Ketika Surga Menebar Aromanya Melewati Sains

Oleh: Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)
Sebuah Surat Dari Eben Alexander
Bayangkan sejenak: Anda adalah seorang ilmuwan yang teguh memegang prinsip materialisme, di mana segala sesuatu di alam semesta ini hanyalah hasil dari interaksi partikel-partikel fisik, dan kesadaran hanyalah produk sampingan dari otak yang kompleks. Kematian? Hanyalah akhir dari segalanya, sebuah kegelapan abadi tanpa harapan atau misteri.
Saya pernah berada di posisi itu—sebagai seorang neurosurgeon yang telah memotong dan mempelajari otak manusia selama bertahun-tahun, saya yakin bahwa jiwa, surga, atau kehidupan setelah mati hanyalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang putus asa. Namun, pengalaman saya sendiri, yang terjadi pada musim gugur 2008, meruntuhkan tembok skeptisisme itu dengan cara yang tak terbayangkan.
Saya, Eben Alexander, mengalami apa yang disebut pengalaman mendekati kematian (near-death experience, NDE), dan melalui itu, surga seolah menebar aromanya yang harum, melewati batas-batas sains yang saya anggap tak tergoyahkan.
Semuanya dimulai ketika saya terjangkit meningitis bakteri Escherichia coli yang langka dan mematikan. Otak saya, khususnya neokorteks—bagian yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional, bahasa, dan kesadaran—sepenuhnya mati. Dokter-dokter, termasuk rekan-rekan saya di Lynchburg General Hospital, Virginia, memprediksi kematian saya.
Saya berada dalam koma selama tujuh hari penuh, dengan ventilator yang menjaga napas saya. Secara medis, saya seharusnya tidak ingat apa-apa; otak saya tidak berfungsi, seperti mesin yang dimatikan total. Namun, di tengah kegelapan itu, saya mengalami perjalanan yang begitu hidup, begitu nyata, yang melampaui segala hal yang pernah saya pelajari di sekolah kedokteran.
Saya ingat melayang ke atas, meninggalkan tubuh saya yang lemah di ranjang rumah sakit. Dunia yang saya masuki bukanlah mimpi kabur atau halusinasi yang disebabkan oleh obat-obatan—saya tahu itu, karena sebagai neurosurgeon, saya memahami bagaimana ketamine atau DMT bisa memicu penglihatan semu, tapi kondisi saya saat itu tidak memungkinkan hal itu. Neokorteks saya rusak parah; tidak ada basis biologis untuk pengalaman seperti itu. Di sana, di alam yang saya sebut “Core” atau inti, saya merasakan kasih sayang tak terbatas, koneksi ilahi yang lebih nyata daripada apa pun di dunia fisik ini. “Our eternal spiritual self is more real than anything we perceive in this physical realm, and has a divine connection to the infinite love of the Creator,” begitulah yang saya rasakan dengan mendalam. Itu bukanlah khayalan; itu adalah realitas yang melampaui batas otak material.
Bagi Anda yang skeptis, yang berpegang pada reduksionisme sains—di mana segala fenomena bisa direduksi menjadi proses fisik—pengalaman ini mungkin terdengar seperti cerita fiksi. Sam Harris, seorang neurosains yang saya hormati, menyebutnya “alarmingly unscientific,” menyalahkan pada kemungkinan halusinasi dari neurotransmitter seperti DMT atau efek ketamine. Oliver Sacks, neurolog terkenal, berpendapat bahwa ini mungkin hanya saat otak saya mulai pulih di awal koma. Saya paham keraguan itu; saya pernah menjadi bagian dari komunitas itu. Tapi mari kita teliti lebih dalam.
Dalam buku saya, Proof of Heaven: A Neurosurgeon’s Journey into the Afterlife, saya menjelaskan bahwa kondisi meningitis saya membuat neokorteks saya benar-benar tidak aktif—bukan sekadar koma medis yang diinduksi, tapi kegagalan total yang seharusnya menghapus kesadaran. Namun, pengalaman saya justru lebih jelas daripada kehidupan sehari-hari, dengan detail yang tak bisa dijelaskan oleh ilusi kimiawi. Ini menantang paradigma materialis: jika kesadaran bergantung sepenuhnya pada otak, bagaimana saya bisa “melihat” dan “merasa” ketika otak saya mati?
Kritik lain datang dari investigasi Esquire pada 2013, yang menyoroti masa lalu saya—termasuk tuntutan malpraktik dan dugaan ketidaksesuaian dalam catatan medis. Mereka mengklaim saya salah menggambarkan penyebab koma saya, dan bahwa saya sadar sebelum diinduksi koma. Saya akui, masa lalu saya tidak sempurna; sebagai manusia, saya pernah melakukan kesalahan. Tapi artikel itu memetik ceri informasi untuk mendiskreditkan saya, sementara pesan inti pengalaman saya tetap utuh. Saya bukanlah orang suci, tapi pengalaman itu mengubah saya dari agnostik menjadi orang yang percaya pada keberadaan Tuhan dan malaikat. Ini bukan tentang saya pribadi; ini tentang bukti bahwa kesadaran melampaui tubuh fisik.
Sekarang, bayangkan jika pengalaman seperti ini bukanlah anomali. Bruce Greyson, seorang psikiater dan pionir penelitian NDE, telah mendokumentasikan ribuan kasus serupa. Dalam pendekatannya yang empati dan berbasis bukti, Greyson menunjukkan bahwa NDE seringkali mengubah pandangan hidup orang-orang, membuat mereka lebih penuh kasih dan kurang takut pada kematian. “We read this all the time from people who have near-death experiences, that time is not linear but instead everything [past, present, future] happens simultaneously,” katanya, menantang konsep waktu materialis. Penelitiannya, termasuk Skala Greyson untuk mengukur NDE, menunjukkan bahwa pengalaman ini bukan sekadar halusinasi; mereka memiliki pola konsisten yang tidak bisa dijelaskan oleh sains reduksionis semata.
Bagi Anda yang sulit percaya, izinkan saya berbicara dari hati: Pengalaman ini seperti aroma surga yang menyusup melalui celah-celah sains yang ketat. Itu bukanlah penolakan terhadap sains—saya tetap seorang ilmuwan—tapi undangan untuk memperluasnya. “My experience showed me that the death of the body and the brain are not the end of consciousness, that human experience continues beyond the grave,” dan ini lebih penting daripada yang bisa dibayangkan. Jika otak saya yang mati bisa membuka pintu ke kasih ilahi yang tak terbatas, bayangkan apa yang menanti kita semua. Biarkan aroma itu menyentuh hati Anda; mungkin, di balik keraguan, ada kebenaran yang lebih besar menunggu untuk ditemukan.

Analisis Sains dan Filsafat
Narasi Dr. Eben Alexander dalam “Ketika Surga Menebar Aromanya Melewati Sains” bukan sekadar kisah personal; ia adalah sebuah batu uji yang dilemparkan ke kolam tenang materialisme saintifik. Pengalaman Mendekati Kematian (Near-Death Experience/NDE) yang dialaminya, yang diklaim terjadi saat neokorteksnya sepenuhnya non-aktif, memicu perdebatan mendalam yang menjembatani raniah ilmu saraf, filsafat, dan teologi. Dari teks ini, kita dapat menyaring lima argumen terkuat yang menantang pandangan materialis tentang kesadaran dan mendukung kemungkinan kehidupan setelah mati.
1. Argumen dari Kesadaran yang Berfungsi Tanpa Aktivitas Neural (The Argument from Functioning Consciousness without Neural Activity)
Ini merupakan argumen inti dan paling kuat dari klaim Alexander. Paradigma materialis dalam ilmu saraf berpendapat bahwa kesadaran adalah produk emergent dari otak; ia tidak dapat ada tanpa aktivitas neural yang kompleks. Alexander menantang ini secara langsung dengan menyatakan bahwa selama koma tujuh harinya, neokorteksnya—pusat pemikiran tinggi, bahasa, dan kesadaran diri—”sepenuhnya mati” dan “tidak berfungsi” akibat meningitis bakteri. Secara medis, ini seharusnya membuat pengalaman subjektif apa pun menjadi mustahil. Namun, ia menggambarkan pengalaman yang “lebih jelas daripada kehidupan sehari-hari,” terstruktur, dan koheren.
Argumen filosofisnya sederhana namun powerful: jika sebab (otak) hilang, maka efeknya (kesadaran) seharusnya juga hilang. Keberadaan kesadaran yang hidup dan mendalam justru ketika sebabnya absent menjadi bukti kuat bahwa kesadaran mungkin bukan sekadar produk otak, melainkan entitas yang dapat beroperasi independen darinya, yang bertahan setelah kematian fisik.
2. Argumen dari Realitas yang Melampaui Halusinasi (The Argument from Super-Realism vs. Hallucination)
Alexander, sebagai seorang neurosurgeon, secara khusus membantah penjelasan halusinasi. Ia memahami mekanisme halusinogen seperti DMT atau ketamine dan dengan tegas menyatakan bahwa pengalamannya “bukanlah mimpi kabur atau halusinasi”. Ia membedakan NDE-nya dari pengalaman yang diinduksi obat berdasarkan kualitas realitasnya yang “lebih nyata daripada apa pun di dunia fisik ini”. Secara filosofis, ini menyentuh masalah “qualia”—kualitas subjektif dari pengalaman. Para filsuf seperti Thomas Nagel berargumen bahwa pengalaman subjektif memiliki realitasnya sendiri yang tidak dapat direduksi sepenuhnya ke proses fisik.
Alexander memperluas ini: jika suatu pengalaman secara subjektif lebih real, koheren, dan transformatif daripada persepsi normal, dan terjadi dalam kondisi di mana mekanisme untuk menghasilkan halusinasi (neokorteks) rusak, maka klaim bahwa itu “hanya halusinasi” menjadi lemah. Ini menunjukkan bahwa NDE mungkin merupakan akses ke lapisan realitas yang lebih mendasar, bukan sekadar noise neural.
3. Argumen dari Transformasi Eksistensial dan Konsistensi (The Argument from Existential Transformation and Consistency)
Alexander mengacu pada karya Bruce Greyson, seorang pionir penelitian NDE, untuk memperkuat klaimnya. Greyson tidak hanya mengumpulkan laporan anekdotal tetapi mengembangkan “Skala Greyson” yang empiris untuk mengukur dan membandingkan NDE. Penelitiannya menunjukkan bahwa NDE bukanlah pengalaman acak, melainkan memiliki “pola konsisten” yang melintas budaya dan latar belakang—seperti perjalanan melalui terowongan, pertemuan dengan makhluk cahaya, tinjauan kehidupan, dan perasaan damai yang mendalam. Lebih penting lagi, efek transformatifnya konsisten: orang seringkali kehilangan ketakutan akan kematian dan menjadi lebih penuh kasih.
Transformasi radikal Alexander sendiri—dari seorang materialis menjadi percaya pada “Tuhan dan malaikat”—adalah contohnya. Konsistensi pola dan dampak ini menyarankan bahwa NDE berakar pada suatu realitas objektif (non-fisik) yang universal, bukan sekadar konstruksi psikologis yang acak, yang mengisyaratkan suatu alam keberadaan yang terus berlangsung.
4. Argumen dari Sifat Waktu Non-Linear (The Argument from Non-Linear Temporality)
Salah satu tantangan paling radikal terhadap pandangan dunia materialis datang dari persepsi waktu dalam NDE. Alexander mengutip Greyson yang menyatakan, “waktu tidak linear tetapi segala sesuatu [masa lalu, kini, masa depan] terjadi secara simultan”. Persepsi waktu linear—sebab dan akibat yang berurutan—adalah fondasi dari sains empiris. Jika kesadaran dapat mengalami waktu sebagai suatu keutuhan yang non-linear ketika terlepas dari batasan otak, ini memiliki implikasi filsafat yang mendalam.
Hal ini selaras dengan pandangan filosofis idealis (seperti dalam filsafat Plato atau dalam interpretasi tertentu terhadap mekanika kuantum) bahwa waktu sebagaimana kita alami hanyalah penampakan dari suatu realitas yang lebih tinggi yang bersifat kekal. Kemampuan kesadaran untuk mengalami mode waktu ini saat otak “mati” merupakan argumen bahwa kesadaran berpartisipasi dalam realitas yang melampaui dunia fisik yang fana.
5. Argumen dari Kasih Ilahi sebagai Realitas Fundamental (The Argument from Divine Love as Fundamental Reality)
Terakhir, dan paling subjektif namun paling persuasif secara personal, adalah argumen dari isi pengalaman itu sendiri. Alexander menggambarkan dirinya tenggelam dalam “kasih sayang tak terbatas” dan “koneksi ilahi”. Ia menyimpulkan, “Diri spiritual kita yang abadi lebih nyata daripada apa pun yang kita persepsikan di alam fisik ini”. Di sini, ia beralih dari argumen sains ke argumen filosofis-teologis. Jika kita menerima bahwa pengalamannya nyata, maka ia tidak hanya membuktikan kelangsungan kesadaran, tetapi juga tentang sifat realitas ultimate.
Realitas tertinggi, menurut kesaksiannya, bukanlah materi yang dingin dan acak, tetapi kesadaran yang penuh kasih. Ini adalah argumen dari wahyu personal yang memiliki preseden dalam filsafat (seperti ide Plato tentang Yang Baik) dan mistisisme agama. Ini menawarkan jawaban terhadap kehausan manusia akan makna: kematian bukanlah akhir yang gelap, tetapi transisi menuju suatu keadaan kasih yang lebih agung.
Kelima argumen dari teks Alexander—yang berbasis pada anomali neurologis, kualitas pengalaman, konsistensi empiris, sifat waktu, dan isi transcendental—secara kolektif membangun kasus yang tangguh. Mereka tidak “membuktikan” kehidupan setelah mati dalam istilah sains yang ketat, tetapi mereka secara efektif meruntuhkan keyakinan materialis bahwa bukti itu mustahil.
Argumen-argumen ini mengajak kita untuk memperluas kerangka ilmiah dan filosofis kita, menerima kemungkinan bahwa kesadaran mungkin merupakan kekuatan fundamental dalam alam semesta, yang pada akhirnya tidak terikat pada tubuh fisik dan karena itu dapat bertahan setelah kematian. Seperti kata Alexander, ini bukanlah penolakan terhadap sains, melainkan undangan untuk menjangkau lebih jauh, mungkin hingga ke “aroma surga” itu sendiri.
Bagaimana Pandangan Filsafat?
Pengalaman Dr. Eben Alexander menyajikan sebuah tantangan empiris-modern terhadap materialisme. Namun, pertanyaan tentang kehidupan setelah mati telah digumuli oleh para filsuf sepanjang sejarah. Berikut adalah sepuluh argumen terkuat dari Filsafat Perenial, Yunani, Islam, Abad Pertengahan, dan Barat yang membuktikan atau mendukung gagasan tersebut, sekaligus beresonansi dengan narasi Alexander.
1. Argumen Plato tentang Jiwa yang Immaterial dan Abadi (Filsafat Yunani)
Dalam dialog-dialog seperti Phaedo, Plato berargumen bahwa jiwa (psyche) pada dasarnya berbeda dari tubuh. Jiwa bersifat immaterial, abadi, dan prarasional (sudah ada sebelum kelahiran). Pengetahuan tentang bentuk-bentuk abstrak (seperti matematika dan kebaikan) menunjukkan bahwa jiwa telah mengamati Realitas Abadi sebelum terperangkap dalam tubuh.
Kematian hanyalah pelepasan jiwa dari penjara tubuh menuju dunia ide. Argumen ini sangat terkait dengan klaim Alexander bahwa “Diri spiritual kita yang abadi lebih nyata” daripada dunia fisik, menunjukkan bahwa kesadaran adalah entitas non-fisik yang tidak bergantung pada otak.

2. Argumen Aristoteles tentang Intelek Aktif (Filsafat Yunani)
Meski Aristoteles lebih naturalis, dalam De Anima ia membedakan antara jiwa sebagai bentuk tubuh (yang binasa) dan Nous Poietikos (Intelekt Aktif). Intelekt ini bersifat ilahi, abadi, dan datang dari “luar” untuk memungkinkan pemikiran murni. Ia tidak bergantung pada tubuh dan bertahan setelah kematian.
Konsep ini selaras dengan pengalaman Alexander yang neokorteksnya (pusat pemikiran biologis) mati, tetapi kesadarannya justru mengalami pemahaman yang lebih tinggi dan langsung, seolah-olah dioperasikan oleh suatu “intelek” yang melampaui alat fisiknya.
3. Argumen Plotinus tentang Emanasi Jiwa dari Yang Esa (Neoplatonisme)
Plotinus, tokoh utama Neoplatonisme, menjelaskan bahwa seluruh realitas merupakan emanasi (pelimpahan) dari “Yang Esa” (The One) yang transenden. Jiwa individu berasal dari Jiwa Dunia dan pada akhirnya akan berepulasi (reunifikasi) dengan Sumbernya melalui pengalaman ekstatis. Pengalaman Alexander di “Core” yang penuh dengan kasih tak terbatas dan koneksi ilahi adalah gambaran sempurna dari filosofi ini. Ia tidak kehilangan diri, tetapi justru menyatu dengan realitas yang lebih besar dan penuh kasih.
4. Argumen Thomas Aquinas tentang Jiwa sebagai Bentuk Substansial Tubuh (Filsafat Abad Pertengahan)
Menggabungkan Aristoteles dengan teologi Kristen, Aquinas berargumen bahwa jiwa manusia adalah forma substantialis (bentuk substansial) dari tubuh. Namun, karena jiwa manusia memiliki kapasitas untuk memahami realitas universal yang non-materi (seperti Tuhan dan kebenaran abstrak), ia harus bersifat immaterial dan subsisten.
Karena immaterial, jiwa tidak dapat hancur seperti benda materi dan karenanya abadi. Ini menjawab skeptisisme materialis: otak (materi) adalah alat yang digunakan jiwa (yang immaterial) untuk beroperasi di dunia fisik. Kerusakan otak (seperti pada Alexander) tidak memusnahkan jiwa, hanya melepaskannya.
5. Argumen Ibn Sina (Avicenna) tentang Manusia Terbang (Filsafat Islam)
Ibn Sina merancang sebuah argumen pemikiran yang brilian: “Manusia Terbang” (Flying Man). Bayangkan seorang manusia diciptakan dewasa secara tiba-tiba di udara, dengan indra tertutup dan tidak menyentuh tubuhnya sendiri. Meski demikian, ia akan tetap menyadari eksistensi dirinya sendiri. Ini membuktikan bahwa kesadaran-diri (self-awareness) tidak bergantung pada persepsi tubuh atau dunia fisik.
Esensi jiwa adalah kesadaran murni yang independen. Pengalaman Alexander di luar tubuh (Out-of-Body Experience/OBE) adalah aktualisasi dari eksperimen pemikiran ini; kesadarannya tetap ada dan bahkan lebih jernih ketika terlepas sepenuhnya dari input sensorik dan tubuh fisiknya yang rusak.
6. Argumen Al-Ghazali tentang Kebangkitan Jasmani dan Ruhani (Filsafat Islam)
Imam Al-Ghazali, dalam The Incoherence of the Philosophers, membela doktrin kebangkitan jasmani. Ia berargumen bahwa jika Tuhan sanggup menciptakan manusia dari ketiadaan pada kali pertama, tidak ada alasan logis yang menghalangi-Nya untuk mengumpulkan kembali atom-atom tubuh yang telah tercerai-berai untuk dibangkitkan.
Keyakinan ini memperkuat konsep bahwa kehidupan setelah kematian bukanlah suatu abstraksi, tetapi kelanjutan personal yang nyata. Ini memberi kerangka teologis bagi klaim Alexander bahwa “pengalaman manusia terus berlanjut setelah kubur”.

7. Argumen Immanuel Kant tentang Postulat Akal Praktis (Filsafat Barat Modern)
Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat mengetahui (theoretically reason) kehidupan setelah mati, tetapi kita harus mempercayainya (practical reason) sebagai postulat akal praktis. Untuk dunia yang adil secara moral, di mana kebajikan pada akhirnya sepadan dengan kebahagiaan (summum bonum), harus ada kehidupan setelah kematian di mana jiwa abadi dapat mencapainya. Keyakinan ini adalah fondasi moralitas.
Transformasi Alexander dan banyak penyintas NDE lainnya—menjadi lebih penuh kasih dan kurang takut—menunjukkan bagaimana pengalaman langsung tentang “surga” dapat memenuhi postulat Kantian ini, memberikan dasar moral yang dalam bagi perilaku manusia.
8. Argumen dari Moralitas dan Keadilan Ilahi (Filsafat Perenial)
Ini adalah argumen yang universal: dunia ini penuh dengan ketidakadilan yang jelas, di mana orang jahat sering makmur dan orang baik menderita. Akal manusia membangunkan bahwa harus ada pengadilan akhir di mana keseimbangan moral dipulihkan. Tanpa kehidupan setelah kematian, alam semesta secara moral tidak masuk akal.
Pikiran kita yang terbatas tidak dapat menerima finalitas kematian sebagai akhir dari sebuah narasi moral yang belum selesai. Pengalaman “tinjauan kehidupan” yang umum dalam NDE, di mana seseorang menilai perbuatannya sendiri, merefleksikan prinsip keadilan ilahi ini.
9. Argumen Rudolf Otto tentang Yang Kudus (The Numinous) (Filsafat Barat Modern)
Rudolf Otto, dalam The Idea of the Holy, mendeskripsikan pengalaman religious sebagai perjumpaan dengan Mysterium Tremendum et Fascinans— suatu misteri yang menggetarkan sekaligus memesona. Pengalaman ini bersifat a priori (ada dalam struktur pikiran manusia) dan menunjukkan realitas yang sama sekali lain (ganz andere).
Pengalaman Alexander di “Core” adalah contoh textbook dari pengalaman numinous: perasaan kagum, ketakutan yang positif, dan ditarik oleh kasih yang memesona dari Sang Pencipta. Otto akan berargumen bahwa universalitas dan kekuatan pengalaman seperti ini adalah bukti indirect untuk realitas transenden yang menjadi sumbernya.
10. Argumen dari Kerinduan Transendental (Filsafat Perenial)
Blaise Pascal menyatakan bahwa ada “lubang berbentuk Tuhan” dalam hati manusia yang tidak dapat diisi oleh hal duniawi manapun. C.S. Lewis berargumen bahwa jika kita menemukan kerinduan yang tidak terpuaskan oleh hal apa pun di dunia ini, maka kemungkinan besar kita diciptakan untuk dunia lain.
Kerinduan manusia akan makna, keabadian, dan kasih sempurna adalah petunjuk bahwa kita ditujukan untuk suatu tujuan yang melampaui eksistensi fana ini. Alexander, yang sebelumnya adalah seorang materialis, menemukan bahwa kerinduannya terpuaskan hanya dalam pengalaman transendennya, yang mengisyaratkan bahwa “aroma surga” itu sesuai dengan bentuk “lubang” dalam kesadaran manusia.
Kesepuluh argumen filsafat ini membentuk sebuah tradisi pemikiran yang kaya dan berlapis yang mendahului dan memperkuat klaim Dr. Alexander. Mereka menunjukkan bahwa pertanyaan tentang kehidupan setelah mati bukanlah hal baru atau tidak ilmiah, tetapi merupakan pencarian mendalam yang telah membentuk pemikiran manusia selama ribuan tahun. Pengalaman Alexander memberikan, bagi banyak orang, bukti empiris kontemporer yang beresonansi dengan kebijaban abadi dari para filsuf ini, menegaskan bahwa kesadaran mungkin memang merupakan pengembara abadi yang sedang singgah sebentar di dunia materi.
Bagaimana Pandangan Al-Qur’an?
Pengalaman transendental Dr. Eben Alexander dan argumen filsafat sepanjang zaman menemukan puncak penjelasannya dalam wahyu Ilahi. Al-Qur’an tidak hanya menyatakan keberadaan kehidupan setelah mati (alam akhirat) sebagai sebuah keyakinan, tetapi juga menyajikan logika, bukti, dan gambaran yang sangat kuat yang beresonansi dengan akal dan fitrah manusia.
Ayat-ayatnya menjawab keraguan materialis dan mengukuhkan gagasan tentang jiwa yang abadi. Berikut adalah lima hingga sepuluh ayat Al-Qur’an yang menggambarkan argumen-argumen sains dan filsafat tentang adanya kehidupan setelah mati.
1. Surah As-Sajdah (32): 9 – Argumen Penciptaan dan Pembangkitan Kembali
ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَـٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ قَلِيلًۭا مَّا تَشْكُرُونَ
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani; tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.”
Ayat ini membedakan secara jelas antara tubuh jasmani (“menyempurnakannya”) dan roh (ruh) yang ditiupkan langsung dari Allah. Ini selaras dengan argumen filsafat Islam Ibn Sina dan Aquinas bahwa manusia adalah perpaduan materi dan immaterial spirit. Jika sumber roh adalah dari Allah, maka logis bahwa ia akan kembali kepada-Nya.
Ayat ini juga menjadi jawaban bagi yang meragukan kebangkitan: Jika Allah sanggup menciptakan manusia dari ketiadaan pada kali pertama, yang jauh lebih sulit, maka membangkitkannya kembali untuk kali kedua adalah hal yang mudah. Ini adalah argumen logis yang sering diulang dalam Al-Qur’an.
2. Surah YaSin (36): 77-79 – Argumen dari Kemahapengetahuan dan Kekuasaan Ilahi
أَوَلَمْ يَرَ ٱلْإِنسَـٰنُ أَنَّا خَلَقْنَـٰهُ مِن نُّطْفَةٍۢ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌۭ مُّبِينٌۭ. وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًۭا وَنَسِىَ خَلْقَهُۥ ۖ قَالَ مَن يُحْىِ ٱلْعِظَـٰمَ وَهِىَ رَمِيمٌۭ. قُلْ يُحْيِيهَا ٱلَّذِىٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada penciptaannya. Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pada kali pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.”
Ayat ini secara langsung menjawab keraguan kaum materialis—seperti posisi awal Dr. Alexander—yang hanya percaya pada apa yang bisa dilihatnya. Keraguan, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur?” adalah pertanyaan materialis-reduksionis. Jawaban Al-Qur’an brilian: “Tuhan yang menciptakannya pada kali pertama.”
Ini adalah argumen dari kemahapengetahuan dan kekuasaan Ilahi. Logikanya tidak terbantahkan: Sang Pencipta awal, yang memiliki pengetahuan sempurna tentang setiap partikel penyusun tubuh manusia, pasti mampu untuk menyatukannya kembali. Ini memperkuat argumen filsuf seperti Al-Ghazali.
3. Surah Al-Waqi’ah (56): 83-85 – Gambaran Saat-Saat Kematian dan Kebenaran Jiwa
فَلَوْلَآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ. وَأَنتُمْ حِينَئِذٍۢ تَنظُرُونَ. وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَـٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu pada waktu itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.”
Ayat ini menggambarkan momen kritis kematian dengan presisi yang menakjubkan. Saat nyawa berada di hulqum (kerongkongan/ujung tenggorokan), orang-orang di sekelilingnya hanya bisa “melihat” secara fisik, tetapi tidak dapat menangkap realitas sebenarnya yang terjadi. Allah menyatakan “Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu”. Ini sangat selaras dengan pengalaman Out-of-Body Experience (OBE) Dr. Alexander. Ia “melihat” tubuhnya dari atas, sementara para dokter hanya melihat tubuh fisiknya yang sekarat.
Ayat ini mengonfirmasi bahwa ada realitas lain—yang tidak terlihat oleh mata materi—di mana kesadaran justru menjadi lebih jernih dan dekat dengan Sang Pencipta saat kematian menjemput.
4. Surah Qaf (50): 22 – Penyingkapan Tabir dan Penglihatan Hakiki
لَّقَدْ كُنتَ فِى غَفْلَةٍۢ مِّنْ هَـٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ ٱلْيَوْمَ حَدِيدٌۭ
“Sesungguhnya kamu berada dalam kelalaian tentang (hari) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.”
Ayat ini berbicara tentang kondisi setelah kematian, di mana segala “tutup” atau “tabir” yang menyelimuti kesadaran manusia selama di dunia disingkapkan. Akibatnya, penglihatan dan pemahaman menjadi “sangat tajam” (hadiid). Ini adalah deskripsi sempurna dari inti pengalaman NDE. Dr. Alexander menggambarkan penglihatannya “lebih jelas daripada kehidupan sehari-hari”.
Selama hidup, otak dan indra bertindak sebagai filter yang membatasi persepsi kita terhadap realitas mutlak (seperti dalam ide Plato tentang gua). Kematian, dalam perspektif Al-Qur’an, adalah pelepasan dari filter itu, sehingga jiwa dapat melihat kebenaran dengan kejernihan yang belum pernah ada sebelumnya.
5. Surah Al-Isra’ (17): 49-51 – Menjawab Keraguan Materialis dengan Logika
وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا كُنَّا عِظَـٰمًۭا وَرُفَـٰتًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًۭا جَدِيدًۭا. قُل كُونُوا۟ حِجَارَةً أَوْ حَدِيدًا. أَوْ خَلْقًۭا مِّمَّا يَكْبُرُ فِى صُدُورِكُمْ ۚ فَسَيَقُولُونَ مَن يُعِيدُنَا ۖ قُلِ ٱلَّذِى فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ ۚ فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُءُوسَهُمْ وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هُوَ ۖ قُلْ عَسَىٰٓ أَن يَكُونَ قَرِيبًۭا
“Dan mereka berkata, “Apakah setelah kita menjadi tulang-belulang dan benda yang hancur, apakah benar-benar kita akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” Katakanlah, “Jadilah batu atau besi, atau makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu.” Maka mereka akan bertanya, “Siapa yang akan menghidupkan kita kembali?” Katakanlah, “Yang telah menciptakan kamu pada kali pertama.” Maka mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata, “Kapan itu?” Katakanlah, “Mudah-mudahan waktu itu dekat.”
Ayat ini adalah masterclass dalam berdebat dengan kaum materialis. Al-Qur’an mengakui betapa mustahilnya konsep kebangkitan bagi akal yang hanya terpaku pada materi. Bahkan, Al-Qur’an seolah menantang: “Silakan, anggap saja kamu menjadi materi yang paling sulit dihidupkan sekalipun, seperti batu atau besi!”
Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada kompleksitas materi, tetapi pada kekuasaan Sang Pencipta. Hukum sebab-akibat materialis tidak berlaku bagi Yang Maha Pencipta Hukum itu sendiri. Jawaban akhirnya sama dengan sebelumnya: “Dia yang menciptakan kamu pertama kali.” Ini meruntuhkan keraguan filosofis dengan logika yang sederhana namun sangat dalam.
Ayat-ayat Al-Qur’an ini tidak hanya menyajikan doktrin, tetapi sebuah kerangka logis dan gambaran empiris yang menakjubkan tentang realitas kehidupan setelah kematian. Mereka menjawab keraguan reduksionisme sains dengan argumen kemahapenciptaan, menyelaraskan dengan pengalaman OBE dan NDE melalui deskripsi yang akurat, dan memuaskan kerinduan filosofis akan keadilan dan makna dengan janji kebangkitan dan pengadilan yang pasti.
Pengalaman Dr. Eben Alexander, dengan semua detail ilmiahnya, menjadi seperti sebuah “contoh kasus” kontemporer yang mengkonfirmasi kebenaran abadi yang telah diwahyukan dalam Al-Qur’an. Ia adalah saksi bahwa apa yang digambarkan oleh Kitab Suci empat belas abad yang lalu—tentang terlepasnya kesadaran dari tubuh, tentang penglihatan yang menjadi tajam, dan tentang kedekatan dengan Realitas Ilahi—bukanlah alegori, tetapi laporan dari sebuah realitas yang hakiki, yang menunggu setiap manusia.
Setiap jiwa akan merasakan mati. Maka belumkah tiba waktunya bagi kita untuk menyambut kematian dengan hidup seindah mungkin, mengisinya dengan perkhidmatan dan kasih pada sesama manusia sembari merasakan KehadiranNya Yang Penuh Kasih dan menyambut kematian dengan kepasrahan yang autentik? Yaa Allah, jadikan kematian sebagai kabar gembira bak aroma mewangi surga bagi kami. Dan bimbing kami agar tersenyum indah dan mencapai puncak kebahagiaan, ketika saat itu tiba.
Bandung, 2 September 2025
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum…
