Oleh Abdul Karim
“Para nabi tidak turun dari langit untuk mengawasi; mereka bangkit dari tanah untuk mengguncang tahta para penindas.”
Di tengah medan sejarah yang digenangi darah dan kesunyian orang-orang kalah, para nabi bukanlah simbol yang netral. Mereka bukan sekadar pembawa wahyu, melainkan pejuang yang berdiri tegak di antara reruntuhan harapan kaum tertindas. Inilah poros utama dari “Akar Sosial Para Nabi” sebagaimana diulas oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i, yang memaparkan dengan tajam bahwa kenabian adalah fenomena historis sekaligus revolusioner—berakar bukan pada istana, melainkan pada tanah yang diinjak oleh mustad‘afin. Dalam terang teologi pembebasan, sosiologi kritis, dan filsafat sejarah Islam, para nabi harus dibaca sebagai bagian dari dialektika sosial yang terus menggelegak, sebagai kekuatan yang tidak menyisakan kompromi terhadap sistem mustakbirin.
Ayatullah Khamene’i menegaskan bahwa para nabi tidak muncul dari kalangan penguasa, melainkan dari “lapisan sosial yang tertindas dan terpinggirkan”. Mereka tidak membawa janji surga kepada elite, tetapi membawa palu keadilan bagi mereka yang dilupakan sejarah. Dalam khutbah-khutbah Imam Ali, kenabian diposisikan sebagai proyek radikal pembebasan sosial. Imam Ali menyebut bahwa Allah mengutus para nabi “untuk menghidupkan kembali perjanjian fitrah” yang telah dikubur oleh kerakusan, penyembahan hawa nafsu, dan kekuasaan yang dipelintir. Maka tidak mengherankan bila para nabi justru lahir dari luka sejarah, dari kemiskinan, pengasingan, dan penderitaan. Mereka tidak dipanggil untuk menenangkan, tetapi untuk membangkitkan.
Ali Shariati menyebutkan bahwa para nabi adalah “anak-anak sejarah yang gelisah terhadap ketidakadilan.” Mereka bukan utusan yang menyerahkan pesan dan pergi, tetapi menjadi tubuh yang menyatu dengan penderitaan umatnya. Dalam pemaparannya tentang masyarakat ideal, Shariati merinci bahwa nabi membawa umat manusia pada kesadaran akan struktur penindasan yang disakralkan oleh agama-agama formal. Oleh karena itu, kenabian menjadi sejenis revolusi spiritual yang menolak kooptasi kekuasaan. Bahkan Shariati menegaskan bahwa dalam sejarah, selalu ada dua bentuk agama: agama kebenaran dan agama kekuasaan. Para nabi selalu berpihak pada yang pertama, dan menjadi musuh alami yang kedua.
Frantz Fanon tidak membahas kenabian secara langsung, tetapi relevansi pemikirannya tidak dapat diabaikan. Dalam menyoroti relasi kolonial dan psikologi perbudakan, Fanon menulis bahwa “kaum terjajah bukan hanya kehilangan tanah dan tubuh mereka, tetapi juga dimutilasi secara historis.” Inilah titik temu dengan pesan-pesan kenabian: kenabian adalah restorasi sejarah umat manusia. Seperti Musa (as) yang berdiri di hadapan Firaun, seperti Muhammad SAW yang menolak sistem Quraisy, kenabian menurut Khamene’i adalah tindakan pembongkaran terhadap legitimasi palsu, terhadap hegemoni yang menyamar sebagai takdir.
Murtadha Mutahhari menjelaskan peran individual historis—termasuk nabi—dalam dialektika masyarakat. Ia menolak determinisme sejarah yang kaku, tetapi juga tidak menempatkan nabi sebagai tokoh tunggal yang bekerja di luar sejarah. Justru, kenabian adalah intervensi Tuhan dalam alur masyarakat yang sedang menuju kehancuran. Kenabian adalah tanda, bukan akhir. Ia bukan jawaban tuntas, tapi ajakan untuk membongkar realitas secara sadar dan aktif. Dalam konteks ini, Muhammad SAW bukan hanya membawa wahyu, tetapi juga membentuk masyarakat baru dari mustad‘afin, dari para budak, dari perempuan yang dimakamkan hidup-hidup, dari para pengelana yang tak diberi nama.
Gustavo Gutiérrez menyebut bahwa “menjadi Kristen adalah menjadi seorang yang berpihak pada kaum miskin.” Kalimat ini, bila dibawa ke dalam konteks Islam profetik sebagaimana dimaknai oleh Khamene’i, akan berbunyi: “menjadi mukmin adalah menjadi pembela mustad‘afin.” Teologi pembebasan seperti yang dikembangkan oleh Gutiérrez dan diterjemahkan ulang oleh Khamene’i dan Shariati, membebaskan kenabian dari wacana steril dan menempatkannya kembali ke arena sejarah yang berdarah. Gutiérrez menolak dikotomi antara spiritual dan politik. Wahyu, baginya, bukan di ruang doa, tetapi di pekarangan orang miskin yang tak bersuara. Wahyu tidak lagi berhenti di kitab, tetapi menuntut aksi—dan inilah makna dari kenabian yang sesungguhnya.
“Akar Sosial Para Nabi” dengan demikian bukan hanya refleksi sejarah, melainkan sebuah konfrontasi terhadap pembacaan apolitis terhadap agama. Khamene’i tidak menulis sebagai seorang akademisi yang memandangi nabi dari kejauhan, tetapi sebagai pelaku revolusi yang melihat bayangan para nabi dalam jerih payah membangun masyarakat adil. Dalam konteks Revolusi Islam Iran, argumen ini bukan spekulasi, tetapi napas dari gerakan itu sendiri.
Kenyataan bahwa para nabi selalu berada dalam posisi minoritas melawan mayoritas yang mapan, justru adalah bukti kekuatan moral mereka. Mereka menolak menjadi normal. Dalam kondisi dunia hari ini, ketika agama sering dipakai untuk membungkam dan membenarkan status quo, pelajaran dari akar sosial para nabi menjadi semacam panggilan spiritual sekaligus politis. Untuk kembali kepada garis kenabian, berarti berpaling dari meja kekuasaan dan berjalan bersama mereka yang tidak punya nama, suara, dan panggung.
Kenabian bukanlah jabatan. Ia adalah luka yang ditanggung dengan keberanian. Nabi tidak hanya mengabarkan bahwa langit akan terbuka, tetapi juga menggali tanah dengan tangan berdarah, demi membuka jalan bagi umatnya yang terjajah untuk melangkah. Dan dalam setiap khutbah Imam Ali, dalam setiap renungan Khamene’i, gema itu tak pernah berhenti: bahwa misi para nabi adalah membebaskan manusia—bukan hanya dari berhala batu, tetapi dari berhala sistem yang menjadikan manusia sebagai alat, bukan tujuan.
Maka jika kita ingin berjalan di jalan kenabian, kita tidak perlu menunggu wahyu turun dari langit. Kita hanya perlu menunduk, menyentuh tanah, dan mendengar suara-suara yang selama ini ditindas oleh sejarah. Di sanalah akar kenabian tumbuh—dan di sanalah pula tugas kita bermula.
Minggu, 20 Juli 2025

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT