Filsafat-Irfan

Kebahagiaan dalam Pandangan Mulla Sadra 

 Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI) 

Sejak dahulu, tema kebahagiaan, kesempurnaan, kebaikan, dan kenikmatan manusia selalu menjadi bahan diskusi para filsuf, teolog, dan khususnya para pemikir moral maupun politik. Luasnya cakupan konsep kebahagiaan telah melahirkan beragam pandangan yang berbeda-beda. Di antara sekian banyak pemikir, Ṣadr al-Dīn al-Syīrāzī, atau yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, pendiri al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Transendental), menempati posisi penting. Pandangannya tentang kebahagiaan begitu luas sehingga tidak mungkin dibahas secara menyeluruh di sini. Karena itu, uraian berikut hanya memaparkan aspek-aspek pokoknya. 

Pertama-tama, Mulla Sadra mendefinisikan kebahagiaan sejati sebagai eksistensi sekaligus persepsi terhadap eksistensi. Namun, karena eksistensi memiliki tingkatan—ada yang sempurna dan ada yang kurang sempurna—maka kebahagiaan pun bertingkat-tingkat. Semakin sempurna eksistensi, semakin tinggi pula kebahagiaan yang menyertainya. Sebaliknya, semakin rendah eksistensi karena bercampur dengan keburukan dan kesengsaraan, semakin berkurang pula kebahagiaan yang mungkin dicapai. Eksistensi paling sempurna adalah Wujud Tuhan Yang Maha Esa, kemudian diikuti oleh makhluk-makhluk di alam akal (malaikat), lalu jiwa-jiwa, hingga makhluk-makhluk di alam materi.1 

Karena eksistensi berbeda-beda dalam tingkatannya, kebahagiaan—yang merupakan persepsi terhadap eksistensi—juga berbeda-beda. Sebagaimana kekuatan akal lebih tinggi daripada kekuatan hewani, demikian pula kebahagiaan akal lebih agung, kenikmatannya lebih sempurna, dan cintanya lebih murni. Mulla Sadra menegaskan bahwa eksistensi adalah kebaikan murni, dan bahwa kebaikan adalah sesuatu yang dicari oleh segala sesuatu, disenangi, dan dikelilingi oleh makhluk. Yang dimaksud di sini bukan sekadar konsep mental tentang eksistensi, melainkan hakikat dan realitasnya sendiri.2 

Dalam kesempatan lain, Mulla Sadra menjelaskan bahwa kenikmatan merupakan kesempurnaan khusus bagi subjek yang mengetahui, sebagaimana rasa sakit dan penderitaan merupakan lawannya. Dengan kata lain, kenikmatan adalah kesadaran jiwa terhadap sesuatu yang selaras dengan dirinya.3 Jiwa yang menjadi sempurna dan kuat, yang melepaskan keterikatannya pada tubuh, lalu kembali kepada hakikat aslinya, akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan yang tak tertandingi oleh kenikmatan inderawi. Hal ini karena sarana kenikmatan intelektual jauh lebih kuat dan lebih sempurna daripada sarana kenikmatan indrawi.4 

iklan

Dengan demikian, dalam kerangka al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah, kebahagiaan dipahami sebagai kesempurnaan, kenikmatan, dan kebaikan yang dicapai melalui kesempurnaan eksistensi. Jalan untuk mencapainya adalah dengan memahami hakikat eksistensi dan realitas sesuai dengan daya kognitif manusia. 

Karena kebahagiaan merupakan sejenis persepsi, dan persepsi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan dan objeknya, maka setiap daya memiliki kebahagiaan masing-masing. Akhirnya, kebahagiaan tertinggi adalah milik daya yang paling kuat, paling abadi, dan paling menyeluruh, yaitu akal. Oleh sebab itu, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan intelektual. Dalam aspek teoritis, jiwa memperoleh pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, dan menyaksikan esensi-esensi intelektual yang bercahaya. Karena akal lebih mulia daripada indera maupun organ tubuh, maka kebahagiaan intelektual merupakan bentuk kebahagiaan yang paling otentik dan sempurna.5 

Dengan demikian, kebahagiaan sejati manusia dalam aspek teoritis adalah pencapaian pengetahuan rasional. Adapun dalam aspek praktis, kebahagiaan ditentukan oleh kemandirian jiwa, keseimbangan batin, serta keterhindaran dari sikap berlebihan maupun kekurangan. Jika manusia mampu melepaskan diri dari dominasi hawa nafsu, menata keseimbangan batinnya, serta mengarahkan diri pada perbuatan baik, maka kebajikan-kebajikan moral akan tumbuh menjadi karakter permanen. Pada titik inilah tercapai kebebasan batin dan keadilan jiwa, yang merupakan batas kebahagiaan sejati dalam aspek praktis.6 

Apabila manusia berhasil menyatukan tiga aspek—pemahaman teoritis atas hakikat-hakikat, perilaku lahir yang benar, dan kebajikan batin yang tertanam—maka ia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati. Karena jiwa menyatu dengan pengetahuan dan kebajikan yang diperolehnya, maka ia tetap bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.7 Pandangan ini berlandaskan pada prinsip-prinsip fundamental dalam filsafat Sadrian, seperti prinsipalitas eksistensi (aṣhālat al-wujūd), gradasi eksistensi (tasykīk al-wujūd), kebaikan eksistensi, serta kesatuan subjek-objek pengetahuan (ittiḥād al-‘āqil wa al-ma‘qūl). 

Mulla Sadra juga menegaskan bahwa kebahagiaan teoritis lebih tinggi daripada kebahagiaan praktis. Hal ini karena akal teoritis secara murni berhubungan dengan hakikat jiwa, sedangkan akal praktis masih terikat dengan tubuh dan pengaturannya. Kebahagiaan praktis lebih terkait dengan kondisi seperti kesehatan jasmani dan ruhani, kebersihan batin dari noda, pengembangan kebajikan, dan amal saleh yang berbuah surga serta penyelamatan dari neraka.8 

Lebih jauh, Mulla Sadra membagi tingkatan kebahagiaan berdasarkan gerak substansial jiwa serta tingkatan akal teoritis sebagai berikut: 

1. Akal Potensial – jiwa masih dalam keadaan potensial murni, belum memiliki pengetahuan rasional. 

2. Akal Habitual – jiwa mulai memiliki pengetahuan dasar dan aksioma, seperti prinsip kontradiksi dan kaidah bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian. Dari sinilah kebahagiaan sejati mulai muncul, karena jiwa mencapai aktualitas tanpa bergantung pada materi. 

3. Akal Aktual – jiwa memperoleh pengetahuan teoretis melalui argumen dan definisi. 

4. Akal Perolehan – jiwa mencapai hubungan dengan Akal Aktif (malaikat Jibril as) dan memperoleh pengetahuan tertinggi darinya.9 

Menurut Mulla Sadra, tujuan tertinggi dari alam materi adalah penciptaan manusia, sedangkan tujuan tertinggi eksistensi manusia adalah mencapai tingkat Akal Perolehan, yaitu pengetahuan paling sempurna tentang Tuhan Yang Maha Esa.10 Pada titik inilah kebahagiaan sejati dicapai, yakni persepsi intelektual terhadap hakikat eksternal, yang dalam level tertinggi berupa penyatuan dengan Akal Aktif dan pengetahuan langsung tentang Tuhan Yang Mahatinggi. 

Catatan Kaki 

1. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 121. 
2. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 1, hlm. 341. 
3. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 4, hlm. 123. 
4. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 122. 
5. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Asfār al-Arba‘ah, jil. 9, hlm. 136. 
6. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Mabda’ wa al-Ma‘ād, hlm. 277–278. 
7. Ibid. 
8. Ibid. 
9. Ṣadr al-Muta’allihīn, al-Mabda’ wa al-Ma‘ād, hlm. 271. 
10. Ibid. 

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button