Uncategorize

Rasionalitas dan Komunikasi Empatik dalam Masyarakat Kontemporer

Oleh: Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)

Di era kontemporer yang penuh dengan polarisasi, konflik sosial, dan tantangan global seperti perubahan iklim serta ketidaksetaraan, rasionalitas saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Para pemikir di bidang komunikasi empatik menekankan bahwa rasionalitas harus dipadukan dengan empati—kemampuan untuk memahami dan merasakan perspektif orang lain—agar dialog masyarakat menjadi lebih inklusif dan efektif. Pandangan ini bukan hanya teori abstrak, melainkan alat praktis untuk membangun harmoni sosial. Melalui lensa pemikir seperti Jürgen Habermas, Jeremy Rifkin, Daniel Goleman, Marshall Rosenberg, dan Carl Rogers, kita dapat melihat bagaimana integrasi rasionalitas dan komunikasi empatik menjadi kunci dalam mengelola dinamika masyarakat modern.

Jürgen Habermas, filsuf Jerman yang terkenal dengan teori tindakan komunikatif, memandang rasionalitas bukan sebagai alat instrumental semata—seperti mencapai tujuan pribadi—melainkan sebagai “rasionalitas komunikatif” yang muncul dari dialog antarindividu.Menurut Habermas, dalam masyarakat kontemporer yang post-metafisik—di mana tradisi dan agama tidak lagi memberikan jawaban mutlak—rasionalitas tercapai melalui komunikasi yang saling memvalidasi klaim kebenaran, kebenaran Empati memainkan peran krusial di sini, karena dialog efektif membutuhkan pemahaman perspektif “kita” (WE), “itu” (IT), dan “aku” (I), di mana peserta harus bisa “berdiri di sepatu orang lain” untuk mencapai konsensus. Dalam isu seperti demokrasi deliberatif, Habermas berargumen bahwa tanpa empati, rasionalitas berubah menjadi manipulasi, seperti yang terlihat dalam polarisasi politik hari ini di mana debat sering kali berujung pada konflik daripada solusi. Pandangannya ini relevan untuk mengelola dinamika masyarakat, seperti dalam penyelesaian konflik sosial di era media sosial, di mana komunikasi empatik dapat mencegah eskalasi kekerasan dengan mendorong pertanggungjawaban atas klaim yang diajukan.

Sementara itu, Jeremy Rifkin, seorang pemikir ekonomi dan sosial, memperluas gagasan ini melalui konsep “peradaban empatik” (empathic civilization). Rifkin berpendapat bahwa manusia secara biologis “terprogram” untuk empati, dibuktikan oleh neuron cermin yang memungkinkan kita merasakan emosi orang lain seolah-olah milik kita sendiri. Dalam masyarakat kontemporer, empati berkembang seiring revolusi komunikasi dan energi, dari ikatan darah hingga solidaritas global. Namun, Rifkin mengkritik rasionalitas Pencerahan yang berfokus pada kepentingan diri sendiri, karena itu gagal menjelaskan respons empati massal seperti bantuan internasional pasca-bencana. Menurutnya, untuk mengatasi isu seperti perubahan iklim, rasionalitas harus dipadukan dengan empati biosphere—pemahaman bahwa kita semua rentan terhadap kematian dan kerapuhan hidup. Ini menciptakan solidaritas yang melampaui batas nasional, seperti dalam gerakan lingkungan global di mana empati mendorong tindakan kolektif, bukan hanya perhitungan untung-rugi.

Daniel Goleman, psikolog yang mempopulerkan konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence), menambahkan dimensi praktis. Goleman membagi kecerdasan emosional menjadi lima komponen: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Dalam konteks masyarakat kontemporer, empati—kemampuan kognitif dan emosional untuk memahami perasaan orang lain—adalah jembatan antara rasionalitas dan hubungan manusiawi. Goleman berargumen bahwa pemimpin yang rasional tapi kurang empati sering gagal mengelola tim atau masyarakat, karena mereka mengabaikan biaya sosial dari keputusan mereka, seperti stres kolektif dalam krisis ekonomi. Studi menunjukkan bahwa empati kognitif berkorelasi positif dengan pemikiran rasional, sementara empati emosional yang berlebih bisa menghambatnya, sehingga keseimbangan diperlukan. Dalam dinamika sosial seperti pandemi atau ketidaksetaraan, Goleman menekankan bahwa komunikasi empatik meningkatkan kohesi masyarakat, mencegah alienasi, dan mendorong altruistik, sehingga rasionalitas menjadi lebih inklusif.

iklan

Marshall Rosenberg, pencipta Komunikasi Non-Kekerasan (Nonviolent Communication atau NVC), fokus pada empati sebagai alat untuk mengurangi kekerasan dalam komunikasi sehari-hari. Rosenberg percaya bahwa semua manusia memiliki kapasitas empati dan kasih sayang, tapi sering tergantikan oleh bahasa yang menghakimi.NVC melibatkan empat langkah: observasi, perasaan, kebutuhan, dan permintaan, di mana empati—termasuk self-empathy—menjadi pondasi untuk pemahaman mutual. Dalam masyarakat kontemporer yang penuh konflik, seperti isu rasial atau politik, Rosenberg berpendapat bahwa rasionalitas tanpa empati menyebabkan kekerasan, karena orang fokus pada “benar-salah” daripada kebutuhan bersama. Pelatihan NVC telah terbukti meningkatkan empati subjektif, membantu mengelola dinamika seperti perselisihan komunal atau hubungan kerja. Pandangannya ini menawarkan solusi praktis: dengan empati, rasionalitas berubah dari konfrontasi menjadi kolaborasi.

Terakhir, Carl Rogers, psikolog humanistik, menekankan “pemahaman empatik yang akurat” sebagai inti dari terapi berpusat pada orang (person-centered therapy). Rogers melihat empati sebagai pengalaman intersubjektif di mana pendengar memahami perspektif internal orang lain tanpa penghakiman, memadukan empati dengan kondisi lain seperti kongruensi dan penghargaan positif tanpa syarat. Dalam masyarakat kontemporer, Rogers berargumen bahwa komunikasi seperti ini mendewasakan individu dan kelompok, karena empati memungkinkan pertumbuhan diri dan resolusi konflik. Misalnya, dalam isu kesehatan mental pasca-pandemi, pemahaman empatik membantu mengurangi stigma, sementara rasionalitas sendirian bisa terlihat dingin. Rogers percaya bahwa empati tidak berbeda antara terapi dan hubungan sehari-hari, sehingga relevan untuk dinamika sosial seperti dialog antar-kelompok.

Secara keseluruhan, para pemikir ini sepakat bahwa di dunia kontemporer yang kompleks, rasionalitas tanpa komunikasi empatik berisiko menciptakan masyarakat yang terfragmentasi. Habermas dan Rifkin menyoroti skala global, Goleman dan Rosenberg fokus pada aplikasi pribadi dan sosial, sementara Rogers menekankan aspek humanistik. Integrasi ini bukan hanya ideal, melainkan kebutuhan: empati membuat rasionalitas lebih manusiawi, mencegah konflik, dan mendorong solusi berkelanjutan. Di tengah krisis seperti polarisasi digital atau ketidakadilan sosial, pesan mereka jelas—mari bangun masyarakat melalui dialog yang rasional dan penuh hati, bukan ego semata.

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekretaris Dewan Syura IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button