
Oleh : Fanny Internasional
“Telah tertulis masa depan Yerusalem adalah berkembang hingga Damaskus” -Benjamin Netanyahu, Wawancara i24-
Jika demokrasi hanya dikaitkan dengan partisipasi Politik, pergantian penguasa secara teratur, adanya akuntabilitas pemerintahan serta pemilihan umum yang bebas. Maka, Israel adalah negara paling demokratis di Timur Tengah. Sayangnya, Israel akan gugur sebagai negara demokratis jika dikaitkan dengan makna demokrasi yang sebenar-benarnya. Di Israel, demokrasi hanya berlaku bagi warga Israel keturunan Yahudi, sementara kebijakan-kebijakan mereka pada warga Arab baik yang menjadi warga negara Israel mau pun yang tinggal di daerah pendudukan diperlakukan sangat berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Hal inilah yang luput dari pandangan pengamat politik atau pun pendukung Israel.
Dari kata Zionisme saja sudah menunjukkan makna rasisme dan misi pembersihan etnis. Zionisme bukan hanya soal Nasionalisme Yahudi sebagaimana yang sering disebut-sebut oleh pendukung Israel. Sejauh ini kita mampu melihat bahwa Zionisme sedang mengembangkan serta melakukan elaborasi sistem dan kebijakan yang diskriminatif.
Satu kebijakan Israel yang paling terkenal yaitu Law of Return atau lebih sederhananya adalah Undang-Undang Kembali yang disahkan ditahun 1950an. Undang-undang ini memuat kebijakan yang sangat rasis. Isinya berbicara soal penjaminan warga Yahudi dari negara mana saja yang ingin pindah ke Israel kapan pun. Sebagai contoh, jika ada 5 juta warga Yahudi dari berbagai belahan dunia ingin pindah ke Israel, maka pemerintahan Israel wajib menerima mereka.
Bagaimana caranya? Israel akan melakukan pengusiran kepada 5 juta warga Palestina baik yang Islam mau pun Kristen. Warga Palestina yang terusir ini sama sekali tidak diberi hak untuk kembali ke tanah air mereka, sebab bagi Israel hal tersebut adalah bunuh diri. Hal ini disampaikan oleh Ehud Barak Mantan PM Israel, pada sebuah sidang kabinet dan kemudian dimuat dalam Tehran Times, yaitu “Israel will not allow even one Palestinian refugees to return Israeli”. Karena hal ini pula Komisi HAM PBB dalam resolusi 3379 menyamakan Zionisme sama dengan rasisme.
Pertanyaan-pertanyaan terkait mengapa kebijakan Amerika Serikat sangat melindungi Israel, jawabannya adalah karena dalam sistem politik di AS terdapat dua aliran intelektual yaitu aliran yang mempelopori kebijakan Israel First dan aliran Evenhanded. Aliran yang membela Israel First lebih unggul dan lebih banyak dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan AS, hal ini tentu saja didukung sepenuhnya oleh adanya aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan secara efektif mampu melakukan mobilisasi kepentingan mau pun sentiment pro-Israel. Sementara aliran Evenhanded adalah kebalikan dari aliran yang pro Israeli First, mereka menghendaki agar AS bersikap lebih adil di Timur Tengah.
Kelompok pendukung doktrin Israel First didukung oleh sejumlah pejabat-pejabat penting baik di Dewan Keamanan Nasional, Pentagon, Departemen Luar Negeri atau pun kalangan Intellijen. Ada sebuah misi yang dilakukan oleh pendukung Israel First yaitu para kandidat yang ingin menduduki jabatan politik di AS akan diberi dukungan finansial dan diberi janji pasti akan terpilih jika mereka mendukung serta menyuarakan doktrin Israel First. Sebaliknya, kandidat yang tidak mendukung doktrin tersebut hampir tidak akan bisa meraih jabatan politik apapun.
Ditahun 2000 pernah dilakukan upaya perdamaian di Timur Tengah dan isu utamanya adalah jalan-keluar bagi Israel-Paletina, namun hal tersebut dikacaukan dan digagalkan oleh PM Israel Ariel Sharon yang menjabat saat itu. Ariel Sharon mengambil tindakan represif dengan memasuki kompleks masjid Al-Aqhsa hal ini memancing respon warga Palestina dan Bangsa Arab. Warga Palestina kemudian melakukan protes dengan melemapar batu ke arah Tentara Israel hal ini dibalas dengan berlebihan oleh Tentara Israel. Bentrokan yang lebih keras kemudian terjadi warga sipil Palestina kemudian ditembaki oleh Tentara Israel dan dibalas lagi oleh warga sipil Palestina dengan menggunakan senapan mesin.
Dengan cepat Bill Clinton yang merupakan Presiden AS yang menjabat saat itu menyelenggarakan KTT bersama Presiden Mesir Hosni Mubarak, Sekjen PBB Kofi Anan, Raja Abdullah II dari Yordania, dan Yasser Arafat. KTT ini dilaksanakan di Sharm ash-Shaykh di Mesir pada bulan Oktober tahun 2000. Dari KTT tersebut disepakati tiga hal, yatu ; Pertama, Israel harus menarik mundur seluruh pasukannya ke posisi sebelum pecah “tragedy Al Aqhsa”. Kedua, Israel harus mengakhiri blokade atas semua jalan utama menuju masjid Al Aqhsa. Ketiga, dibentuknya sebuah komite internasional yang independent untuk menyelidiki “tragedi Al-Aqhsa”.
Namun kenyataannya, KTT Sharm asy-Shaykh, tidak membuahkan apa-apa pada proses penerapannya di lapangan. Bentrokan antara Palestina dan Israel makin meluas hingga ke seluruh kota pendudukan. Tidak hanya di Ramallah namun juga hingga ke Nabslus, Hebron, Tepi Barat dan Gaza. Kota-kota tersebutlah yang hingga kini berusaha dibersihkan oleh Israel dari warga Palestina.
Isu anti-semitisme yang terus disuarakan oleh Israel adalah bentuk pergeseran mentalitas Zionisme dari yang tadinya Nasionalisme Sayap Kanan berubah menjadi ekstrimisme yang disebabkan oleh kesadaran dari Zionisme bahwa mereka dibenci seluruh dunia. Maka sikap brutalitas Israel berusaha untuk dibenarkan dengan alasan tersebut. Ada semacam kekhawatiran eksistensial yang dialami oleh Zionisme, Noam Chomsky mengatakan bahwa Zionisme memiliki kekhawatiran perihal delegitimasi. Kekhawatiran-kekhawatiran ini kemudian membentuk mentalitas dan cara pandang kaum Zionis terhadap segala aspek di luar kehidupan mereka. Maka darinya, bahasa-bahasa perundingan tidak akan bisa mendudukkan Israel, karena jauh di dalam diri mereka terdapat sebuah rasa khawatir dan ketakutan yang berkepanjangan.

Untuk menarik dukungan penuh secara terorganisir, Zionisme berupaya untuk menarik perhatian generasi muda dengan isu-isu sekulerisme dan memanfaatkan isu-isu kemanusiaan yang dikembangkan dalam parade-parade LGBT. Noam Chomsky juga berpendapat bahwa masyarakat dunia tidak dapat memisahkan Israel dari Israel Raya, sebab Israel Raya adalah proyek utama Israel yang terus dijalankan. Pertama-tama adalah Dataran Tinggi Golan yang berada di Suriah lalu ke berbagai daerah lainnya di Timur Tengah. Sebenarnya dengan melihat kondisi Israel yang hanya berbicara dengan bahasa perang bisa diambil kesimpulan bahwa masa depan Israel begitu rapuh. Salah satu indikasi lainnya adalah sejumlah warga Israel berupaya mendapatkan paspor ganda.
Tidak ada jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan yang terjadi di Palestina tanpa membongkar kedok proses perdamaian palsu dan usangnya solusi dua negara. Ilan Pappe menekankan dengan mengatakan “Saatnya mencari kunci di tempat kita kehilangan”, upaya mengamati proses penyelesaian sengketa Palestina haruslah dimulai dari mengidentiifikasi permasalahan secara tepat yaitu dengan membongkar kedok Zionisme sebagai bentuk kolonialis dan tentu saja dengan menggambarkan Israel sebagai negara Rasis apartheid.
Ada hal yang berbeda antara apa yang terjadi di Palestina dan Afrika Selatan. Warga kulit hitam di Afrika Selatan merupakan pendorong karena mereka merupakan kelas pekerja, pelayan atau bahkan budak. Kolonial harus mempertahankan warga kulit hitam hal ini sama seperti pemilik budak yang harus mempertahankan pekerja utamanya. Namun, Israel tidak punya sikap demikian terhadap Palestina. Israel tidak menginginkan warga Palestina dengan alasan apa pun. Jika warga Palestina meninggal, tidak apa-apa. Jika warga Palestina pergi, juga tidak apa-apa. Bahkan, warga Palestina merupakan ancaman eksistensial bagi Israel.
Israel tidak memiliki masa depan apapun, saat ini generasi Israel sudah memasuki generasi ke-empat dan ke-lima. Generasi mudanya dididik dan dibesarkan dengan doktrin rasial, sikap mereka mereka tentu adalah sikap brutalitas karena generasi mudanya melihat bagaimana seluruh dunia membenci mereka. Warga Israel hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran yang tidak ada hentinya, mereka hidup sembari memegang senjata dan terus membayangkan kehidupan yang utopis.
Souce :
- The Ethnic Cleansing : Ilan Pappe
- Current History : Michael C. Hudson
- On Palestine : Noam Chomsky and Ilan Pappe
