Khazanah

Di Ambang Gerbang Qadam Shidq

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Bayangkan seseorang yang berdiri di tengah padang Karbala, di antara jejak-jejak pasir yang telah menyerap darah para kekasih Tuhan. Siang demikian terik di padang kerontang, langit terbuka, dan angin membawakan bisikan-bisikan itu melintas lebih dari 1200 trilyun km perjalanan ruang dan waktu. 

Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara seorang Kekasih Ilahi, yang berseru: “Jika agama Muhammad tidak akan tegak kecuali dengan darahku, maka wahai pedang-pedang, ambillah aku!” Suara itu bukan hanya seruan pengorbanan, melainkan langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar—sebuah qadam shidq

Sebuah jejak kejujuran. Tegak berdiri dengan kejujuran yang demikian murni. Kemurniannya demikian jernih sehingga bak prisma, warna warni narasi hegemoni penuh kedustaan ia biaskan menjadi cahaya putih Sunnah Nabawiyyah. Cahaya putih perwujudan Qur’an hakiki. Maka apa sebenarnya qadam shidq?  Dalam bagian akhir Ziarah pada Al Husain di Hari Asyura:

ثَبِّتْ لِي قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَكَ مَعَ الْحُسَيْنِ وَأَصْحَابِ الْحُسَيْنِ الَّذِينَ بَذَلُوا مُهَجَهُمْ دُونَ الْحُسَيْنِ عَلَيْهِ السَّلَامُ

iklan

(Ya Allah, dan) teguhkanlah langkahku dalam kebenaran di sisi-Mu bersama Husain dan para sahabat Husain yang telah mengorbankan jiwa mereka demi Husain, salam sejahtera atasnya.

Di penghujung Ziarah Asyura, para peziarah Al Husain (zuwwarul Husain) bermohon pada Allah dikaruniai keteguhan dalam qadama shidqin di sisi-Nya bersama Al Husain dan para sahabat Al Husain. Para sahabat Al Husain telah mengorbankan segalanya demi Al Husain. Frasa qadama shidqin hanya muncul satu kali dalam ziarah ini, yakni di bagian akhir.

Di ujung. Seolah, ada suatu petunjuk lembut, qadama shidqin ini merupakan puncak harapan para peziarah Al Husain dalam ziarahnya. Mereka yang menangis dan hadir dalam jutaan majelis duka cita Al Husain dari masa ke masa, saling mengokohkan dalam merawat ingatan kolektif pada Al Husain memiliki sebuah keinginan terakhir di ujung doa-nya, kebersamaan dengan Al Husain dan para sahabatnya di taman qadama shidqin. 

Dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, ar-Rāghib al-Isfahānī menjelaskan bahwa قَدَم (qadam) secara harfiah berarti kaki, langkah, atau posisi, namun dalam banyak penggunaan metaforis, kata ini menunjukkan kedudukan yang kokoh, keistimewaan awal, atau amal yang mendahului seseorang dan menjadi sebab kemuliaan; sebagaimana disebutkan dalam ungkapan: الْقَدَمُ يُسْتَعَارُ لِلتَّقَدُّمِ فِي الشَّرَفِ (al-qadamu yustā‘āru li-t-taqaddumi fī asy-syaraf) yang berarti “qadam (kaki) digunakan secara metaforis untuk menunjukkan kemajuan dalam kemuliaan.”

Adapun صِدْق (ṣhidq) berarti kejujuran, kemurnian, keaslian, dan kebenaran yang tidak tercampur oleh kepalsuan. Maka, قَدَمَ صِدْقٍ (qadama hṣidq) menurut Isfahani bermakna kedudukan yang benar, kemuliaan spiritual yang hakiki, atau amal-amal suci yang menjadi pijakan seseorang dalam mendekat kepada Allah.

Dalam Tafsir Min Wahyil Qur’an, Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah menjelaskan qadama shidqin dalam QS Yunus:2 sebagai suatu suatu kedudukan kebenaran yang kokoh dan terhormat di sisi Allah, sebagai hasil dari iman sejati dan keterikatan moral eksistensial terhadap kebenaran Nya.  

Ungkapan ini mencerminkan visi Qur’ani tentang kemuliaan eksistensi manusia yang beriman, yang mendasarkan hidupnya pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan keteguhan dalam iman. 

Lebih lanjut, mencoba menafsirkan penjelasan Sayyid Tabatabai dalam Risalah al-Walayah, qadama shidqin tak lain adalah satu dari sifat maqam Kewalian.

Mungkin qadama shidqin ma’al Husain wa ashaabil Husain, mengisyaratkan hilangnya batas hakiki antara seseorang dengan Al Husain dan para sahabatnya dalam jejak dan langkah. Jadi jejak, langkah dan perbuatannya lahir dan batin beresonansi dengan Imam Husain dan para sahabatnya. Walaupun telah melintas ruang dan waktu empat belas abad dan trilyunan km, hatinya, ruhnya, semangatnya, ideal-idealnya serta akhlaqnya senantiasa beresonansi dengan Imam Husain as dan para sahabatnya. Jadi, beroleh karunia qadama shidqin  bersama Imam Husain dan para sahabatnya mungkin bisa diinterpretasikan sebagai mencapai Tauhid Af’al, melalui kebersamaan dan Cinta yang murni pada Nabi Saw melalui terus menerus merawat ingatan dan mengingat darah Imam Husain as dan para sahabatnya  dan pesan-pesan, sign-signifier-signified (Tanda) yang disampaikannya.

Dalam kerangka filsafat Mulla Sadra, khususnya dalam doktrin al-harakah al-jawhariyyah (gerak substansial) dan wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi), makna qadama shidqin dapat dimaknai bukan semata sebagai hadiah moral atau tempat tetap, melainkan sebagai transformasi eksistensial ruhani yang menjadikan seseorang menempuh jejak Imam Husain as secara esensial, bukan simbolik. Ketika seseorang beresonansi sepenuhnya dengan langkah Imam Husain dan para sahabatnya—lahir dan batin—ia sebenarnya sedang mengalami ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul (penyatuan antara yang berfikir dan yang difikirkan), di mana cinta yang murni dan pengingatan yang terus-menerus terhadap Imam menjadi melainkan tajalli (penampakan) dari af’al Allah melalui maqam kewalian. 

Dalam perspektif ini, qadama shidqin ma‘a al-Husain adalah maqam keberadaan yang telah melampaui dualitas antara subjek dan objek, antara pecinta dan yang dicintai. Ia telah menyatu secara ontologis dalam gerak wujud menuju Yang Haqq, melalui pancaran nur Imam Husain as sebagai manifestasi dari cahaya Nabi Saw. Maka, maqam ini menandai tercapainya Tauhid Af‘al, yakni ketika semua perbuatan, ingatan, tangisan, dan kesadaran dirinya tak lain adalah limpahan dari Kehendak Ilahi yang terpantul dalam darah para syuhada Karbala sebagai tanda-tanda kebenaran hakiki.

Keberadaan Wali-Wali Al Husain dan Wali-Wali Nabi Saw dan keluarganya yang suci  ini mungkin yang diisyaratkan oleh frasa: 

فَأَسْأَلُ ٱللَّهَ ٱلَّذِي أَكْرَمَنِي بِمَعْرِفَتِكُم وَمَعْرِفَةِ أَوْلِيَائِكُم

Maka aku bermohon pada Allah yang memuliakan aku dengan ma’rifat pada kalian dan ma’rifat pada Wali-Wali kalian.”

Qadama Shidqin ma’al Husain wa ashaabil Husain, mengisyaratkan hilangnya batas hakiki antara seseorang dengan Al Husain dan para sahabatnya dalam jejak dan langkah. Jadi jejak, langkah dan perbuatannya lahir dan batin beresonansi dengan Imam Husain dan para sahabatnya.

Dari sudut pandang lain Qadam shidq menegaskan bahwa semua tangisan, ziarah, majelis duka, pernyataan komitmen dan Cinta pada Al Husain as dan para sahabatnya sama sekali bukan  metafora spiritual, melainkan bentuk pemaknaan realitas yang melampaui kategori empiris. Dalam  kacamata filsafat idealisme Jerman, ia hadir sebagai Ide mutlak—sebuah perwujudan nilai absolut dalam sejarah manusia yang tampak dalam figur seperti Husain. Seperti dalam dialektika Hegel, qadam shidq adalah sintesis antara tesis ketertindasan dan antitesis penindasan; ia bukan titik akhir, melainkan gerak roh menuju kebebasan sejatinya. Karbala adalah panggung sejarah di mana semangat Absolut mengafirmasi dirinya melalui pengorbanan dan kejujuran, menegaskan bahwa dalam tragedi justru terdapat pemurnian realitas—roh menjadi sadar akan dirinya dalam darah syuhada. Dan peziarah bermohon pada Allah agar diberi kapasitas dan taufik untuk menjadikan rohnya roh yang sadar dan mengalir bersama darah Sayyidusy Syuhada. 

Dalam kerangka Heideggerian, qadam shidq bukan hanya posisi spiritual, tetapi Dasein—kehadiran autentik yang memeluk kematian sebagai kebenaran eksistensial. Qadam shidq adalah “penghunian” dalam waktu fana namun penuh makna, tempat manusia menolak keterjatuhan (Verfallen) ke dalam banalitas kekuasaan dan memilih berada untuk kebenaran.

Karbala bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi Er-eignis—peng-ada-an, di mana kebenaran tersingkap melalui keberanian eksistensial dalam menghadapi maut. Di sini, kembali peziarah bermohon pada Allah mencapai maqam mati sebelum mati, serta berani memilih kematian yang mulia seperti Sayyidusy Syuhada. Barangsiapa mengingat mati dua puluh kali sehari ia mencapai maqam Syahid. Namun keberanian untuk setiap saat memilih kematian yang mulia bersama Al Husain, adalah maqam yang lebih tinggi lagi. Dan inilah qadama shidqin.

Perhatikan jawaban Al Husain pada Hurr ibn Yazid yang mengingatkan Al Husain bahwa kalau Al Husain berperang , pasti akan mati.

Apakah engkau menakutiku dengan kematian? Dan apakah engkau akan terbebas dari akibatnya jika engkau membunuhku? Aku akan mengatakan seperti yang dikatakan oleh salah satu orang beriman dari kabilah Aus kepada sepupunya ketika ia hendak membela Rasulullah Saw“. Sepupunya memperingatkannya dan berkata, “Ke mana engkau hendak pergi? Engkau pasti akan terbunuh!” Ia menjawab:

“Aku akan pergi, dan jiwa-jiwa mulia tak pernah malu akan kematian, jika mereka pergi demi kebenaran dan bangkit dalam ketundukan; jika mereka meninggalkan yang celaka, dan menentang para pendosa; jika mereka berjalan bersama orang-orang saleh dan bijaksana. Tak ada penyesalan jika aku hidup, dan tak ada celaan jika aku mati. Cukuplah kehinaan itu bila seseorang dizalimi—selain itu tidak.” (Lama’at al Husain, Sayyid Muhammad Husain Husaini Tehrani)

Dalam perspektif strukturalis, qadam shidq adalah posisi dalam sistem makna yang membedakan antara nilai profetik dan nilai hegemonik. Karbala menggeser struktur nilai dominan; dari kepatuhan terhadap kekuasaan ke kesetiaan terhadap kebenaran. Dalam post-strukturalisme, terutama dalam pembacaan Derrida, qadam shidq menjadi jejak (trace)—yang tidak pernah hadir secara utuh namun senantiasa menunjuk pada sesuatu yang melampaui teks. Ia adalah penundaan makna dalam sejarah umat; tanda dari kebenaran yang terus tertunda namun tak terhapus. 

Karbala, dalam hal ini, adalah dekonstruksi terhadap narasi hegemonik kekuasaan Umayyah, pembuka ruang bagi artikulasi identitas spiritual yang tersingkir. Dalam konsep qadama shidqin ini, konsep kewalian dibongkar dari sifatnya yang individual. Walayah Al Husainiyyah menegaskan tidak ada pemisahan antara jalan spiritual dan jalan perkhidmatan pada sesama. Sesungguhnya Wali Allah yang sejati adalah ia yang paling kasih pada manusia dan siap mengucurkan darahnya kapan saja demi memasukkan kebahagiaan pada sesama, terlebih lagi menghalangi kezaliman dan ketidakadilan merajalela.

Dalam pendekatan neurofenomenologis seperti yang dikembangkan oleh Alva Noë dan Mazviita Chirimuuta, qadam shidq tidak hadir sebagai entitas internal mental, tetapi sebagai enacted perception, persepsi yang diwujudkan dalam tindakan. Artinya, posisi spiritual ini tidak sekadar diketahui atau diyakini, tetapi dijalani—melalui gerakan tubuh, air mata, dan solidaritas terhadap yang tertindas. Qadam shidq bukan sesuatu yang disimpan di dalam, tetapi sesuatu yang dilakukan dan diciptakan secara aktif dalam dunia. Dalam perspektif ini, qadama shidq benar-benar nyata bila ia menyatukan spiritualitas, intelektualitas, rasionalitas, nilai moral , nilai pengorbanan dengan amal nyata.

Dalam garis pemikiran Ali Shariati, qadam shidq adalah posisi revolusioner dalam sejarah umat. Ia bukan sekadar kedudukan spiritual, tetapi juga sikap sosial-politik yang menolak kompromi dengan kekuasaan yang menyeleweng dari nilai ilahi. Karbala bukan sekadar kesyahidan personal, tetapi model pembebasan umat dari pasrah yang mematikan. Maka, tangisan atas Husain tidak cukup; qadam shidq menuntut transformasi: dari kesedihan menjadi keberpihakan, dari ritual menjadi gerakan. Ia adalah panggilan untuk menciptakan sejarah baru, sebuah praxis di mana iman dan aksi menyatu dalam satu langkah jujur menuju Tuhan dan keadilan.

Dengan demikian, qadam shidq adalah derajat Kewalian Profetik yang murni yang dicontohkan oleh Wali Yang Sempurna dan Cucu Nabi Al Husain as. Ia menciptakan ruang lintas dimensi—spiritual, intelektual, rasional, eksistensial, historis, simbolik, dan afektif serta empatik—di mana individu, masyarakat, dan bahkan semesta menegaskan kembali arah mereka. Ia bukan destinasi, tetapi arah yang menunjukkan bahwa dalam derita dan perlawanan, manusia dapat menjejakkan pijakan paling jujur: kehadiran yang tak tergoyahkan di sisi Yang Mahakuasa. 

Wa tsabbit lii qodama shidqin ‘indaka ma’al Husain wa ashaabil Husain. Alladziina badzaluu muhajahum duunal Husain ‘alaihis salam.

Wa maa taufiiqii illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Jakarta, 13 Muharram 1447 H

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button