Akhir dari Amal

Penulis : Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam pandangan Islam, kehidupan dunia merupakan arena ujian dan kesempatan bagi manusia untuk menanam amal, membangun akidah yang benar, dan menata akhlak yang mulia. Namun, seluruh potensi dan peluang itu akan berakhir ketika datangnya hari Kiamat — hari ketika manusia tidak lagi mampu berbuat apa pun, kecuali memetik hasil dari apa yang telah ia tanam. Tema ini tergambar dengan sangat mendalam dalam firman Allah Swt kepada Rasul-Nya dalam Surah Al-Infithar ayat 17–18:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
“Dan tahukah engkau apakah Hari Pembalasan itu?
Kemudian tahukah engkau apakah Hari Pembalasan itu?”
Ayat ini menunjukkan bahwa hakikat dan kedahsyatan Hari Pembalasan berada di luar jangkauan pemahaman manusia, bahkan Rasulullah saw sendiri — dengan seluruh kesempurnaan spiritualnya — diingatkan bahwa hakikat hari itu adalah sesuatu yang amat agung dan sulit digambarkan.
Ketika hari Kiamat tiba, seluruh sistem duniawi akan terputus. Peluang usaha dan dinamika perubahan yang menjadi ciri kehidupan dunia tidak lagi berlaku. Dunia merupakan dar al-‘amal (tempat beramal), sedangkan akhirat adalah dar al-jaza’ (tempat menerima balasan). Dengan demikian, manusia di akhirat tidak lagi memiliki kemampuan untuk beramal atau memperbaiki dirinya.
Dalam dunia, manusia dapat menolak bencana dengan usaha, dan meraih manfaat melalui ikhtiar. Namun, pada hari Kiamat, semua itu sirna. Tidak ada lagi kemampuan untuk menambah kebaikan atau mengurangi keburukan. Sebagaimana dikatakan dalam teks di atas, “tidak ada lagi jalan bagi manusia untuk meraih kesempurnaan.”
Manusia dan Hidangan Amal
Ungkapan bahwa “manusia hanya duduk di sisi hidangan yang tersaji dari akidah, akhlak, dan amalnya sendiri” memiliki makna simbolis yang sangat dalam. Akidah, akhlak, dan amal bukan sekadar kategori moral atau teologis; ketiganya merupakan substansi eksistensial yang akan mengambil bentuk konkret di akhirat. Amal manusia di dunia tidak lenyap, melainkan menempati wujud hakikinya di alam akhirat — menjadi bentuk realitas yang akan dinikmati atau disesali oleh pelakunya.
Dengan demikian, manusia di hari Kiamat hanyalah tamu, sedangkan tuan rumahnya adalah hasil dari dirinya sendiri: akidahnya (yang menentukan arah dan nilai dari seluruh amalnya), akhlaknya (yang mencerminkan bentuk batin dan kepribadiannya), dan amalnya (yang menjadi buah nyata dari akidah dan akhlak itu).
Manusia tidak menghadapi sesuatu yang asing di akhirat; ia menghadapi dirinya sendiri dalam bentuk hakikinya.
Pernyataan bahwa “di hari Kiamat, manusia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelesaikan persoalannya” menggambarkan hakikat akhir dari perjalanan eksistensial manusia. Hari Kiamat adalah saat di mana seluruh tabir realitas disingkap, dan manusia berhadapan dengan kebenaran tanpa perantara. Di sana, penyesalan tidak lagi berguna, karena waktu untuk beramal telah berakhir.
Allah Swt menggambarkan hal ini dalam firman-Nya yang lain:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘ara [26]: 88–89)
Ayat ini menegaskan bahwa hanya kebersihan batin — yang terbentuk dari akidah yang benar, akhlak yang lurus, dan amal yang saleh — yang akan menyelamatkan manusia pada hari itu.
Hari Kiamat bukan sekadar peristiwa kosmis, tetapi juga puncak keadilan eksistensial. Di sana, manusia tidak lagi dapat berargumen, menyesal, atau mengubah nasibnya. Ia hanyalah tamu di hadapan hidangan yang telah ia siapkan sendiri sepanjang hidupnya.
Karena itu, kesadaran akan “akhir dari amal” seharusnya melahirkan tanggung jawab moral dan spiritual yang tinggi di dunia ini. Dunia adalah ladang amal; siapa yang menanam dengan akidah yang benar, akhlak yang suci, dan amal yang tulus, maka di akhirat kelak ia akan menikmati buah dari ketiganya. Sebaliknya, siapa yang lalai, maka ia akan menghadapi dirinya sendiri dalam bentuk penyesalan yang tak bertepi.




