Khazanah

Syahadahnya Sang Cahaya Kebenaran yang Mengguncang Kezaliman

Oleh Salim Muhsin BSA, M.Pd.

Ketika putranya, memandikan jenazah sang ayah, ia mendapati bekas kasar pada kedua pundak ayah, seperti bekas pada pundak unta. Saat ditanyakan asal-muasalnya, orang-orang menjawab:

“Itu bekas dari kebiasaan beliau mengangkat karung makanan di malam hari untuk dibagikan ke rumah-rumah kaum fakir.”

Tindakan itu dilakukannya diam-diam, tanpa diketahui siapa pun. Beliau tidak ingin amalnya diketahui manusia, cukup Allah saja yang menjadi saksi.

Pujangga Tuhan

iklan

Beliau adalah “Zabur Keluarga Muhammad yang dengan doanya mengangkat hati para sufi menuju kesucian Allah dan tangga-tangga makrifat-Nya.

Beliau adalah orang yang selalu berdoa dengan kefasihan dan keindahan bahasa, di setiap untaian kata doanya memancarkan balaghah (keindahan retorika) dan fasahah (kejernihan diksi), dalam menggambarkan makna-makna yang mendalam tentang tauhid, penghambaan kepada Allah, serta nilai-nilai akhlak yang luhur.

Beliau adalah sosok yang memiliki akhlak mulia, yang dirindukan oleh jiwa-jiwa bersih orang beriman dan mereka mendapatkan petunjuk melalui cahayanya.

Beliaulah yang memberikan contoh paling luar biasa dalam keikhlasan, penghambaan dan keterhubungan total kepada Allah, hingga ia dijuluki Zain al-‘Abidin (perhiasan para ahli ibadah).

Beliau adalah pemilik mata yang tak pernah kering air matanya, karena musibah yang menimpa ayahnya, saudaranya, seluruh keluarganya dan para sahabatnya pada hari ke-10 Muharram. 

Beliau jugalah saksi hidup pembantaian keluarga Nabi Muhammad saw di padang Karbala itu.

Beliau adalah Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as. Ibunya bernama Syahr Banu, putri dari Kaisar Persia Yazdegerd bin Syahriyar, raja besar bangsa Persia.

Beliau dilahirkan pada tanggal 5 Sya’ban tahun 38 H, dua tahun sebelum kesyahidan kakeknya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Beliau menyaksikan berbagai tragedi besar dalam hidupnya, dari musibah yang menimpa dua pemimpin pemuda surga, Imam Hasan dan Imam Husain as, hingga tragedi Karbala yang mengguncang jiwa.

Pada hari Asyura, beliau menyaksikan peristiwa tersebut dalam keadaan sakit parah, tak berdaya di atas tanah Karbala, sementara keluarganya terbunuh satu per satu di hadapannya.

Keagungan Akhlak

Imam Sajjad as terkenal akan akhlak mulianya. Ia melampaui standar akhlak yang dikenal manusia. Kebaikannya, kelembutannya terhadap manusia, tawadhu (rendah hati), ibadah, sedekah, zuhud, pemaaf, sabar dan kepasrahannya kepada Allah menjadikannya cahaya petunjuk yang abadi.

Beliau sangat memperhatikan fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, serta memberi mereka sedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga penduduk Madinah pun tidak mengetahui bahwa beliaulah yang menanggung kebutuhan mereka setiap malam.

Hisyam bin Isma’il pernah menjabat sebagai gubernur Madinah atas perintah Abdul Malik bin Marwan. Pada masa kekuasaannya, ia sengaja dan selalu menyakiti Imam Zainal Abidin as dengan berbagai cara.

Namun, ketika Al-Walid naik tahta setelah kematian ayahnya, Abdul Malik, ia mencopot Hisyam dari jabatannya. Al-Walid kemudian memerintahkan agar Hisyam dihukum di jalan umum agar siapa pun yang pernah disakiti olehnya selama masa pemerintahannya dapat menuntut balas.

Orang-orang yang lewat yang pernah dizalimi dan disakiti oleh Hisyam melaknatnya, mencacinya, memukulnya, dan menuntut hak-hak mereka darinya. Orang yang paling ia takuti saat itu adalah Imam Zainal Abidin as, karena banyaknya keburukan yang pernah ia lakukan terhadap Imam.

Namun, Imam Sajjad as justru mengumpulkan keluarga dan pengikut dekatnya, serta mewasiatkan kepada mereka agar tidak seorang pun menyakiti Hisyam atau memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai.

Bahkan, Imam as sendiri menjenguknya,  menyapanya dengan salam, bersikap lembut kepadanya, dan berkata:

“Lihatlah, jika ada harta yang tak mampu kau bayar dan membuatmu cemas, kami memilikinya dan siap membantumu. Tenangkan dirimu, baik dari kami maupun dari siapa saja yang menaati kami.”

Mendengar itu, Hisyam berkata 

(Mengutip dari QS Al-An’am: 124).:

‎… اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ 

Allah lebih mengetahui di mana Dia meletakkan risalah-Nya

Syahadah Sang Imam

Di antara para penguasa yang paling membenci Imam Zainal Abidin as adalah Al-Walid bin Abdul Malik. Seorang yang sombong dan keras kepala, zalim dan sewenang-wenang.

Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah sendiri menyebut kepemimpinannya dengan berkata tentangnya:

“Dia adalah orang yang telah memenuhi bumi dengan kezaliman.”

Al-Walid bin Abdul Malik merasa terganggu dengan keberadaan sang Imam.

Diriwayatkan oleh Az-Zuhri, bahwa Al-Walid berkata:

“Aku tidak akan pernah merasa tenang selama Ali bin Husain masih ada di dunia ini.”

Kebencian itu terjadi karena popularitas Imam begitu besar di tengah masyarakat. Orang-orang membicarakan ilmu, akhlak, ibadah, dan kesabarannya dengan penuh kekaguman. 

Hatinya telah merebut cinta dan hormat umat manusia.

Hingga ada ungkapan populer di masa itu:

“Orang yang paling beruntung adalah orang yang dapat melihat Imam Sajjad as, berjumpa dengannya, dan mendengarkan ucapannya.”

Kedudukan luhur Imam sangat mengganggu ketenangan para penguasa Bani Umayyah. Mereka resah dan merasa terancam.

Setelah mendapatkan kekuasaan, Al-Walid memutuskan untuk membunuh Imam. Ia mengirimkan racun mematikan kepada gubernurnya di Madinah, dan memerintahkannya agar meracuni sang Imam.

Perintah itu dijalankan. Racun tersebut menyebar di tubuh suci Imam, hingga ruh sucinya naik menghadap Sang Pencipta, setelah sebelumnya menerangi dunia ini dengan ilmu, ibadah, perjuangan, dan kezuhudannya dari hawa nafsu.

Sang Imam pun pergi meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke haribaan Allah, dengan kesyahidan pada tanggal 25 bulan Muharram al-Haram, tahun 95 Hijriah. Saat itu, usianya telah mendekati lima puluh tujuh tahun, usia penuh kebijakan dan pengabdian dalam menyebarkan cahaya ilahi kepada umat manusia 

Setelah kesyahidannya, putra beliau Imam Muhammad al-Baqir as mengurus pemandian, pengkafanan jenazah ayahandanya. Madinah menyaksikan prosesi pemakaman besar-besaran yang tak pernah terlihat sejak syahidnya Nabi Muhammad saw.

Jasad suci Imam dibawa ke Baqī‘ dan dimakamkan di samping pamannya, Imam Hasan Al-Mujtaba as…

Semoga bermanfaat.

Salim Muhsin, M.Pd.
+ posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button