Meraih Ridha Ilahi dan Kebahagiaan

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam perspektif Islam, seluruh ajarannya dipandang sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati, yaitu memperoleh keridhaan serta kedekatan kepada Allah. Setiap pengikut Islam, dengan berpegang teguh pada tuntunan ilahi, akan mencapai kebahagiaan sesuai dengan kapasitas dan potensi fitri yang dimilikinya. Oleh sebab itu, Islam merinci berbagai jalan yang dapat menghantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki.
Ridha Ilahi sebagai Sumber Kebahagiaan
Langkah pertama untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah meraih ridha Allah Yang Mahamulia. Al-Qur’an, dalam surah Al-‘Ashr, menegaskan bahwa manusia pada dasarnya berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasihati untuk (menaati) kebenaran, dan saling menasihati untuk (menetapi) kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 3)
Para ulama akhlak menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dipisahkan dari keridhaan Allah. Kehidupan yang baik (ḥayāt ṭayyibah) hanyalah milik mereka yang berjalan di jalan-Nya.
Taqwa dan Kesalehan: Jalan yang Tak Tergantikan
Salah satu poros utama kebahagiaan adalah taqwa dan kesalehan. Dalam surah Asy-Syams, setelah sebelas kali sumpah, Al-Qur’an menegaskan prinsip yang mendasar: keberuntungan diperoleh hanya oleh mereka yang menyucikan jiwa, sementara kerugian menimpa mereka yang mengotorinya.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَ قَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Inilah pula misi utama para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi: membimbing manusia menuju kehidupan yang penuh kebaikan, kebajikan, kasih sayang, dan kebahagiaan abadi. Dengan kata lain, para nabi berfungsi sebagai penuntun moral dan spiritual agar manusia dapat meraih kebahagiaan hakiki.
Amal Manusia dan Peran Alam Semesta
Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa perbuatan manusia menjadi penentu utama apakah ia akan masuk surga atau neraka. Dalam surah Al-A‘raf, Allah menggambarkan keadaan penghuni surga yang penuh syukur, seraya menegaskan bahwa surga diwariskan sesuai amal yang mereka kerjakan:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ… تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala dendam yang ada dalam hati mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai… dan diserukan kepada mereka, ‘Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.’” (QS. Al-A‘raf [7]: 43; bdk. QS. Az-Zukhruf [43]: 72)
Dengan demikian, amal manusia adalah cermin nasibnya. Al-Qur’an menegaskan:
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS. Al-Isra’ [17]: 14)
Hal ini sekaligus menolak pandangan fatalistik bahwa kebahagiaan atau kesengsaraan ditentukan oleh bintang atau peredaran langit.
Menolak Fatalisme: Tanggung Jawab Amal
Al-Qur’an mengutip pengakuan para penghuni neraka:
قَالُوا رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنَّا قَوْمًا ضَالِّينَ
“Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kesengsaraan kami telah mengalahkan kami, dan kami adalah kaum yang sesat.’” (QS. Al-Mu’minun [23]: 106)
Pengakuan ini mencerminkan kecenderungan manusia untuk menyalahkan takdir. Namun, menurut penjelasan Imam Ja‘far ash-Shadiq as, kesengsaraan tersebut bukanlah akibat paksaan (jabr), melainkan buah dari amal perbuatan mereka sendiri (Syaikh Shaduq, At-Tauhid, hlm. 356).
Dalam riwayat lain, beliau menegaskan: “Allah menamakan orang-orang beriman sebagai mukmin karena amal-amal baik mereka.” (Hurr al-‘Amili, Wasā’il al-Shī‘ah, jilid 15, hlm. 317, hadis 20625).
Dengan demikian, tanggung jawab penuh atas kebahagiaan atau kesengsaraan terletak pada manusia sendiri. Tidak ditemukan dasar kuat dalam literatur Islam yang menjadikan bintang atau benda langit sebagai faktor penentu nasib manusia. Jika ada riwayat yang tampak mendukungnya, maka harus dipahami secara metaforis, bukan literal.
Walhasil, kebahagiaan sejati dalam Islam bersumber dari ridha Allah, diperoleh melalui iman, amal saleh, takwa, dan penyucian jiwa. Amal manusia adalah tolok ukur yang menentukan akhir hidupnya, bukan bintang atau takdir buta. Islam menolak determinisme kosmik dan menegaskan kebebasan serta tanggung jawab manusia. Dengan demikian, kebahagiaan adalah buah dari kesadaran spiritual, kesalehan moral, dan kedekatan dengan Allah.




