuhan.
Nabi pun pernah menyaksikan sahabat berselisih dalam tafsir titahnya,
namun tak satu pun menjelma permusuhan,
karena di bawah kepemimpinan beliau,
kasih lebih utama dari menang dalam tafsiran.
Namun sejarah juga mencatat luka:
dari kaum Khawarij yang begitu keras,
memahami kitab hanya lewat kulit,
menghunus pedang pada yang tak sepaham,
padahal mereka lebih lembut pada musyrik
ketimbang saudara yang bersyahadat sama.
Wasil bin ‘Atha cerdik membaca situasi,
saat ditanya oleh Khawarij tentang agamanya,
ia menjawab: “Aku hanya musyrik yang mencari perlindungan.”
Dan mereka menerimanya dengan sopan,
menjamunya bagai tamu kehormatan.
Lihatlah,
begitu mudahnya hidup bagi yang berbeda iman,
tapi begitu getirnya jalan bagi sesama Muslim
jika tak sependapat dengan golongan.

Sungguh ironis…

Ayat Al-Quran mereka tafsirkan kaku:
Jika musyrik meminta perlindungan, maka tolonglah ia…
Namun lupa lanjutan maknanya:
Apalagi jika saudaramu sendiri yang memohon pengertian.

iklan

Nabi pernah bersabda penuh harap dan peringatan:
Tahanlah lisan kalian dari mengkafirkan siapa pun yang mengucap La ilaha illallah. Siapa yang mengkafirkan saudaranya, ia sendiri lebih dekat pada kekafiran itu.

Bahkan Usamah bin Zaid ditegur keras,
karena membunuh lawan yang telah mengucap syahadat.
Apakah engkau membedah hatinya?” tanya Nabi.

Bukan hanya soal kata—ini tentang nilai kemanusiaan sejati.
Wahai saudaraku,
berhentilah membawa agama dengan murka,
karena Islam tak turun untuk saling mencaci,
tetapi untuk saling mengangkat derajat insani.
Jangan lagi ada LPAS yang sewenang-wenang menentukan siapa sesat,
tanpa amanat ilmu, tanpa mandat ijtihad.
Negara bukan ladang untuk memburu bayang-bayang,
tetapi rumah untuk membangun kedewasaan iman.
Mari kita jaga lidah dan sikap,
karena dibalik syahadat setiap muslim
terkandung janji pada Tuhan yang sama—
dan tak satu pun dari kita diberi kuasa
untuk membuka isi hati saudara.

Seri berikutnya akan membahas bagaimana saling menghargai dalam perbedaan adalah pondasi kukuh bagi bangunan persatuan.

Makassar, 11 Juli 2025
Dalam semangat ukhuwah dan cinta yang merangkul semesta.

Ahmad M. Sewang
+ posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button