Tuhan, Semesta dan Sains: Menelusuri Tafsir Ian Barbour dan Alister McGrath tentang Jejak Tuhan dalam Sains
Penghormatan sederhana untuk Dr. Dimitri Mahayana

Oleh: Dr. Syafinuddin Al-Mandari (Koordinator Divisi Riset dan Kegiatan Ilmiah ICC Jakarta)
Dalam dunia modern yang sering mengontraskan sains dan iman, dua nama besar muncul sebagai jembatan pemikiran yang kokoh antara kedua ranah itu: Ian G. Barbour dan Alister E. McGrath. Keduanya tak hanya terlatih secara ilmiah—Barbour dalam fisika, McGrath dalam biokimia—tetapi juga mendalami teologi secara serius. Namun, meski sama-sama berupaya menemukan jejak Tuhan dalam sains, pendekatan mereka memiliki aksen yang berbeda: Barbour lebih filosofis dan model-integratif, sementara McGrath lebih apologetik dan teologis dalam kerangka kosmologi kontemporer. Esai ini membandingkan dan menguraikan bagaimana keduanya menafsir keteraturan alam semesta sebagai kemungkinan tanda akan keberadaan dan aktivitas ilahi.
Saya sudah membaca buku Ian Barbour berupa terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, berjudul “Jejak Tuhan dalam Sains”, pada 2007 silam. Adapun informasi tentang buku “Fine-Tune: The Quest for God In science and Technology” hanya saya baca lewat komentar atau uraian para penelaah. Dimitri Mahayana adalah salah seorang di penelaah karya Alister McGrath tersebut dengan uraian yang sangat bagus.
Keduanya “Melihat” Tuhan dalam Sains
Ian Barbour, dalam karya monumentalnya Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (1997), memperkenalkan empat model relasi antara sains dan agama: conflict, independence, dialogue, dan integration. Ia sendiri berpihak pada model integrasi, yang memandang bahwa sains dan agama tidak hanya dapat berdialog, tetapi juga saling melengkapi untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang realitas. Bagi Barbour, hukum-hukum fisika yang teratur bukan hanya kebetulan statistik, tetapi mencerminkan rasionalitas mendalam yang dapat dibaca baik oleh ilmuwan maupun oleh teolog. Ia menulis, “The intelligibility of the universe—its lawfulness and order—is more intelligible if we suppose that there is a Mind behind it” (Barbour, 2000). Dengan kata lain, keteraturan semesta menunjuk pada rasionalitas ilahi yang memungkinkan kegiatan ilmiah itu sendiri.

Barbour sangat berhati-hati agar tidak terjebak dalam “God of the gaps” —Tuhan yang hanya dipanggil ketika sains belum bisa menjelaskan sesuatu. Ia justru menekankan bahwa kehadiran Tuhan dapat dikenali bukan pada celah pengetahuan, tetapi pada keseluruhan struktur dan intelligibility semesta. Ketika kita menyadari bahwa hukum-hukum fisika bekerja dengan konsistensi luar biasa, Barbour melihat ini bukan sekadar data, tetapi sebagai petunjuk akan “koherensi batiniah” semesta, yang dalam kerangka teologis dapat dibaca sebagai jejak ciptaan Tuhan yang mengundang kontemplasi, bukan sekadar eksplanasi.
Sementara itu, Alister McGrath dalam Fine-Tuned Universe: The Quest for God in Science and Theology (2009) mengadopsi pendekatan yang lebih eksplisit “apologetik” dengan menjadikan teori fine-tuning sebagai titik tolak pembacaan teologis. McGrath mengamati bahwa sejumlah konstanta fisika dasar—seperti konstanta gravitasi, konstanta kosmologis, dan rasio antara massa proton dan elektron—memiliki nilai yang sangat presisi, sedemikian rupa sehingga perubahan kecil pada nilai-nilai tersebut akan membuat kehidupan seperti yang kita kenal menjadi mustahil. Ia menyatakan, “The universe does not just suggest an order—it suggests an order that is biofriendly in an astonishingly precise way” (McGrath, 2009). Dari sini, McGrath mengembangkan argumen bahwa semesta bukan hanya rasional, tetapi juga tampak disesuaikan untuk kehidupan, sesuatu yang—dalam kacamata iman—lebih masuk akal bila diasumsikan adanya maksud atau desain dari suatu sumber transenden.
Berbeda dengan Barbour yang lebih mengedepankan integrasi konseptual, McGrath secara terbuka menyatakan bahwa fine-tuning dapat mendukung suatu natural theology baru yang tidak berlandaskan pembuktian absolut, tetapi pada probabilitas eksistensial. Ia mengacu pada pendekatan inferensial: bahwa jika dua hipotesis diajukan—semesta ini kebetulan ada atau dirancang oleh akal yang personal—maka hipotesis teistik lebih “eksplanatorily fertile” dalam menjelaskan fenomena fine-tuning. Di sinilah McGrath berbeda dengan Barbour: ia lebih berani membuat transisi dari observasi ilmiah ke kesimpulan metafisik.
Meski demikian, keduanya tetap menghindari simplifikasi reduktif dan menyadari batasan masing-masing disiplin. Baik Barbour maupun McGrath menolak pendekatan ateistik ala Richard Dawkins yang menjadikan sains sebagai basis eliminasi terhadap gagasan Tuhan. McGrath bahkan secara eksplisit menulis dalam The Twilight of Atheism (2004) bahwa “Science does not necessarily entail atheism; rather, it depends on how one interprets its findings.” Di sisi lain, Barbour juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan sains sebagai bukti langsung untuk Tuhan. Bagi Barbour, keimanan tetap membutuhkan elemen komitmen, bukan sekadar deduksi logis dari fakta ilmiah.
Persinggungan antara keduanya juga terlihat dalam upaya merehabilitasi nilai spiritual dari pencarian ilmiah. Keduanya melihat sains bukan sebagai musuh iman, tetapi sebagai ekspresi keterbukaan manusia terhadap realitas yang lebih besar. Seperti ditulis Barbour, “Science itself can evoke wonder and awe, emotions akin to religious experience.” McGrath pun menegaskan hal yang sama, bahwa rasa kagum terhadap kosmos merupakan landasan awal dari setiap intuisi religius, sejalan dengan pemikiran C.S. Lewis dan para pemikir klasik lainnya.
Dengan demikian, meskipun metode dan penekanannya berbeda, baik Barbour maupun McGrath memberikan kontribusi penting dalam memperlihatkan bahwa semesta yang teratur dan dapat dikenali oleh akal manusia bukanlah tantangan bagi iman, melainkan justru indikasi bahwa alam semesta ini bukan tanpa maksud. Jika Barbour mengajak kita untuk berdialog dalam kerangka integratif antara ilmu dan iman, McGrath mengarahkan perhatian kita pada kemungkinan bahwa semesta ini memang fine-tuned —disesuaikan bukan oleh kebetulan, tetapi oleh suatu kehendak yang menghendaki kehidupan.[]
Menarik tinjauannya 👍 Science memang hanya menyangkut material realm aja, gabisa dipaksa untuk membahas immaterial existence and realm. Tuhan adalah immaterial existence, yakni keberadaan yang tidak butuh space-time untuk exist. Karena itu pembuktian keberadaan Nya hanya dapat di-proxy dengan philosophy of existence (filsafat wujud), bukan science. Saya selalu menggunakan metodologi Falsafatuna nya Ayatullah Baqir Sadr (dalam pergaulan ilmiah internasional sering disebut dispossessionism) untuk mengembangkan pemikiran filsafat wujud saya. Metodologi filsafat ini unik, berbeda dengan other schools of philosophy, yakni (1) memanfaatkan semaksimal mungkin pieces of evidence yang science sudah menemukannya, tapi (2) berani menarik kesimpulan dispossessionist (yang beyond empirical) (3) dan menghindari berargumen based on theological sources because this kind of argument adalah ranahnya theology, bukan philosophy bukan pula science. Sekali lagi, terimakasih tinjauannya, insya Allah bermanfaat 🙏