Mengapa Orang Cerdas Berdiri Bersama Iran
Selasa, 24 Juni 2025 – oleh Abdul Karim
“Apa yang menimpa Gaza adalah bencana buatan manusia. Dalam keterbukaannya, dalam keterlibatannya yang terang-terangan oleh begitu banyak pihak, bukan hanya melalui aksi, tetapi lebih-lebih lagi melalui kelambanan, ini adalah kejahatan luar biasa yang khas.”— Norman G. Finkelstein
Dunia hari ini sedang mengalami krisis bukan hanya karena perang dan pendudukan, tetapi karena kematian nurani. Ketika rumah-rumah dihancurkan, anak-anak dipenggal oleh rudal, dan kebohongan diputar seperti lagu latar berita internasional, menjadi penting bagi manusia yang berpikir untuk bertanya: siapa yang masih berdiri di sisi yang benar dari sejarah? Ketika Palestina terus berteriak dari balik reruntuhan rumah dan kamp pengungsi, dan negara-negara Arab beramai-ramai memilih diam, Iran justru berdiri tegak. Dan yang mengejutkan sebagian orang, dukungan terhadap Iran dalam konteks ini justru datang dari mereka yang paling rasional, paling membaca, dan paling sadar akan jebakan geopolitik dan etika global: orang-orang cerdas.
Dukungan terhadap Iran bukan didasarkan pada romantisme ideologi atau kepentingan sektarian. Dukungan ini tumbuh dari pembacaan kritis terhadap fakta, sejarah, dan kekejaman yang terlalu lama dibiarkan tanpa jawaban. Dalam Gaza: An Inquest into Its Martyrdom, Norman Finkelstein membedah bagaimana pembantaian terhadap rakyat Palestina bukanlah respons terhadap terorisme seperti yang selalu digembar-gemborkan, tetapi merupakan hasil dari kalkulasi politik yang dilakukan secara sadar oleh elite Israel, dengan dukungan moral dan militer dari negara-negara besar. Finkelstein menyebutnya sebagai “kejahatan luar biasa” yang dilakukan di siang hari bolong, disaksikan dunia, tapi tak dihentikan karena dunia telah menjadi penonton yang dibutakan oleh propaganda. Di tengah dunia yang telah menyerah pada retorika palsu ini, Iran menolak ikut serta dalam kebisuan kolektif itu.
Orang-orang yang memahami bagaimana kekuasaan bekerja di tingkat global tidak akan mudah tertipu oleh narasi ‘perang melawan teror’. Dalam The Tragedy of Great Power Politics, John J. Mearsheimer menjelaskan bahwa dunia ini tidak dikendalikan oleh nilai-nilai universal, tetapi oleh persaingan kekuasaan antar negara besar. Dalam kerangka ini, negara-negara besar cenderung mempertahankan dominasinya melalui penaklukan, aliansi semu, dan rekayasa narasi. Israel adalah salah satu proyeksi dari kekuatan hegemonik Barat, dan Palestina adalah simbol dari korban yang terus-menerus diciptakan agar mesin kekuasaan ini tetap hidup. Maka, ketika Iran menantang posisi geopolitik Israel dan menolak untuk tunduk pada poros kekuasaan itu, posisi Iran tidak sekadar politis—ia adalah posisi yang dibangun di atas pemahaman strategis bahwa kekuasaan hegemonik hanya bisa dilawan oleh keberanian moral dan ketegasan geopolitik.

Namun, keberanian Iran tidak berhenti pada kritik atau sekadar pernyataan. Iran secara aktif membangun jaringan perlawanan yang nyata—baik secara diplomatik, militer, maupun budaya—terhadap dominasi yang merampas kemanusiaan dari wajah-wajah Palestina. Dalam Resistance: The Essence of the Islamist Revolution, Alastair Crooke menjelaskan bahwa perlawanan Iran adalah proyek spiritual dan historis. Iran tidak melawan karena kebencian, tetapi karena keyakinan bahwa normalisasi terhadap ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Perlawanan, dalam bingkai Iran, bukan sekadar pembalasan, melainkan bagian dari etika sosial dan spiritual untuk mempertahankan harkat manusia di tengah dunia yang sedang direduksi menjadi angka statistik perang.
Bagi mereka yang jujur dalam berpikir, yang tidak takut menggali lebih dalam, kebusukan narasi yang membenarkan agresi terhadap Palestina perlahan terbongkar. Di sinilah The Holocaust Industry karya Norman Finkelstein memberi perspektif penting: bagaimana memori penderitaan Holocaust dijadikan alat ideologis untuk membenarkan penindasan baru. Bukan berarti mengingkari tragedi yang menimpa Yahudi Eropa, tetapi justru dengan hormat pada memori itu, kita harus menolak penggunaannya sebagai legitimasi untuk mendirikan sistem apartheid baru di Timur Tengah. Finkelstein, seorang Yahudi yang orang tuanya adalah korban kamp Nazi, dengan tegas menyatakan bahwa eksploitasinya hari ini tidak lain adalah pemanfaatan kesakitan demi dominasi. Orang-orang yang sadar akan manipulasi semacam ini tidak akan mendiamkannya. Dan karena Iran adalah satu dari sangat sedikit negara yang berani membongkar manipulasi ini di forum internasional, maka orang-orang cerdas berdiri bersamanya.
Memang, mendukung Iran berarti harus tahan terhadap hujatan, stigmatisasi, dan pelabelan. Tapi justru di situlah terletak keberanian intelektual. Dalam dunia yang lebih menyukai kenyamanan netralitas palsu daripada resiko berpihak pada yang benar, mereka yang memilih Iran tidak sedang membela negara semata, tetapi membela prinsip: bahwa melawan penindasan adalah kewajiban intelektual dan moral. Ketika negara-negara Arab yang kaya raya memilih diam demi kontrak dagang dan kestabilan monarki mereka, Iran berdiri, bahkan saat dihantam sanksi, dikucilkan dari sistem keuangan global, dan diancam secara militer. Ini bukan heroisme murahan, tetapi konsistensi politik yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tidak hanya membaca berita, tapi juga sejarah.

Iran, tentu, bukan tanpa cacat. Tidak ada negara yang sempurna. Tapi dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan, pembelaan terhadap Palestina, dan penolakan terhadap hegemoni global yang menindas, posisi Iran adalah posisi yang rasional dan benar. Ia menjadi alternatif nyata dari dunia yang semakin kehilangan etika. Maka tidak mengherankan bila para cendekiawan, pemikir, dan aktivis dari berbagai belahan dunia, meski tidak selalu sepakat dalam hal internal Iran, tetap menyatakan solidaritas terhadapnya karena satu hal: Iran berdiri ketika yang lain bertekuk lutut.
Dunia sedang bergerak menuju masa depan yang genting, ketika kapitalisme global dan militerisme hegemonik tak segan menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Dalam dunia seperti ini, menjadi cerdas berarti juga harus berani. Dan keberanian itu, hari ini, diwujudkan dengan berpihak pada mereka yang menolak tunduk. Palestina adalah ujian nurani global, dan Iran adalah negara yang masih lulus dalam ujian itu. Maka, siapa pun yang berpikir jernih, membaca dalam, dan merasa masih memiliki empati pada keadilan, akan mengerti mengapa orang-orang cerdas memilih untuk berdiri bersama Iran.
Karena pada akhirnya, menjadi cerdas bukan hanya tentang memiliki informasi, tapi tentang bagaimana informasi itu digunakan untuk berpihak pada yang benar. Dan dalam dunia yang penuh tipu daya narasi dan pembenaran palsu, berpihak pada yang benar mungkin tidak populer, tapi itulah satu-satunya hal yang benar untuk dilakukan.
Daftar Pustaka
Finkelstein, Norman G. Gaza: An Inquest into Its Martyrdom. Oakland: University of California Press, 2018
Finkelstein, Norman G. The Holocaust Industry: Reflections on the Exploitation of Jewish Suffering. London: Verso Books, 2003.
Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics (Updated Edition). New York: W. W. Norton & Company, 2014.
Crooke, Alastair. Resistance: The Essence of the Islamist Revolution. London: Pluto Press, 2009.

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT