Filsafat-Irfan

Islam dan Spiritualitas 

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI) 

Islam merupakan agama yang komprehensif, mencakup dimensi lahiriah dan batiniah. Di balik ketentuan syariat, terdapat dimensi spiritualitas yang menjadi ruh dari ajaran Islam. Tanpa spiritualitas, ibadah hanyalah rutinitas kosong. Spiritualitas inilah yang menjadikan Islam bukan sekadar agama aturan, melainkan jalan menuju kedalaman jiwa dan kedekatan dengan Allah. 

Islam bukan sekadar sistem hukum atau ibadah ritual, melainkan juga jalan penyempurnaan manusia secara batiniah. Dimensi ini disebut spiritualitas Islam, yang berakar pada konsep tazkiyatun-nafs — penyucian jiwa. 

Al-Qur’an mengatakan bahwa salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa, dan mengajarkan kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (ilmu kebijaksanaan). 

هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّينَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ‎ 

iklan

“Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Sesungguhnya sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2) 

Ayat ini menegaskan bahwa penyucian jiwa merupakan pilar pokok spiritualitas Islam. 

Islam memandang manusia bukan hanya sebagai makhluk jasmani, tetapi juga makhluk ruhani yang dituntut untuk mengolah kesadaran batin dan dimensi spiritualnya. Beberapa ayat berikut menunjukkan orientasi Islam pada spiritualitas dan pengolahan batin: 

1. Kesadaran kehadiran Allah dalam segala keadaan: 

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ… 

“(Ialah) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali ‘Imran: 191) 

2. Penyucian jiwa sebagai kunci keberuntungan: 

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا 

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10) 

3. Hati yang hidup dengan zikir: 

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ 

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) 

Rasulullah saw menekankan dimensi spiritualitas dalam ibadah. Beliau bersabda:  

الصَّلَاةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِ 

“Shalat adalah mi‘raj (pendakian) bagi orang beriman.” (Bihar al-Anwar, jilid 84, hlm. 240) 

Hadis ini menegaskan bahwa shalat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi merupakan jalan pendakian ruhani. Melalui shalat, seorang mukmin naik menuju Allah, meninggalkan keterikatan duniawi, dan merasakan kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta. Sebagaimana Nabi Muhammad saw mi‘raj, orang beriman pun bisa mengalami mi‘raj setiap kali menegakkan shalat dengan hati yang hadir. 

Imam Ali as berkata: 

اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ 

“Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Nahj al-Balaghah, Hikmah 193) 

Ucapan suci ini menekankan ihsan dalam ibadah, yaitu beribadah dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Inilah kualitas shalat yang menjadi mi‘raj sejati, karena hanya shalat yang dilakukan dengan muraqabah (kesadaran diawasi Allah) yang dapat mengangkat jiwa. 

Imam Ja‘far al-Shadiq as menambahkan: 

مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، جَرَتْ يَنَابِيعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ 

“Barangsiapa mengikhlaskan diri kepada Allah selama empat puluh hari, niscaya sumber-sumber hikmah akan mengalir dari hatinya ke lisannya.” (Al-Kafi, jilid 2, hlm. 16) 

Hadis ini menjelaskan buah dari penyucian jiwa melalui keikhlasan. Bila hati bersih dari riya, cinta dunia, dan hawa nafsu, maka ia akan menjadi wadah hikmah Ilahi. Shalat yang ikhlas selama empat puluh hari, misalnya, bukan hanya memperbaiki batin, tetapi juga menjadikan seseorang sebagai sumber cahaya dan kebenaran bagi orang lain. 

Urgensi Tazkiyah dan Penyucian Jiwa 

Al-Qur’an memberikan kedudukan utama pada tazkiyah, bahkan mengaitkannya dengan keselamatan akhirat. 

1. Keselamatan bergantung pada tazkiyah: 

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا  وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ‎ 

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10) 

2. Kemenangan spiritual ditentukan oleh jiwa yang bersih: 

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ  وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ ‎ 

“Beruntunglah orang yang menyucikan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu mendirikan shalat.” (QS. Al-A‘la [87]: 14-15) 

3. Takwa lahir dari jiwa yang suci: 

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ‎ 

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2) 

4. Jiwa diberi ilham jalan baik dan buruk: 

وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ‎فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ‎ 

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, maka Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefajiran dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7-8) 

Para Imam Ahlulbait menegaskan bahwa penyucian jiwa adalah syarat keselamatan dan kedekatan dengan Allah. 

Imam Ali as bersabda: 

مَن أَصلَحَ نَفسَهُ فَهُوَ لَهَا أَغنَى 

“Barang siapa memperbaiki (menyucikan) dirinya, maka dialah yang paling mencukupi kebutuhannya.” (Nahj al-Balaghah, Hikmah 73) 

Imam Ali as bersabda: 

طُوبَى لِمَن أَخلَصَ للهِ العَمَلَ وَالعِلمَ وَالحُبَّ وَالبُغضَ 

“Berbahagialah orang yang mengikhlaskan amal, ilmu, cinta, dan bencinya hanya untuk Allah.” (Ghurar al-Hikam, no. 5145) 

Imam Ja‘far al-Shadiq as bersabda: 

مَن لَم يُحاسِب نَفسَهُ كُلَّ يَومٍ فَلَيسَ مِنّا 

“Barang siapa tidak menghisab dirinya setiap hari, maka ia bukan bagian dari kami.” (Al-Kafi, jilid 2, hlm. 453) 

Para filosof, sufi, dan ulama Muslim menekankan bahwa puncak pengetahuan adalah kedekatan dengan Allah dan tazkiyah adalah syarat mutlak menuju ma‘rifat Allah. 

Al-Farabi menilai bahwa kebahagiaan tertinggi manusia adalah bersatu dengan Akal Aktif (malaikat), yang dimaknai sebagai jalan kontemplatif menuju Tuhan. (Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, hlm. 67) 

Ibn Sina menyatakan bahwa jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui penyucian diri dan kontemplasi intelektual hingga mencapai ittisal (penyatuan) dengan alam akal. (Al-Najat, hlm. 285) 

Suhrawardi mengajarkan konsep ishraq (pencerahan batin), bahwa cahaya Ilahi adalah sumber eksistensi dan hanya dengan pembersihan batin manusia bisa tersambung dengan Cahaya Segala Cahaya. (Hikmat al-Ishraq, hlm. 108) 

Mulla Sadra menegaskan bahwa perjalanan eksistensial manusia adalah perjalanan transendental menuju Tuhan melalui asfar arba‘ah (empat perjalanan jiwa), yang intinya adalah transformasi ruhani menuju kesempurnaan. (Al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 1, hlm. 21) 

Al-Ghazali: “Tidak akan terbuka pintu makrifat sebelum jiwa disucikan dari kotoran hawa nafsu.” (Ihya’ Ulum al-Din, Kitab Riyadhah al-Nafs) 

Jalaluddin Rumi: “Air yang jernih tidak akan memantulkan cahaya bulan jika bercampur lumpur; demikian pula hati yang kotor tidak dapat memantulkan cahaya Ilahi.” (Matsnawi) 

Ibn ‘Arabi: “Penyucian jiwa adalah perjalanan pertama seorang salik. Tanpa itu, segala maqam dan hal tidak akan tercapai.” (Futuhat al-Makkiyyah) 

Imam Khomeini menegaskan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu: “Jihad terbesar adalah jihad melawan nafsu, dan ia didahulukan dari segala jihad lainnya.” (Al-Jihad al-Akbar, hlm. 12) 

Allamah Thabathaba’i dalam menafsirkan surah Al-Syams ayat 9 bahwa tazkiyah adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan insan, karena jiwa yang kotor tidak mampu menerima cahaya hidayah. (Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 20, hlm. 238) 

Ayatullah Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa akhlak bukan sekadar moral sosial, tetapi jalan menuju Allah. Ia menulis: “Akhlak Islam berfungsi sebagai sarana penyucian diri agar manusia layak menjadi penerima limpahan rahmat Ilahi.” (Falsafah Akhlaq, hlm. 45) 

Ayatullah Jawadi Amuli dalam Tafsir Tasnim menyebut tazkiyah sebagai syarat mutlak meraih ma‘rifat: “Manusia tidak akan mampu meraih pengetahuan Ilahi kecuali setelah ia menyucikan jiwanya.” (Tafsir Tasnim, jilid 18, hlm. 120) 

Tahapan-tahapan Tazkiyah dan Penyucian Jiwa 

1. Takhalli – Mengosongkan diri dari sifat buruk 

Membersihkan diri dari dosa dan akhlak tercela. 

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ  

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 3) 

Imam Ali as bersabda: 

أعدى عدوّك نفسك التي بين جنبيك 

“Musuh terbesarmu adalah nafsu yang ada di antara kedua sisi tubuhmu.” (Nahj al-Balaghah, Hikmah 176) 

2. Tahalli – Menghiasi diri dengan akhlak mulia 

Menghiasi diri dengan akhlak mulia setelah bersih dari dosa. 

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ 

“Jadilah engkau pemaaf, perintahkanlah yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A‘raf [7]: 199) 

Imam Shadiq as bersabda: 

كونوا دعاةً للناس بغير ألسنتكم 

“Jadilah kalian penyeru kebaikan bagi manusia bukan hanya dengan lisan kalian.” (Al-Kafi, jilid 2, hlm. 78) 

3. Tajalli – Cahaya Ilahi menyinari hati 

Hati mulai disinari cahaya Ilahi; muncul kenikmatan ibadah dan kedekatan dengan Allah. Hal ini menegaskan bahwa Allah adalah sumber cahaya spiritual. 

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ … يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ 

“Allah (adalah) cahaya langit dan bumi … Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur [24]: 35) 

Rumi: “Ketika cermin hati dipoles, ia akan memantulkan cahaya Tuhan.” 

4. Fana’ – Melebur dalam kehendak Allah, mencapai puncak spiritual 

Puncak perjalanan spiritual; ego dan kehendak pribadi lenyap dalam kehendak Allah dan menunjukkan sikap totalitas penghambaan kepada Allah. 

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ 

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘am [6]: 162) 

Ibn ‘Arabi: “Akhir perjalanan seorang salik adalah fana’ dalam Allah, lalu baqa’ dengan Allah.” 

Kesimpulan 

Penyucian jiwa adalah inti spiritualitas Islam. Al-Qur’an menegaskan bahwa kemenangan hakiki hanya dimiliki mereka yang menyucikan jiwa, sementara hadis-hadis Ahlulbait menegaskan urgensi muhasabah dan ikhlas, dan para sufi menyebut tazkiyah sebagai pintu menuju makrifat. 

Tahapannya dimulai dari takhalli (membersihkan diri dari akhlak buruk), tahalli (menghiasi dengan akhlak mulia), tajalli (disinari cahaya Ilahi), hingga mencapai fana’ (melebur dalam kehendak Allah). Dengan demikian, penyucian jiwa adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan spiritual dan keberuntungan abadi manusia. 

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button