Khazanah

Kesendirian dan Luka Kosmik Husain

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Seorang laki-laki berdiri. Ia sendiri. Di hadapannya puluhan ribu anak panah, tombak dan pedang. Di hadapannya adalah tentara angkara. Di hadapannya adalah tentara hawa nafsu. Tak terhitung umat Kakeknya siap untuk melemparinya dengan batu, melontarkan tombak, melemparkan anak panah dan bahkan menginjak-injaknya dengan kuda. Seorang laki-laki sejati yang berdiri dalam sunyi, walau padang diramaikan oleh denting-denting tapal kuda. Laki-laki itu adalah Husain. Di Karbala. Pada hari Asyuro.

Di antara nama-nama yang paling menyayat dari Imam al-Husain a.s. adalah “الوتر الموتور” – al-Witr al-Mautur, yang secara literal bermakna: yang tunggal dan tidak dibalaskan. Namun, makna yang tersembunyi dalam frasa ini jauh melampaui deskripsi tragedi sejarah; ia merupakan cermin dari hakikat eksistensial manusia dalam ketelanjangan nilai, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan yang menjauh dari Tuhan. Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: Apa makna terdalam dari al-Witr al-Mautur, dan mengapa ia demikian menyayat dan mengguncang?

Mengikuti analisis semantik Qur’ani yang dilakukan oleh al-Raghib al-Isfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, akar kata “و ت ر” bermakna “al-witr: al-fard alladhi la thani lahu” – “al-Witr adalah yang tunggal, yang tiada duanya.” Dalam konteks Imam Husain, al-witr adalah simbol kesendirian spiritual yang mutlak, ketika ia berdiri sendirian di Karbala melawan puluhan ribu pasukan yang menyatu dalam diam dan kebohongan. Ia adalah satu-satunya representasi dari kebenaran Ilahi di medan fitnah. Dalam hal ini, ia bukan sekadar yang sendirian, tetapi perwujudan tauhid moraldalam bentuk manusia.

Adapun al-mautūr berasal dari kata kerja “watar” yang berarti mengambil hak darah tanpa balasan atau keadilan. Ibn Manzur dalam Lisan al-“Arab menulis, “al-witr: al-mazlūmatu damuhu, la yutālabu lahu bi-tha’r” — orang yang darahnya ditumpahkan secara zalim dan tak dibalas. Maka, al-Witr al-Mautur adalah yang tunggal, dizalimi secara brutal, dan tidak segera dibalaskan secara adil. Dalam konteks Imam Husain, ini bukan semata-mata ketertindasan historis, melainkan luka kosmik: darah suci yang tidak dibela dunia, tetapi dibela oleh waktu dan hati nurani.

iklan

Rasulullah SAW bersabda: “Inna Allaha witrun yuhibbu al-witr” — “Sesungguhnya Allah itu Witr, dan Dia mencintai yang Witr.” Dalam sudut pandang kosmologis dan filsafat tauhid, al-Witr melambangkan keesaan Tuhan yang mutlak, dan pencinta Witr berarti mencintai bentuk kemurnian tertinggi. Maka, ketika Husain disebut al-Witr yang dibunuh, itu bermakna bahwa nilai ketauhidan dan kesucian moral telah ditumpahkan oleh struktur politik yang memakai topeng agama. Ini bukan sekadar pengkhianatan terhadap Husain, tapi terhadap tauhid itu sendiri.

Secara sosiologis, Al-Witr al-Mautur sebagai representasi Husain sebagai aktōr tunggal dalam sejarah yang menantang totalitas kebohongan hegemonik. Dalam skema ini, Husain adalah subjek sadar yang memilih jalan eksistensial yang otentik, sebagaimana yang ditulis oleh Kierkegaard: keberanian tertinggi adalah memilih jalan sunyi yang menghadap Tuhan dalam ketakberhinggaan penderitaan. Heidegger menyebut keadaan ini sebagai Geworfenheit – keterlemparan dalam keberadaan yang absurd, namun justru di situlah otentisitas muncul: saat manusia memilih untuk berdiri dalam keheningan malam Asyura, seperti Husain, dan menatap takdirnya dengan utuh.

Bagi Hegel, sejarah adalah dialektika roh menuju kebebasan. Maka Husain adalah roh bebas yang tidak bisa dikorupsi oleh dunia. Ia tidak bisa dibeli oleh kekuasaan. Husain tak lain adalah “manusia terakhir yang tidak diperjualbelikan oleh sejarah.” Dalam kerangka ini, Husain bukan objek sejarah, tapi subjek kesadaran sejarah. Ia adalah kategori transenden dalam etika profetik.

Dalam satu momen agung malam Asyura, Husain memberi izin sahabat-sahabatnya untuk meninggalkannya. “Mereka hanya ingin membunuhku,” katanya. “Pergilah, aku takkan mencela kalian.” Tapi mereka tetap tinggal. Mereka tidak tinggal karena diperintah, tapi karena sadar: bahwa bersamanya adalah bersama dengan nilai yang tak mungkin dibeli oleh dunia. Di sinilah al-Witr al-Mautur mencapai puncaknya: kesendirian yang menghidupkan jiwa orang lain. Kesendirian yang penuh Kasih bagi sesama. Kesendirian yang merupakan Pancaran Kasih Ilahi.

Gelar al-Witr al-Mautur pun menjadi gema abadi. Dalam Al-Qur’an (al-Fajr: 3), Allah bersumpah: “Demi yang genap dan yang ganjil.” Tafsir-tafsir menyebut bahwa al-witr adalah simbol tauhid, puncak dari kemurnian spiritual. Maka Husain adalah pancaran ketauhidan itu di medan realitas historis. Ia adalah witr, karena satu-satunya. Ia adalah mautur, karena tidak ada yang membalasnya — oleh karena itu , seharusnya umat Muslim merawat ingatan kolektif (memoria collective) pada Imam Husain dengan majelis Aza dalam bulan Muharram dan Shafar.Dan dalam majelis duka cita Imam Husain, kita bertanya pada diri kita: apakah kita bagian dari mereka yang diam, atau bagian dari mereka yang bangkit dan menangis demi menjaga cahaya keadilan tetap menyala? Apakah kita siap bila karena Cinta kita pada Husain, kita dikucilkan, kita ditinggal mereka yang menyayangi kita dan menghormati kita. Apakah kita siap menjadi sendiri, tertindas, dan terkadang terzalimi tanpa mampu membalas dan tanpa keadilan yang ditegakkan? Sebagaimana ujaran Guru Bangsa KH. Jalaluddin Rakhmat, “ Seluruh fitnah di dunia harus ada alasannya, kecuali fitnah pada para pecinta Husain. Sepanjang sejarah , para pengikut Husain difitnah tanpa alasan, dicerca tanpa dasar, dipersekusi tanpa perlu diadili, dihancurkan kehormatannya tanpa pembela, dan dibunuh tanpa belas kasihan. Kesalahan mereka satu-satunya adalah, karena mereka mencintai Husain.”

Husain adalah al-Witr al-Mautur. Ia sendiri. Ia tertindas, tanpa ada yang membela. Ia tidak hanya syahid, ia adalah makna syahadah. Ia tidak hanya sendirian, ia adalah suara Tuhan yang berdiri dalam sunyi di hadapan puluhan ribu anak panah, tombak dan pedang angkara murka. Apakah kita siap membelanya dalam sunyi di hadapan puluhan cercaan, makian tentara angkara ?

Dan jika suatu hari dunia kehilangan cahaya, ingatlah: Husain adalah lentera yang berdiri dalam gelap,
bukan untuk dilihat, tetapi untuk menerangi.

Ia bukan sekadar nama dalam kisah,
Ia luka yang tak berhenti bernyanyi,
Di tengah padang Karbala yang merah,
Husain berdiri. Sendiri.

Ia bukan sekadar yang gugur,
Ia makna gugur itu sendiri,
Syahadah bukan darah yang tumpah,
Syahadah adalah keputusan abadi
untuk tidak tunduk pada bumi.

Di malam sunyi yang tak bertirai,
Ia padamkan pelita, berkata lirih:
“Pergilah, jangan ikuti aku menuju maut,”
Tapi mereka diam,
Dan tetap tinggal
Karena mereka tahu:
Yang berdiri di hadapan mereka
Adalah kebenaran yang mewujud dalam tubuh
Yang kecil
Namun menjulang tinggi seperti langit yang tak habis dibaca.

Wahai Karbala!
Kau bukan tanah,
Kau adalah cermin langit
yang memantulkan kesunyian Allah
pada tubuh Husain yang dicincang
namun tak pernah menyerah.

Ia al-Witr
Yang tak punya pasangan
Kecuali cahaya dari langit tertinggi
Yang membakar dunia tanpa suara
Dan memekakkan telinga zaman dengan bisikan cinta.

Ia al-Mautur,
Yang dizalimi tanpa ada pembela di bumi
Namun dibela oleh seluruh langit,
Dibela oleh air mata para nabi
Yang menetes dari zaman Adam
hingga Muhammad,
Dan bahkan oleh ruh zaman yang gemetar
setiap kali bulan Muharram datang.

Wahai umat yang menyaksikan!
Berapa banyak dari kalian
yang diam ketika keadilan disembelih?
Berapa banyak dari kalian
yang menunduk
ketika suara Tuhan berteriak
di tubuh Husain yang tak bernyawa?

Jika kau menangis untuk Husain,
biarlah air matamu jadi sungai yang melawan keserakahan.
Jika kau menyebut namanya,
biarlah suaramu jadi guntur yang meruntuhkan tahta palsu.
Jika kau mencintainya,
biarlah cintamu menjadi jalan panjang yang tak henti mengeja:
Tiada kehormatan
dalam sujud kepada tirani.

Dan jika suatu hari dunia kehilangan cahaya,
ingatlah:
Husain adalah lentera yang berdiri dalam gelap,
bukan untuk dilihat,
tetapi untuk menerangi.

Wa maa taufiiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Malam 8 Muharram 1446 H

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button